Oleh: Brigjen TNI Kunto Arief Wibowo
#Danrem 032 Wirabraja

MENILIK pada sejarah Indonesia, sudah sangat jelas bahwa bangunan bangsa ini terdiri atas kolaborasi berbagai institusi lokal yang ada di seluruh nusantara. Adanya slogan Bhineka Tunggal Ika adalah komitmen yang terpatri bahwa Indonesia ini dibangun atas keragaman yang ada.

Institusi adat dengan segala macam nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, merupakan perekat kuat kelanggengan hidup berbangsa dan bernegara. Ini sejarah, fakta-fakta yang tak boleh terlupakan.

Sebagai sebuah lembaga, institusi adat biasanya memiliki kelengkapan, baik secara struktur maupun pondasi kultural. Lembaga adat juga melekat erat dan membentuk sebuah tatanan masyarakat. Padanya ada nilai, norma, aturan hukum, serta segala hal yang akan mengatur masyarakat dalam lingkungan adatnya. Pokoknya, institusi adat sudah merupakan bangunan yang komplit, sehingga pernah dikatakan bahwa sebuah pemerintahan adat, identik sekali dengan republik-republik kecil yang mandiri, mampu menghidupi dirinya sendiri.

Saat Indonesia diproklamirkan, “republik-republik” kecil inilah yang kemudian melebur, mengikatkan diri dalam bendera Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sampai disini terlihat bahwa negara ini adalah gabungan dari ratusan dan bahkan ribuan kelembagaan adat yang ada. Artinya pula, selama NKRI ada, selama itu pula harusnya adat akan selalu menjadi penyokong utama. Tak boleh lekang oleh panas, tak boleh lapuk oleh hujan.

Akan tetapi, dinamika dalam perjalanan bangsa ini, kemudian memang mengalami fluktuasi. Kelembagaan adat yang sejatinya dibangun dan terbentuk dari jati diri masyarakat itu sendiri, berpondasi pada kearifan lokal masyarakat, ada untuk kemakmuran masyarakatnya, terpengaruh oleh berbagai intrik dan dinamika sosial politik, baik dari dalam ataupun terpengaruh oleh berbagai aneksasi propaganda pihak luar. Langsung ataupun tidak, kelembagaan adat mulai dan terus terpapar oleh dinamika yang ada. Sakralitas dan komitmen kemasyarakatan lembaga adat dipengaruhi, baik lewat individu ataupun masuk ke tatanan strukturnya sendiri. Alhasil lembaga adat dengan segala unsur di dalamnya, seringkali berbenturan justru dengan masyarakat yang mestinya diayomi olehnya.

Berbagai instrumen dan aturan kenegaraan ikut pula memberikan suntikan-suntikan pendorong sehingga dinamika itu mulai berubah dari mendahulukan kepentingan masyarakat adat ke arah kepentingan sekelompok orang.

Munculnya berbagai aturan baru dalam ranah perundang-undangan di Indonesia, mengedepankan unsur HAM, menjadikan demokrasi yang cenderung individualistis, liberalisme, mendorong munculnya wabah kapitalisme ke masyarakat. Perangkat adat mau tak mau ikut terpapar.

Adanya oknum petinggi sebuah lembaga adat yang dengan beraninya menjual tanah ulayat untuk kepentingan pribadi, adalah salah satu contoh nyata.

Munculnya tokoh-tokoh adat yang dengan gagahnya membawa embel-embel adat dan kesukuannya untuk bertarung pada perebutan kekuasaan politik, juga menjadi fenomena yang lazim.

Dalam skala besar, munculnya egoisme individu, mendahulukan diri sendiri, tak peduli dengan sekitar, menjadi wabah besar di semua masyarakat.

Rasa kebersamaan, guyub, kepedulian sosial, sebagai ciri utama sebuah kelembagaan adat, pelan namun pasti mulai meruak. Pada titik ini sebenarnya, pondasi adat itu sendiri sudah mulai tergerus. Sadar atau tidak, itu sudah terjadi dan parahnya, itu digerogoti dari dalam adat itu sendiri.

Mengacu pada teori-teori perubahan sosial, tampak bahwa ini fenomena yang menunjukkan perubahan pada sisi struktur dan juga kultur. Perubahan ini sangat dominan didorong oleh kekuatan luar, yang masuk dengan berbagai cara. 

Perubahan aturan perundang-undangan, kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, kelemahan metode pendidikan, serta banyak hal lain, menjadi martir yang terus masuk dan menghunjam. Sayangnya, kelembagaan adat tak disiapkan atau mungkin tak memiliki persiapan menghadapi berbagai serangan tersebut.

Kondisi yang terjadi sekarang, justru adat sering sekali “diperalat” untuk kepentingan sekelompok orang. Sekilas adat seperti tetap dimunculkan, tapi sejatinya hanya menjadi tameng ataupun alat untuk memuluskan nafsu-nafsu individu. Masyarakatpun digiring untuk tetap bangga dengan simbol-simbol adatnya, walaupun substansi sebagai masyarakat beradat tak terlihat. Tak heran jika sering tampak momen-momen sakral adat, yang dalam banyak hal lebih pada menunjukkan simbol-simbol itu masih ada. Saat momen suksesi pemilu misalnya, lazim sekali simbol itu berseliweran di ruang publik. Tak sedikit pula pejabat-pejabat publik yang masih menjabat, yang sebenarnya tak memiliki ikataan genealogis sama sekali dengan komunitas adat tersebut, diangkat sebagai tokoh adat kehormatan. Saat ia tak menjabat lagi, gelar adatnya entah kemana lagi.

Esensi sebuah masyarakat adat, sebenarnya adalah untuk kemajuan dan kemakmuran masyarakatnya. Mau dalam bentuk apapun, kemakmuran adalah capaian yang ingin diraih. Kemakmuran tak akan tercapai jika prilaku individualistis jadi panglima, jika nafsu perorangan selalu dikedepankan, kebersamaan tidak dijadikan dasar. Ini adalah dasar sekali.

Oleh karena itu, dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, lembaga adat harusnya menjadi modal sosial utama sebagai penopang terwujudnya Ketahanan Nasional (hannas). Tanpa masyarakat yang kuat (yang didorong oleh komunitas adat), Hannas sulit terwujud. Komunitas adat dalam kacamata Hannas adalah komponen cadangan utama, sekaligus komponen pendukung. Beberapa hal kiranya perlu upaya revitalisasi, demi tegaknya adat dan tegaknya bangsa.

Pertama, berbenah mulai dari institusi adat itu sendiri, bahwa titik kekuatan bangsa ini ada di masyarakat. Mengkotak-kotakkan masyarakat dengan melakukan politisasi terhadap adat, hanya akan semakin memperlemah daya dukung hannas. Tempatkanlah adat pada kepentingan orang banyak, minimal untuk masyarakatnya sendiri. Komitmen adalah kuncinya.

Kedua, pahamilah persoalan dasar di seluruh anggota masyarakat tempat adat itu bernaung. Disitu adalah masalah ekonomi, pertanian, perikanan, sosial, hukum, agama, norma, dan sebagainya. Pahamilah persoalan itu, dan carilah solusi untuk memajukan. Solusi bersifat konkrit, bukan sebatas retorika.

Ketiga, sangat penting adanya kaderisasi pengetahuan tentang segala hal mengenai adat dan unsurnya kepada generasi-generasi berikutnya. Pendidikan adat yang mencakup keutuhan dan kebesaran semua unsur dalam ranah adat tersebut, perlu terus ditularkan. Jangan sampai ada missing link antara adat dengan pengetahuan yang dimiliki oleh generasi penerusnya. Generasi sekarang adalah generasi milineal, perlu terapi khusus untuk menunjukkan bahwa instrumen adat tetap diperlukan.

Keempat, contoh-contoh konkrit dalam bentuk best practice harus terus dilakukan. Kita percaya bahwa banyak individu dalam sebuah institusi adat yang memiliki kualitas dan kemampuan besar. Seharusnya ini bisa jadi contoh yang akan ditiru dan menjadi inspirasi bagi komunitas lainnya.

Kelima, kelembagaan adat biasanya sangat terpaku pada sosok pemimpin adat. Sosok inilah yang harusnya selalu berperan. Selama sosok ini masih terus dan tetap terkontaminasi oleh virus-virus liberalimse, individualistis, maka selama itu keagungan adat sulit ditegakkan. Pepatah, didahulukan selangkah, ditinggikan seranting, bisa jadi inspirasi. Pemimpin adat harus selalu diingatkan, “dicuil”, jika memang ada jalan yang menyimpang. Ia tak boleh terpisah dari komunitasnya, karena itu ia perlu dikawal. Makanya mereka hanya “didahulukan selangkah”, agar yang dibelakang bisa mengingatkan.

Adat bukanlah sekedar tradisi seremonial belaka. Adat adalah guci yang berisi penuh dan menjadi sumber inspirasi bagi banyak pihak. Guci ini harus dijaga dan dicuci jika memang sudah kotor. Tak masalah adat dibersihkan, agar tetap tegak dan berdiri kokoh. Karena tegaknya adat, adalah tegaknya bangsa.

***
 
Top