Bagindo Muhammad Ishak Fahmi


Kaba “Catuih Ambuih”


PERANG dagang yang digagas oleh Donald Trump dalam jabatannya sebagai Presiden Amerika Serikat bukanlah sekadar friksi dagang biasa. Ia adalah simbol dari era proteksionisme baru, di mana sekat-sekat ekonomi global kembali dibangun, meruntuhkan konsensus pasar bebas yang selama ini menjadi nadi globalisasi.

Indonesia, sebagai negara dengan ekonomi terbuka, tentu tidak kebal terhadap riak gelombang ini. Meski nilai ekspor Indonesia ke Amerika pada tahun 2024 berada di angka sekitar USD 22,34 miliar—hanya 9,3 persen dari total ekspor nasional, jauh di bawah Vietnam yang mencapai 28 persen dan Singapura 12,5 persen, ketergantungan yang relatif kecil ini justru menjadi peluang. Peluang untuk menata ulang struktur ekspor, mendiversifikasi pasar, dan mengembangkan ketahanan ekonomi domestik.

Namun, di balik angka-angka dan persentase, terdapat satu persoalan yang jauh lebih serius dan mengakar: ”Ketidakpastian Hukum”

Investor, baik domestik maupun asing, tidak hanya mencari potensi keuntungan, tetapi juga jaminan kepastian—bahwa peraturan tidak berubah semena-mena, bahwa hukum tidak tunduk pada kekuasaan, bahwa ada asas fairness yang dijunjung tinggi dalam setiap lini kebijakan.

Fenomena yang hangat dibicarakan hari ini yang sebut sebagai “Otakratik legalition” ;

(Secara etimologis dapat dimaknai sebagai:

Proses pembentukan atau perubahan hukum yang dikendalikan oleh kekuasaan yang otoriter atau sepihak, di mana hukum dibuat, diubah, atau dibatalkan sesuai dengan kehendak pihak berkuasa tanpa transparansi, akuntabilitas, atau kepentingan publik yang objektif).

Patologi hukum yang akut: hukum menjadi alat kekuasaan, bukan penjaga keadilan. Dalam praktiknya, ketika regulasi dinilai menghambat kepentingan oligarki atau kepentingan jangka pendek rezim, maka hukum dirancang ulang, diperlonggar, bahkan dilumpuhkan demi tujuan pragmatis.

Prof. Satya Arinanto, pakar hukum tata negara, pernah menyampaikan bahwa “penyakit kronis sistem hukum kita adalah instrumentalisasi hukum, di mana norma dibuat bukan untuk menjamin kepastian atau keadilan, melainkan untuk memenuhi selera kekuasaan.”

Sementara itu, Dr. Imam Prasodjo, sosiolog dari Universitas Indonesia, melihat gejala ini sebagai bagian dari “disfungsi institusi hukum yang memicu apatisme kolektif masyarakat. Ketika hukum menjadi milik elite, masyarakat kehilangan kepercayaan, dan ini berimbas pada stagnasi ekonomi dan sosial.”

Dengan kata lain, meskipun kita memiliki modal demografi dan sumber daya alam yang besar, tanpa rule of law yang tegak dan dapat dipercaya, Indonesia hanya akan terus menjadi pasar—bukan pemain dalam kompetisi ekonomi global.

Kini saatnya bertanya: Adakah kesungguhan dari negara untuk melakukan koreksi struktural terhadap sistem hukum kita? Adakah niat tulus untuk mewujudkan supremasi hukum yang berpihak pada rakyat, bukan pada kekuasaan?

Upaya itu tidak cukup sekadar pidato retoris atau regulasi tambal sulam. Ia harus hadir dalam wujud konkret: penegakan hukum yang tak pandang bulu, reformasi birokrasi hukum dari pusat hingga daerah, dan keterlibatan masyarakat sipil dalam mengawasi jalannya keadilan.

Jika hal itu dapat dibangun secara konsisten, maka badai perang dagang global sekalipun tidak akan menggoyahkan fondasi ekonomi kita. Justru sebaliknya, krisis bisa menjadi momentum untuk menata ulang orientasi ekonomi—berbasis pada integritas, kepercayaan, dan kepastian hukum. (*)


Padang, 4/2025




 
Top