Rosadi Jamani

- Ketua Satupena Kalbar


PERNAH ndak nuan bertanya, kenapa sih gubernur itu susah jadi tersangka? Padahal, sudah beberapa kali dipanggil jaksa. Nah, narasi kali ini akan mengungkap rahasia tersembunyi Gubernur, Walikota, atau Bupati susah benar ditangkap walau seribu kali dilaporkan. Siapkan kopi tanpa gulanya, karena ini bisa menjadi inspirasi bagi yang tak mau dijebloskan ke penjara.

Di tanah surga yang tongkat kayu dan batu bisa jadi uang proyek, kepala daerah kita telah menjelma bukan sekadar pemimpin, tapi juga pesulap moral, filsuf hukum praktis, sekaligus ninja anggaran yang sulit ditangkap kamera termal KPK. Tatkala anak buahnya satu per satu diseret masuk ke ruang penyidikan seperti kambing qurban antre disembelih, sang kepala daerah justru tampil adem, sejuk dan mengutip ayat suci di depan kamera. Padahal ia lah yang sejak awal merestui skema proyek siluman itu, dengan senyuman halus setipis nota dinas.

Mari kita bedah ini secara dramatis. Kepala dinas PUPR ditangkap karena fee proyek Rp3 miliar. Kepala Bappeda kena juga, katanya manipulasi dokumen. Bahkan bendahara Setda terseret, karena aliran dana hibah misterius mengucur ke rekening istri sirinya. Tapi kepala daerahnya? Masih jogging tiap pagi, pakai baju olahraga bertuliskan “BerAKHLAK.” Kenapa bisa begitu? Karena beliau tidak pernah menyentuh langsung uang haram itu. Ia cuma berkata lirih, “Tolong bantu percepat pencairan ya…” dan seolah-olah, kalimat itu adalah doa, bukan perintah.

Jangan remehkan kekuatan struktur birokrasi. Kepala daerah punya barisan pasukan yang loyal bukan karena visi-misi, tapi karena janji mutasi, fee proyek dan segepok tunjangan kehormatan. Maka ketika jaksa menyergap, yang kena adalah lapisan keempat. Lapisan pertama dan kedua masih sibuk rapat di hotel dan lapisan ketiga sedang studi banding ke Medan. Sementara sang kepala, sudah terbang ke Jakarta untuk menghadiri seminar anti-korupsi, ironis, tapi strategis.

Para kepala daerah ini bukan orang sembarangan. Mereka bukan koruptor ceroboh, tapi arsitek hukum. Mereka tahu bahwa dalam pasal pidana, kata “niat” itu sakral. Maka mereka tidak pernah berkata “korupsi,” hanya “insentif,” “partisipasi,” atau “biaya operasional tak terduga.” Uang suap disamarkan jadi honor narasumber, dana aspirasi, atau voucher pulsa yang entah kenapa nominalnya Rp80 juta. Transaksi dilakukan lewat orang keempat, ditulis tangan, dikirim via tukang parkir dan disegel dengan doa makan siang.

Ada yang bilang kepala daerah punya “mata-mata di KPK.” Itu mitos. Yang mereka punya lebih hebat, indera keenam birokrasi. Mereka bisa mencium aroma pengawasan dari jarak dua SKPD. Begitu ada penyadapan, langsung ganti HP, reset WA, bakar catatan, dan menyuruh ajudan sembunyikan flashdisk ke tempat suci, bawah kulkas dinas. Bahkan sebelum tim penyidik menyentuh handle pintu, CCTV sudah dimatikan dan pintu ruangan kepala daerah sudah penuh aroma minyak kayu putih, agar terasa religius.

Inilah zaman di mana kepala daerah bisa lolos bukan karena tak bersalah, tapi karena ia lebih cerdas mengatur kesalahan. Hukum itu logika, dan logika bisa dipelintir selama pian punya konsultan hukum, konsultan media, konsultan spiritual, dan konsultan dalam bentuk anggota DPRD yang paham diajak kompromi.

Wahai para calon koruptor elite, belajarlah. Jangan terlalu cepat mencicipi uang haram. Rancang strategi. Pelajari pola OTT. Pastikan anak buahmu cukup loyal dan tidak mudah stres saat diinterogasi. Karena ujung dari korupsi bukan sekadar penjara, tapi babak baru, jadi martir politik yang disanjung di grup WhatsApp alumni.

Satu hal terakhir, jangan pernah bawa koper saat hari Jumat. Itu hari sakral bagi KPK. Kalau mau aman, pilih Rabu. Hari itu biasa-biasa saja. Seperti hukum di negeri ini. Oh, iya, pastikan ATM selalu penuh, karena itulah jimat utamanya. (*)


#camanewak 



 
Top