ADA teman bertanya, “Bang, aneh nggak kalau ada wartawan mau memenjarakan wartawan?”

Seketika saya jawab, “Aneh sekali. Terutama kalau dia sudah wartawan bersertifikat kompetensi. Seharusnya dia menghayati kode etik, Undang-Undang Pers. ”

Salah satu tonggak sejarah dari hasil reformasi yang menghasilkan Undang-Undang tentang Pers No.40/1999 adalah dihilangkannya pemidanaan penjara bagi wartawan, dalam hal ini penanggungjawab media, yang bertanggungjawab atas semua isi media.

Undang-undang yang dihasilkan untuk mendobrak kriminalisasi pers, khususnya karena kepentingan politik rezim Orde Baru, mengatur mekanisme hak jawab. Pers dibebaskan untuk melakukan kegiatannya, tetapi kalau pers keliru, melanggar kode etik, dia wajib memberi hak jawab sebagai bagian dari akuntabilitas pers, sebagai pertanggungjawaban ke publik.

Jadi apabila ada orang yang merasa dirugikan dengan produk jurnalistik, silakan meminta hak jawab ataupun mengadu ke Dewan Pers. Betul banyak anggota masyarakat yang tidak tahu isi Undang-Undang Pers meskipun usianya sudah 32 tahun, tapi itu berlaku. 

Lho, kan hak warga negara untuk menggugat pers? Betul, tetapi kalau semangat reformasi yang kini dia nikmati, jangan mau ambil enaknya saja.

Anda yang hidup di era Soeharto pasti tahu. Beda pendapat saja bisa diteror. Mengkritik aparat keamanan saja, bisa diinterogasi atau ditahan berhari-hari tanpa alasan.

Media massa selalu ditelpon kalau ada informasi yang dianggap bakal merugikan, mau diberitakan. Sensor, breidel, intimidasi, kekerasan, oleh aparat keamanan, luar biasa banyaknya. Kalau saat ini Soeharto masih berkuasa, isi WA Group, Intagram, Twitter, pasti akan sopan, berbahasa baik. Atau setiap hari ribuan orang dibawa untuk diinterogasi.

Kemerdekaan pers yang ideal tentulah kebebasan yang dalam koridor etika, sejalan dengan Undang-Undang Pers dan meskipun ada banyak "penumpang gelap" yang memanfaatkan pers untuk kepentingan dirinya, itu merupakan tanggung jawab seluruh masyarakat. Peran serta itu diwujudkan dalam bentuk kontrol, mengingatkan apa bila ada yang keliru, ikut meningkatkan kapasitas media dan wartawan sesuai posisinya.

Pejabat misalnya, jangan ingin mengkooptasi media dan wartawan dengan uang, kemitraan, apalagi menggertak dan melakukan kekerasan. Pengusaha silakan memanfaatkan media tetapi janganlah menjadikan media jadi tidak kritis terhadap agenda korporasi yang membutakan media dari polusi, monopoli, kerusakan alam, kerugian masyarakat dan sebagainya.

Dalam kondisi sekarang, praktis hanya segelintir perusahaan media yang mampu memberikan pendidikan dan pelatihan bagi wartawannya sehingga peran pemerintah, swasta, masyarakat, sebenarnya amat dibutuhkan. Tetapi tetap dengan asumsi bahwa wartawan yang baik merupakan keuntungan bagi masyarakat dan bangsa, karena dia akan menjalankan tugas dan fungsinya seideal mungkin. 

Dia dekat dengan siapa saja, tetapi dia tetap fokus untuk melakukan agenda medianya untuk tetap kritis.

Dia kenal baik petinggi sipil dan militer tetapi sudut pandang dia adalah bagaimana agar beritanya semata-mata untuk kepentingan publik jadi apabila ada kebijakan yang merugikan masyarakat, dia kritik dengan beritanya. Dia selalu turun ke lapangan untuk merekam keluhan, melihat realitas, agar dapat menyuarakan aspirasi warga negara untuk didengar pengambil keputusan.

Pandemi yang sudah berjalan satu tahun setengah membuat banyak perusahaan pers kolaps, berkurang daya tahan ekonominya, dan hanya bertahan untuk tetap hidup, yang berpengaruh pada operasional atau cara kerja. Kesejahteraan wartawan ikut terimbas, dikurangi gaji atau tunjangannya, banyak yang bahkan terkena pemutusan hubungan kerja. Pelatihan menjadi barang mewah yang sulit terlaksana.

Mau tidak mau ini semua berpengaruh pada kualitas karya jurnalistik. Belum lagi kalau wartawan diberikan target untuk menghasilkan sejumlah berita dalam satu hari, sebagaimana lazim terjadi di media siber atau online. Kuantitas dinomorsatukan, kualitas, nanti dulu.

Khusus untuk media online ini, masyarakat menyaksikan bagaimana dalam dua tahun ini setiap pengelola berlomba-lomba mencari perhatian publik agar produknya paling dulu diklik.

Media yang didirikan dengan modal puluhan atau sekian ratus miliar, yang mestinya setia pada mutu, ikut-ikutan memakai cara itu agar balik modal. Ada sekian ratus triliun rupiah nilai pasar iklan tetapi sebagian besar sudah disedot media sosial dan aggregator berita, maka kue yang tersisa menjadi rebutan perusahaan media dengan cara apapun. Wartawan lalu menjadi korban tak terhindarkan.

Ada ribuan media online baru yang tumbuh dan akan terus tumbuh, sebagai dampak langsung dan tak langsungnya.

Wartawan yang berhenti dari media besar, bikin media siber. Sebagian memiliki modal cukup dan sebagian besar dengan pas-pasan dan modal nekad, mencoba ikut masuk ke dalam persaingan bebas itu. Dengan segala keterbatasan modal dan SDM, mereka tertatih-tatih karena ingin menyajikan jurnalisme bermutu.

Tetapi banyak juga yang mendirikan media bukan untuk idealisme jurnalistik. Menjadikan media sebagai badan usaha untuk mendapatkan uang dan keuntungan semata. Caranya adalah dengan menjalin kemitraan, istilahnya, mengandalkan kedekatan dengan pejabat di provinsi atau kabupaten/kota.

Walau sedikit, yang penting, bisa buat memperpanjang nafas. Tentu saja media yang dikelola dengan cara ini, kualitas jurnalistiknya seadanya karena cenderung memuat berita rilis dan hanya kritis kepada pihak yang tidak bisa diajak kerjasama.

Lalu orang-orang berteriak, harus diatur, Undang-Undang Pers perlu diperbaiki karena keadaan sekarang tidak lagi sesuai dengan tujuan reformasi.

Ada betulnya pendapat itu. Tetapi yang harus diingat adalah jangan sampai perubahan Undang-Udang Pers melahirkan pasal yang membuat pendirian media harus ada izin, pers bisa disensor atau dibredel, dan wartawan bisa dipenjara, dicegah atau dihalangi dalam bekerja. ***

Ya, memenjarakan wartawan sudah tidak zamannya. Tidak kompatibel dengan kondisi kita saat ini. 

Kita bukan Singapura, bukan Thailand, bukan Malaysia, Filipina atau rezim komunis seperti Laos, Kamboja, menyebut beberapa negara tetangga yang masih punya aturan memenjarakan wartawan sekaligus menjatuhkan denda.

Indonesia punya UU Pers yang mengubah pidana penjara menjadi pidana denda, itupun apabila ada media yang bandel tidak menjalankan perintah undang-undang. Tidak suka pada tulisan, balaslah dengan tulisan.

Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang diwakili Panglima TNI Djoko Santoso, mendapatkan Medali Emas Kemerdekaan Pers dalam Hari Pers Nasional 2009 karena lembaga itu mengedepankan mekanisme hak jawab untuk berita yang dianggap merugikan TNI. Ini sikap yang sejalan dengan semangat reformasi, mengikuti perkembangan zaman, dan memahami demokrasi yang menjadi dasar kehidupan berbangsa dan bernegara.

Nah kalau TNI saja sudah begitu, apa tidak malu lembaga lain mau memenjarakan wartawan?

Apalagi kalau pelakunya wartawan. Profesi Anda landasan ideologis dan operasionalnya adalah Kode Etik Jurnalistik. Anda bekerja diatur oleh Undang-Undang Pers.

Anda tidak pantas menjadi wartawan kalau ingin memenjarakan wartawan karena beritanya, karya jurnalistiknya, opini atau pendapatnya Anda anggap merugikan. Karena itu kompetensinya harus terus ditingkatkan.

Hati-hati juga menggunakan istilah. Dalam profesi wartawan yang ada adalah opini menghakimi, bukan mencemarkan nama baik, apabila ada sesuatu yang dianggap merugikan karena tuduhan yang menyudutkan, merugikan, dsb. Kalau masih keliru, artinya Anda perlu belajar lagi agar menghayati profesi Anda.

Jangan-jangan Anda hanya pekerja pers, hanya menganggap bekerja di perusahaan pers untuk mencari hidup, bukan menjalankan profesi mulia yang bekerja untuk khalayak, mengedepankan kepentingan umum, membela yang lemah.

Lalu apa artinya materi uji kompetensi yang Anda ikuti saat ujian. Belum pantas Anda memegang sertifikat kompetensi kalau pandangan tidak sejalan dengan Undang-Undang Pers.

Atau mungkin karena menjadi wartawan hanya untuk gagah-gagahan karena sebenarnya Anda itu pengusaha yang menjadikan pekerjaan wartawan untuk mendapat privilege dalam lelang proyek?

Atau Anda aktivis yang cara perjuangannya berbeda, filosofinya berbeda dengan profesi wartawan? 

Atau Anda pengacara yang sesekali mengubah pekerjaan menjadi wartawan untuk memperkuat posisi tawar? itu tidak tepat karena kode etik pengacara berbeda dengan kode etik jurnalistik. 

Kalau begitu, berhenti jadi wartawan. Tinggalkan profesi wartawan dan gunting sertifikat kompetensi Anda. Karena itu merusak profesi kewartawanan.

Memang tidak mudah menjadi wartawan, meskipun mungkin mudah lulus uji kompetensi karena menghafal soal dan mengerti pasal-pasal di undang-undang dan kode etik, serta Anda terampil menulis karena berlatih.

Secara teknis sering tidak ada kesulitan untuk melewati ujian, tetapi ujian sebenarnya adalah pada pandangan hidup, sikap, dan perilaku untuk mengetahui kepantasan menyandang profesi wartawan.

Karena wartawan adalah profesi. Ada kesadaran pada etika, yang harus dihayati, ditaati, dijadikan landasan dalam setiap tindakan, entah saat menjalankan tugas di lapangan atau dalam memandang setiap persoalan. Sekecil apapun kesalahan kita dalam menerapkan etika, itu adalah pelanggaran atas profesi dan membuat kita harus refleksi dan bertanya pada diri sendiri, apakah saya pantas menjadi wartawan.

Tapi kalau Anda sudah berpikir untuk memenjarakan wartawan, memidanakan penjara karya jurnalistik, Anda sudah melampaui batas. Maaf, Anda sudah tidak layak menjadi wartawan.

Ciputat 3 Agustus 2021


*Penulis adalah Wakil Ketua Dewan Pers

 
Top