Oleh: Prof. Dr. Elfindri, SE, MA

#Direktur SDGs Unand


KITA memang tidak konsisten, demikian kata sahabat penulis, Profesor Syamsurizal dari Aceh. 

Sebagaimana yang beliau sampaikan bahwa di Banda Aceh kedai kopi boleh buka mulai pagi hingga pagi lagi. Sementara sekolah ditutup.

Beliau mengeluhkan bahwa kita lebih mementingkan membuka kedai kopi dibandingkan membuka sekolah.

Benar juga pandangan beliau, kan bukan saja di Aceh? Di tempat kita Sumatra Barat saja, dimana angka positive rate kisaran 5 persen dan nasional 24 persen masih sekolah tutup dan kedai kopi semakin buka.

Sebenarnya ketakutan menyeluruh memperlakukan tidak dibukanya sekolah sesuatu cara berfikir yang keliru. 

Menteri Pendidikan Nasional misalnya, melihat pembukaan sekolah berbahaya.

Kamipun bukanlah yang paham epidemiologi. Tetapi kalaulah angka positive rate diperoleh per kecamatan, maka warnanya akan berbeda. 

Di Sumatra Barat tentu banyak kecamatan yang sudah hijau, kalaupun ada masih level dua kuning. Dan ini masih aman untuk proses belajar mengajar.

Kalau kita berpedoman pada keputusan menteri, dasar keputusan itu bisa bias karena kondisi Covid-19 di Jakarta memang masih sedang menggila.

Betapa tidak, kajian Bank Dunia menemukan anak anak selama masa pandemi belajar di rumah telah menurunkan indeks pencapaian reading skills sebesar 16 poin.

Padahal anak anak kita berbeda jauh tertinggal dibanding anak anak yag belajar di Hongkong atau Korea Selatan. Jika anak kita capaiannya 396, anak anak Hongkong sudah 550 lebih. Padahal menaikkan 10 poin saja peningkatan capaian pembelajaran, luar biasa sulitnya.

Sekarang anak anak kita hanya main-main kelereng di lorong lorong jalan. Bapak dan ibunya tidak pandai mendidik dan membiarkan saja. Sementara kedai-kedai kopi semakin bejibun untuk didatangi oleh pengunjungnya.

Sepanjang diterapkan protokol yang ketat, maka sekolah dan kedai kopi buka untuk daerah yang sudah rendah adalah sesuatu yang konsisten. Tidak membuka kedai kopi dan menutup sekolah itu tidak konsisten.

Risiko memang ada. Tetapi ini diupayakan untuk muncul seminimum sekali kemungkinannya.

Seharusnya ini diperjuangkan bersama oleh pemerintah daerah, melalui dinas dinasnya. Termasuk guru dan orang tua. Dengan terlebih dahulu menyiapkan protokol dan "governance" yang tegas.

Ini sebagai salah satu posisi yang penulis rasakan. Bahwa anak kita terancam masa depannya, sementara desain sekolah daring tidak siap.

Kalaupun kita kombinasikan dengan model kelas luring mungkin akan  lebih baik hasilnya. Jadi konsistensi kita sangat dibutuhkan.

#Penulis adalah Guru Besar Universitas Andalas (Unand) Padang, Profesor Ilmu Ekonomi


 
Top