Mohammad Medani Bahagianda
(Dalom Putekha Jaya Makhga)
Tabik Pun!
MASYARAKAT adat Lampung dikenal memiliki sistem nilai yang kuat dan terstruktur dalam menjalani kehidupan bermasyarakat. Dua kelompok besar yang dikenal luas dalam masyarakat Lampung adalah Saibatin dan Pepadun.
Masing-masing memiliki karakteristik sosial-budaya yang khas, namun tetap berakar pada nilai-nilai moral universal, salah satunya adalah prinsip kejujuran.
Dalam konteks budaya lokal, kejujuran bukan sekadar nilai personal, tetapi merupakan pilar etika sosial yang terintegrasi dalam konsep piil pesenggiri, yang menjadi filsafat hidup orang Lampung.
Tulisan ini mencoba mengangkat sebuah kisah fiksi tradisional sebagai refleksi nilai kejujuran dalam masyarakat adat Lampung, disertai analisis mendalam terhadap praktik dan nilai adat yang berkaitan dengan kejujuran. Selain itu, pembahasan akan berfokus pada relevansi nilai ini dalam kondisi sosial masa kini, terutama untuk pelestarian budaya dan pembangunan karakter generasi muda.
Pada masa ketika gunung masih menjadi batas antara dunia manusia dan alam gaib, hiduplah seorang putri bangsawan dari Marga Nuban, keturunan Saibatin, bernama Putri Mutiara. Ia dikenal luas karena kecantikannya, namun lebih dari itu, karena kejujurannya yang tanpa kompromi.
Suatu hari, saat kerajaan tengah mempersiapkan upacara adat besar untuk menyambut tamu dari kerajaan tetangga, terjadi kehilangan benda pusaka kerajaan—sebuah keris sakti bernama “Siwa Bungka.” Segera, kegaduhan merebak, dan beberapa bangsawan mulai saling menuduh. Namun, tanpa bukti, sang raja tidak ingin menghukum secara gegabah.
Putri Mutiara menawarkan diri untuk menyelidiki peristiwa itu. Dalam penyelidikannya, ia menemukan bahwa pelaku pencurian adalah adik angkatnya sendiri, Pangeran Galang, yang iri hati karena tidak dipilih sebagai pemimpin adat berikutnya.
Sang putri menghadapi dilema moral: antara kesetiaan keluarga dan kejujuran terhadap masyarakat adat.
Akhirnya, ia memilih untuk mengungkapkan kebenaran dalam sidang adat yang dipimpin oleh para penyimbang. Tangis mengiringi keputusan itu, namun semua pihak menghormati keberanian Putri Mutiara.
Pangeran Galang akhirnya menerima sanksi adat, namun sang putri bersumpah tidak akan menikah demi menebus luka yang ia sebabkan. Sejak saat itu, Putri Mutiara dikenang sebagai simbol kejujuran dan pengorbanan dalam adat Saibatin.
Adat Lampung bertumpu pada filosofi piil pesenggiri, yang mencakup nilai-nilai seperti martabat diri, harga diri, dan kehormatan keluarga. Di dalamnya, kejujuran (jujur) menjadi nilai sentral. Kejujuran dalam budaya Lampung bukan hanya menyangkut ucapan benar, tetapi juga integritas tindakan yang menghormati tatanan sosial dan spiritual.
Dalam Saibatin, kejujuran dianggap bagian dari menjaga kehormatan leluhur. Tidak jujur berarti mencoreng katurunan dan merusak martabat keluarga. Dalam Pepadun, kejujuran juga menjadi dasar pengangkatan seseorang menjadi penyimbang, tokoh adat yang dihormati. Gelar tidak akan diberikan kepada mereka yang tidak menjaga amanah dan integritas.
Kejujuran juga terwujud dalam sistem hukum adat. Sidang adat atau mekhanai biasanya melibatkan semua lapisan masyarakat, dan prosesnya dilakukan terbuka dengan mengedepankan keadilan restoratif. Bukti, kesaksian dan reputasi seseorang menjadi dasar penilaian, dan kejujuran individu menjadi landasan utama dalam pengambilan keputusan.
Beberapa praktik adat mencerminkan nilai kejujuran secara simbolik dan langsung:
Upacara Begawi – Dalam pernikahan adat, setiap pihak diharuskan menyampaikan asal-usul keluarga dan sejarah leluhur. Hal ini menuntut kejujuran dalam menjelaskan identitas dan keterikatan sosial.
Pemberian Gelar Adat – Calon penyimbang atau tokoh adat diuji secara moral dan spiritual. Salah satu yang paling penting adalah riwayat kejujuran dan kontribusi sosial mereka.
Tradisi Sumbangan Gotong Royong – Dalam setiap hajatan adat, masyarakat memberikan sumbangan sesuai kemampuan. Tidak boleh berpura-pura kaya atau miskin. Kejujuran dalam memberi adalah bentuk solidaritas dan penghormatan terhadap sesama.
Penyelesaian Sengketa Adat – Dalam menyelesaikan masalah seperti sengketa tanah, warisan, atau pelanggaran sosial, kejujuran menjadi nilai utama yang ditelusuri melalui saksi dan tuwah tua (orang tua adat).
Dalam kepercayaan adat Lampung, kejujuran dianggap sebagai pantulan dari kebersihan batin. Kejujuran bukan hanya kepada sesama manusia, tetapi juga kepada leluhur dan Yang Maha Kuasa.
Dalam setiap upacara adat, doa yang dilantunkan selalu memohon agar manusia dijauhkan dari kebohongan, iri hati, dan fitnah. Hal ini menunjukkan bahwa kejujuran adalah bagian dari jalan spiritual menuju kesucian diri dan keharmonisan sosial.
Praktik sembah bumi dan syukuran hasil panen disertai dengan pengakuan atas kesalahan kolektif dan permohonan ampun agar rezeki tidak terputus. Masyarakat percaya bahwa ketidakjujuran akan membawa kutukan adat yang berdampak pada keturunan dan kampung secara keseluruhan.
Kejujuran sebagai nilai adat sangat relevan di tengah krisis integritas yang sering mewarnai kehidupan modern. Di era digital, ketika informasi mudah dimanipulasi dan kepentingan pribadi kerap mendominasi, nilai kejujuran menjadi fondasi penting dalam membangun kepercayaan sosial.
Generasi muda Lampung di perkotaan sering kali mengalami keterasingan budaya. Mereka mungkin mengenakan tapis saat hari Kartini, tetapi belum tentu memahami nilai-nilai yang melandasinya.
Oleh karena itu, penting untuk mengintegrasikan nilai kejujuran adat dalam kurikulum pendidikan, media digital, dan pelatihan karakter.
Beberapa komunitas adat dan sekolah di Lampung sudah memulai program Adat Masuk Sekolah, yang mengajarkan filosofi adat melalui kisah, tarian, dan simulasi sidang adat.
Kejujuran menjadi salah satu topik utama yang diajarkan melalui permainan peran dan diskusi kelompok. Ini merupakan langkah konkret dalam menanamkan nilai kejujuran dalam dunia yang cenderung pragmatis.
Kisah Putri Mutiara dalam “Sumpah Putri Nuban” merupakan refleksi mendalam tentang bagaimana kejujuran menjadi ujian moral sekaligus kekuatan spiritual dalam masyarakat adat Lampung. Nilai ini terinternalisasi dalam praktik adat, struktur sosial, dan upacara ritual baik dalam masyarakat Saibatin maupun Pepadun.
Kejujuran dalam adat Lampung bukan hanya tentang berkata benar, tetapi tentang hidup dalam integritas yang menghormati leluhur, masyarakat, dan Tuhan. Nilai ini memiliki kekuatan besar dalam membentuk karakter masyarakat yang berkeadilan, beradab, dan berspiritualitas tinggi.
Di tengah tantangan zaman, pelestarian nilai kejujuran melalui jalur adat, pendidikan, dan pemberdayaan komunitas menjadi sangat penting. Generasi muda harus diberi ruang dan dukungan untuk menjadikan nilai-nilai adat sebagai fondasi dalam menghadapi dunia modern. (*)
Daftar Pustaka
• Alqadrie, Syarif Ibrahim. Struktur Sosial Masyarakat Adat Lampung. Jakarta: Balai Pustaka, 2003.
• Zuriati, Nur. “Piil Pesenggiri dan Moralitas Sosial Masyarakat Lampung.” Jurnal Humaniora, Vol. 8, No. 1, 2017.
• Rasyid, Muhammad. Etika dan Integritas dalam Adat Pepadun. Bandar Lampung: UBL Press, 2020.
• Yuliana, Siti. “Spiritualitas dan Moralitas dalam Upacara Adat.” Jurnal Antropologi Budaya, Vol. 38, No. 2, 2020.
• Wahyuningsih, Tuti. Nilai Kejujuran dalam Pendidikan Adat. Yogyakarta: Ombak, 2018.
• Arifin, Dedi. Pemuda dan Budaya Lokal: Studi Kasus Lampung. Jakarta: Komunitas Seni Nusantara, 2021.