NIASSELATAN, SUMUT -- Sebuah lembaran penting telah dibuka dalam upaya menelusuri dan melestarikan warisan budaya masyarakat Nias. Dr. Barbara Titus, peneliti dan etnomusikolog dari Universitas Amsterdam, berkunjung ke Nias dari tanggal 25 Juni sampai 9 Juli 2025, dalam rangka pengembalian arsip suara dan visual yang direkam oleh etnomusikolog Belanda Jaap Kunst pada tahun 1930, kepada komunitas asalnya di Desa Hilisimaetano, Nias Selatan.
Kehadiran Barbara Titus sebagai kurator koleksi arsip suara Jaap Kunst yang tersimpan di Universitas Amsterdam, bukan sekadar kunjungan akademik, melainkan sebuah momen penting bersejarah yang akan memperkuat akar budaya dan identitas masyarakat Nias di era modern.
Jaap Kunst (1891-1960) adalah seorang pionir etnomusikologi, ilmu yang mempelajari musik dalam konteks budaya dan sosialnya. Bersama istrinya, Katy Kunst van Wely, ia menghabiskan sekitar 15 tahun untuk mendokumentasikan beragam kekayaan musik di berbagai daerah di Hindia Belanda.
Pada tahun 1930, mereka melakukan ekspedisi penelitian ke Nias, merekam berbagai bentuk musik dan ekspresi vokal tradisional—termasuk hoho—nyanyian komunal khas Nias—menggunakan silinder lilin. Rekaman ini menghasilkan rekaman audio tertua dari musik Nias.
Dalam perjalanan selama sekitar satu bulan ini, mereka juga mengambil foto dan film bisu, serta mencatat detail etnografis yang menjadi dasar publikasi pentingnya, buku "Music in Nias" (1939). Buku ini adalah dokumentasi dan analisis Jaap Kunst mengenai musik di Nias, yang juga menceritakan ada banyak tradisi Nias yang sudah punah pada saat kedatangannya di tahun 1930.
Eurosentrism, Dekolonisasi dan Repatriasi
Dalam acara Kuliah Umum yang diselenggarakan di Desa Hilisimaetano, Minggu (29/6/2025), Dr. Barbara Titus mengatakan, “Pengembalian warisan budaya arsip Jaap Kunst berupa suara dan visual ini merupakan bagian dari gerakan repatriasi arsip, sebuah proses kritis yang bertujuan mengembalikan artefak dan, lebih luas lagi, pengetahuan budaya, dari lembaga-lembaga di negara-negara bekas kekuatan kolonial, kepada komunitas atau negara asalnya.”
Ia menjelaskan lebih lanjut, bahwa langkah ini seiring dengan berkembangnya pandangan kritis mengenai eurosentrisme, sudut pandang yang selama ini menempatkan budaya Eropa sebagai standar universal, dan merupakan bagian dari gerakan dekolonisasi yang berupaya membongkar struktur kekuasaan lama dalam produksi dan kepemilikan informasi.
“Dalam konteks ini, pengembalian arsip bukanlah sekadar transfer data. Ia adalah pengembalian narasi, makna, dan agen kepada pemilik aslinya, memungkinkan mereka menceritakan kembali kisah mereka dari perspektif otentik dan memberdayakan. Bandingkan jika arsip ini hanya tersimpan di kampus atau di museum Eropa, yang akan sekedar bernilai sebagai barang koleksi,” lanjutnya.
Pemulangan warisan arsip suara leluhur Nias ini berawal dari inisiatif Doni Kristian Dachi, seorang peneliti independen asal Nias. Doni kebetulan membaca berita tentang repatriasi arsip suara di NTT, kemudian ia mencari info, mengenalkan diri dan menghubungi langsung Dr. Barbara Titus, sebagai kurator koleksi suara Jaap Kunst di Universitas Amsterdam, dan Doni mendapatkan respon positif.
Menyelami Denyut Budaya Nias
Dr. Barbara Titus tidak hadir sendiri dalam kunjungan ini. Ia ditemani oleh Rani Jambak, seorang komposer, musisi, dan periset musik kelahiran Medan yang kini tinggal di Lasi, Sumatera Barat. Rani banyak dikenal dengan fokusnya pada perekaman soundscape yang kemudian dikembangkannya menjadi komposisi soundscape kreatif dengan bantuan teknologi digital.
Rani juga banyak mengangkat penelusuran warisan budaya leluhur, dan saat ini ia sedang memulai studi doktoral di Universitas Gajah Mada dan Universiteit van Amsterdam untuk meriset arsip-arsip rekaman Jaap Kunst sebagai bagian dari projek riset warisan suara Re:Sound. Kehadiran kedua sosok ini di Nias, merepresentasikan dialog multiperspektif antara masa lalu, masa kini, dan masa depan warisan budaya Nias
Selama di Nias, Dr. Barbara Titus dan Rani Jambak menginap di sebuah rumah adat tradisional Nias yang telah dikembangkan menjadi homestay di Desa Hilisimaetano, Nias Selatan. Mereka memilih untuk merasakan langsung denyut kehidupan dan menyelami konteks budaya Nias secara lebih mendalam, membangun jembatan personal dengan komunitas.
Suara Melintas Generasi
Selama kunjungannya, Barbara dan Rani telah berkesempatan menyaksikan berbagai praktik budaya Nias yang kaya. Mereka menyaksikan langsung kegiatan musyawarah adat Orahu, mendapatkan pemahaman mendalam tentang struktur sosial dan pengambilan keputusan tradisional masyarakat Nias.
Di hari berikutnya, mereka menjadi saksi mata upacara adat pengukuhan tokoh adat Fa'asi'ulu dan Fa'asi'ila, sebuah ritual kaya simbolis yang menunjukkan kekuatan sistem adat Nias yang masih kokoh, lengkap dengan tarian dan nyanyian adat yang dibawakan oleh masyarakat desa.
Pada malam yang sama, sebuah pengalaman mengharukan terjadi ketika mereka menyaksikan masyarakat desa berlatih Hoho, tradisi tutur yang dinyanyikan secara komunal yang juga direkam oleh Jaap Kunst hampir seratus tahun silam. Momen ini secara magis menghubungkan suara masa lalu yang terekam dengan praktik yang masih hidup dan dipertahankan oleh generasi kini.
“Saya sangat tersentuh mendapatkan momen istimewa, saat mendengar Hoho rekaman Jaap Kunst yang kemudian dilanjut dengan nyanyian Hoho yang dibawakan langsung oleh para anak cucu keturunan dari orang-orang yang suaranya direkam oleh Jaap Kunst,” ungkap Rani Jambak.
Mengakses Warisan Budaya
Rangkaian penting kunjungan dan observasi ini adalah keterlibatan Dr. Barbara Titus dan Rani Jambak dalam forum berbagi pengetahuan. Pada Sabtu (28/6/2025), mereka diundang sebagai pembicara dalam Diskusi Ilmiah di Universitas Nias Raya dengan tema "Warisan Budaya Nias Tak Benda," yang juga menghadirkan Rektor Universitas Nias Raya sebagai narasumber.
“Universitas Nias Raya berupaya untuk berusaha bisa mendapatkan kembali akses warisan budaya masyarakat Nias yang saat ini masih banyak yang tersimpan di Eropa. Hal ini seakan pengetahuan baru bagi masyarakat, ketika warisan ini ‘hilang’ tanpa jejak di tanah leluhurnya namun ada di benua lain,” tutur Dr. Martiman Suaizisiwa, Rektor Universitas Nias Raya.
Sementara itu, dalam forum ilmiah tersebut Rani Jambak memantik diskusi dengan ulasannya tentang warisan suara dan konteks pemajuan kebudayaan, “Pemajuan budaya dalam warisan suara merupakan upaya untuk menjaga, mengembangkan, dan memanfaatkan ekspresi suara yang menjadi bagian dari identitas budaya suatu komunitas.”
Rani memaparkan, berbagai hal bisa dilakukan oleh kalangan akademik, seperti program inventarisasi dan dokumentasi suara tradisional, upaya perlindungan hak kekayaan intelektual komunitas, pengembangan revitalisasi bentuk suara yang hampir punah, sampai pada bentuk-bentuk mendorong kolaborasi seniman tradisional dengan seniman muda untuk adaptasi kontemporer
“Dalam skala lebih lanjut, pemanfaatan warisan suara bisa diintegrasikan dalam dunia pendidikan maupun dalam ranah pariwisata budaya, serta dalam aneka produksi konten digital. Di sini tentunya perlu komitmen dari pemerintah dan pihak kampus dalam mendukung aktivitas pelatihan untuk pengembangan generasi muda sebagai pelaku budaya,” tegasnya.
Pulangnya Suara Leluhur
Momen-momen emosional terjadi dalam agenda Kuliah Umum "Suara yang Pulang" di Desa Hilisimaetano, Minggu (29/6/2025). Acara ini dihadiri oleh kalangan tokoh adat, bangsawan, tokoh pemerintahan, akademisi dosen dan mahasiswa, sampai masyarakat desa.
Dalam sambutannya, Anggraeni Dachi, Kepala Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga (Disbudparpora) Kabupaten Nias Selatan, menyampaikan, “Kita sangat bersyukur bahwa rekaman suara-suara leluhur kita telah hadir kembali di rumahnya, dan bisa kita akses langsung. Namun kita juga harus berpikir, setelah ini apa yang harus kita lakukan?”
“Apakah arsip ini hanya akan sekedar kita simpan sebagai koleksi? Atau kita mau melestarikan dengan terus memainkannya, dan juga mengembangkannya menjadi potensi karya-karya kontemporer? Ini semua ada di tangan kita, tergantung kemauan kita,” tambahnya.
Puncak acara ini adalah ketika Dr. Barbara Titus menyerahkan arsip suara Jaap Kunst secara langsung kepada anak-anak cucu dari para pelaku hoho yang suaranya direkam pada tahun 1930. Arsip-arsip suara ini diserahkan dalam bentuk stick flashdisk.
Sebelumnya, Dr. Barbara Titus telah berinisiatif melakukan proses restorasi suara berbasis kecerdasan buatan, untuk mengurangi noise, distorsi, serta pecahnya suara, sembari berusaha mempertahankan karakter orisinal rekaman sebanyak mungkin.
“Penyerahan file arsip suara ini adalah esensi sejati dari repatriasi, yaitu mengembalikan warisan langsung kepada masyarakat sumbernya, melampaui batas-batas institusi, dan memberikan akses seluas-luasnya agar masyarakat bisa kembali mendengar suara-suara leluhur mereka yang telah lama terpisah,” ujar Dr. Barbara Titus.
Setelah 95 Tahun
Menutup acara sore itu, hoho dikumandangkan oleh masyarakat yang tergabung dalam sanggar hoho Desa Hilisimaetano. Sanggar ini dipimpin oleh Rawatan Dachi, Camat Maniamölö, Nias Selatan, yang juga seorang maestro hoho, cucu dari Duada Jofu yang suaranya direkam oleh Jaap Kunst pada tahun 1930.
Lokasi penampilan Hoho ini dilakukan di sebelah balai desa Hilisimaetano, di halaman depan rumah Duada Barani, tepat di mana di tempat inilah Jaap Kunst merekam hoho yang sama sembilan puluh lima tahun silam. Peristiwa ini tentu saja menjadi momen emosional yang mengharukan bagi semua yang hadir, terkhusus bagi masyarakat Desa Hilisimaetano.
Agenda penyerahan arsip suara Jaap Kunst telah dilaksanakan, komunitas masyarakat sumber secara kolektif telah mendapatkan apa yang menjadi haknya. Namun kunjungan Dr. Barbara Titus dan Rani Jambak di Nias belum berakhir. Keduanya masih akan melanjutkan perjalanan ke beberapa desa lain di Nias yang pernah dikunjungi Jaap Kunst, untuk terus menjalin koneksi lebih luas dengan komunitas dan menggali lebih dalam warisan budaya Nias.
Inisiatif "Suara yang Pulang" di Nias ini tidak hanya menjadi kisah sukses dalam repatriasi arsip. Ia adalah bukti nyata bahwa upaya pengembalian warisan sejarah dapat berakar kuat dari komunitas lokal, membawa kekayaan budaya kembali ke pangkuan pemiliknya, dan membangun jembatan pemahaman yang lebih adil serta bermartabat antara masa lalu dan masa kini.
#adv/ede