Rosadi Jamani

- Ketua Satupena Kalbar


UDAHLAH, wak! Kalah ya kalah aja. Jangan cari kesalahan oficial, wasitlah, pemainlah. Vietnam memang bagus mainnya, dan layak juara. Maaf, saya mau move on, eh masih ingat kekalahan Timnas menyakitkan tadi malam. 

Kali ini saya mau membahas soal toleransi yang sedang ramai. Ketika bicara toleransi, agar tidak menjadi intoleran, ada baiknya belajar ke Kota Singkawang. Di sini saya pernah menimba ilmu tiga tahun. Orang menyebutnya, Kota Amoi. Mari simak penjelasannya sambil seruput kopi tanpa gula lagi.

Di negeri yang kadang lebih sibuk ngurus jenggot orang dari memperbaiki jalan berlubang, toleransi adalah kata yang sering dielus, tapi jarang benar-benar dipeluk. Tapi tunggu dulu, jangan menyerah pada dunia yang penuh adu bacot ini. Ada satu kota di pojok Kalimantan Barat yang secara tak terduga tampil sebagai duta besar kedamaian. Bukan, ini bukan Wakanda. Ini Singkawang! Kota tempat naga dan masjid saling senyum dan Tatung bisa numpang parkir depan rumah ibadah tanpa kena sweeping.

Kenapa Singkawang? Karena Jakarta terlalu sibuk demo. Mari kita mulai dengan fakta. SETARA Institute bilang Singkawang adalah kota paling toleran di Indonesia tiga tahun berturut-turut. Kalau prestasi itu dipegang sama klub sepakbola, pasti udah dicetak banner segede gorong-gorong bertuliskan, “We Are Champion of Tolerance.”

Tapi Singkawang nggak lebay. Mereka lebih memilih membuktikan toleransi bukan dengan orasi, tapi dengan visi dan sedikit sentuhan magis dari naga, kelenteng, masjid, gereja dan warung kopi tempat umat beragama bisa debat soal surga sambil ngudud bareng.

Singkawang punya patung naga. Bukan buat ditunggangi Avenger, tapi buat dilindungi oleh Pangdam! Bayangkan, tentara turun tangan demi seekor naga. Di kota lain, tentara sibuk jaga demo. Di Singkawang? Mereka jaga toleransi pakai senyum dan sepatu lars.

Tahun 2010, patung naga nyaris dibongkar oleh sekelompok yang merasa tersinggung. Untung Jenderal Moeldoko hadir dan bilang, “Saya berdiri paling depan jaga naga!” Kalau itu bukan toleransi, saya nggak tahu lagi. Mungkin hanya di Singkawang kita bisa melihat nasionalisme, spiritualitas dan reptil mitologis bersatu dalam satu tugu.

Coba hitung tempat ibadah di kota ini. Masjid? Ada belasan, dari yang tua banget sampai yang pakai nama futuristik seperti Masjid Nurul Islam. 

Gereja? Jangan salah. Dari GKKB sampai GBI Sempalit. Bahkan, Yesus pun bisa mengangguk tenang. 

Kelenteng? Lebih dari 700. Bahkan Dewa pun bingung mau singgah ke mana dulu. 

Lalu, Pondok Pesantren? Banyak. Mereka bukan tempat intoleransi dipelihara. Mereka tempat kopi diseduh, kitab dibaca dan pemahaman lintas iman disemai.

Kalau di kota lain gereja dan masjid saling lempar suara adzan dan lonceng, di Singkawang mereka duet akustikan Cap Go Meh dan Maulid Nabi. Para semesta di sini kayaknya udah kongkalikong bikin grup WhatsApp lintas agama, “Ngopi yuk, abis subuh.”

Singkawang terkenal dengan slogan “Cidayu.” Slogan ini terdengar seperti nama sup restoran fusion, tapi jangan tertipu. Cidayu adalah singkatan paling mulia yang pernah tercipta di tanah Borneo. Tiga etnis besar, Cina, Dayak dan Melayu, bukan cuma hidup berdampingan, mereka saling ngeraktir waktu buka puasa dan saling pinjam tatung buat festival.

Hal menarik dari implementasi Cidayu itu. Untuk masuk Singkawang bisa tiga pintu gerbang. Gerbang selatan bergaya Tionghoa lengkap dengan naga yang dikerangkeng. Gerbang utara bergaya Melayu Sambas lengkap dengan motif songketnya. Gerbang timur bergaya Dayak lengkap dengan rumah betangnya.

Mereka membuktikan bahwa beda kulit, bahasa, keyakinan, ada istiadat, dan etnis bukan alasan buat unfollow teman di dunia nyata.

Singkawang saat ini dipimpin wali kota perempuan etnis Tionghoa. Namanya, Tjhai Chui Mi. Ini periode keduanya. Beliau terpilih lagi pada Pilkada kemarin. Tanda, kepemimpinan beliau masih diinginkan oleh warga seribu kelenteng itu.

Untuk menjadi kota tolerans, RPJMD-nya inklusif. Hukum daerahnya tidak diskriminatif. Kebijakan pembangunannya seperti nasi campur, beragam, bergizi, dan bikin kenyang semua pihak.

Singkawang bukan utopia. Pernah juga ada keributan, perusakan, dan protes. Tapi perbedaannya adalah, mereka belajar. Polisi tanggap. Masyarakat aktif. Pemimpin tidak tutup telinga. Toleransi bukan hal mistik, tapi kerja keras harian.

Toleransi bukan soal “siapa yang benar,” tapi “siapa yang rela hidup berdampingan tanpa harus mengibarkan ego di tiang bendera.”

Kalau direk atau nuan masih takut sama perbedaan, ingatlah, Singkawang nggak takut sama naga, kenapa sampeyan takut sama tetangga beda agama?

Kapan Indonesia bisa jadi Singkawang? Mungkin saat kita berhenti nyinyir dan mulai nyapa.

Mungkin saat kita berhenti bertanya, “Dia agama apa?” dan mulai nanya, “Dia lapar atau nggak?” Mungkin, saat kamu sadar, toleransi itu bukan kelemahan, itu seni bertahan hidup sebagai manusia. Jadilah seperti Singkawang. Punya banyak patung, tapi tetap manusiawi.

Dalam kota di ujung rimba, naga dan salib tak saling curiga, azan dan lonceng bersahut mesra, di bawah langit yang sama merdeka. Singkawang mengajarkan, beda bukan luka, tapi warna yang memperkaya, toleransi bukan diam, tapi saling menjaga walau tak serupa doa. Wahai bangsa yang mudah tersulut amarah, belajarlah mencintai sebelum memaki, sebab rumah ini terlalu besar untuk dibakar oleh ego yang kecil sekali. (*)

#camanewak






Next
This is the most recent post.
Previous
Posting Lama
 
Top