Catatan Paradoks: Wayan Suyadnya
TAHUN 2024, Jepang meraih catatan tertingginya: 36,9 juta wisatawan datang berkunjung, melonjak 47,1 persen dari tahun 2023, bahkan menyalip angka emas sebelum pandemi—31,9 juta jiwa pada 2019.
Negeri sakura ini memang sedang mekar, tapi wangi mekarnya mulai memekakkan.
Di balik senyum ramah dan gerbang kuil yang terbuka, warga Jepang mulai resah. Rumah mereka berubah menjadi museum terbuka, kota mereka menjadi taman bermain dunia.
Pariwisata menjanjikan uang, tapi di Jepang Wisatawan sudah mulai dirasakan seperti hama; mengganggu.
Lalu, bagaimana dengan Bali. Pulau kecil yang dibilang “surga” itu? Apakah warga Bali sudah mulai terganggu? Apakah wisatawan menjadi gangguan, bahkan ancaman?Jawabannya? Sangat tergantung.
Pemilik hotel, apalagi hotel bintang—yang sebagian besar bukan dimiliki orang Bali—tentu berkata tidak terganggu. Mengapa harus terganggu, jika tiap kedatangan berarti omzet?
Apalagi kalau hotel bintang lima 90 persen bukan milik warga lokal, dan restoran mewah dikelola pemodal luar. Peduli amat dengan keseharian warga Bali?
Tapi bagi warga yang tak berkaitan dengan industri pariwisata, kehidupan terasa mulai menyempit.
Macet di mana-mana, harga beras naik, harga telur melonjak, biaya hidup ikut wisatawan: semua naik kelas, tapi warganya tetap di kelas bawah.
Maka, saya tak akan menjawab apakah terganggu atau tidak. Saya ingin menyampaikan fakta empirisnya saja:
Seorang wisatawan Australia menembak mati sesama wisatawan Australia di vila. Polisi kewalahan. Bali tercoreng.
Seorang wisatawan memukul security lokal. Entah karena mabuk, entah karena merasa kebal hukum, beraninya membuat keonaran di tanah Bali.
Di jalanan sering terlihat wisatawan melaju ugal-ugalan, tanpa helm, terjadi kecelakaan, warga lokal jadi korban? Terlalu sering untuk disebut kejadian karena kasusnya terus berulang.
Sudah sering didengar wisatawan membuka bisnis vila, mengelola usaha tanpa izin, bahkan membangun kampung turis, merusak sawah, melabrak jalur hijau menjadi deretan beton.
Ada cerita wisatawan menjemput wisatawan, menjual tur ilegal, memotong rejeki warga lokal dengan membuka usaha sendiri. Jika wisatawan asing, hidung mancung, kulit berbeda gampang dikenali, wisatawan domestik menjemput dan menjadi tur ilegal siapa yang tahu?
Usaha-usaha warga diambil alih perlahan. Bali menjadi tanah yang disewakan untuk orang asing. Dia mengeruk keuntungan di tanah Bali, demikian juga domestik yang mengaku artis juga mengeruk untung di Bali.
Apakah fakta emperis ini tak bisa dipakai membuat kesimpulan, bahwa wisatawan di Bali sudah menjadi hama; mengganggu?
Belum lagi kemacetan nyaris menjadi menu keseharian? Macet jadi bagian dari napas harian di Kuta, Seminyak, Canggu, Ubud.
Harga barang pokok? Melambung, sebab semuanya “disesuaikan dengan daya beli wisatawan”.
Tukang bangunan pun tarifnya naik, bukan karena ekonomi membaik, tapi karena standar “kampung turis” menyusup hingga ke pelosok desa.
Siapa yang membayar semua ini? Ya, warga lokal. Warga yang barangkali tak pernah menginap di hotel. Tak pernah menyentuh kursi spa. Warga yang setia hidup di tanah leluhurnya dipaksa harus membayar imbas dari “kemegahan” sebagai daerah turis.
Dan di tengah semua ini, muncul wacana besar: Bandara internasional Bali Utara. Konon, akan lebih besar dari Ngurah Rai. Konon, akan membuka pintu bagi jutaan wisatawan baru. Konon…..
Bayangkan: dua bandara internasional untuk pulau sekecil Bali.
Satu Ngurah Rai saja, sudah membuat Bali padat, macet dan terasa sesak, dimana-mana, kriminal jadi cerita harian, lalu sekarang ada cerita mau membangun satu lagi “Ngurah Rai” yang lebih gede, lebih modern, lebih hebat, yang nantinya melahap lahan 900 ha untuk bandaranya saja, belum daerah secondnya, belum lagi yang lain, berapa ha lagi akan tergerus yang dipastikan bukan untuk orang lokal, apakah tidak membuat Bali makin padat, makin macet, makin, makin……, makin rusak, makin tidak Bali?
Setelah Bandara Bali utara, mungkin nanti ada jembatan Jawa-Bali guna memperlancar arus wisatawan domestik lewat darat, apalagi nanti disambungkan dengan tol Gilimanuk – Denpasar. Apakah seperti ini pembangunan itu?
Atau jangan-jangan ini pertanda Bali dengan sengaja akan diserahkan sepenuhnya untuk pariwisata? Bali untuk pariwisata, bukan pariwisata untuk Bali, sesuatu yang ditakutkan tetua Bali.
Ini dunia paradoks: ketika jumlah kunjungan meningkat, begitu pula jumlah insiden bertambah. Ketika wisatawan bertambah, kemacetan tak bisa dikendalikan, bukannya membuat upaya membatasi jumlah kunjungan, ini malah berupaya menambah dan menambah kunjungan lebih banyak lagi.
Mau tak mau, Bali yang susah mandiri, akan terus tidak mandiri, Bali akan terus kekurangan, dan dengan terpaksa terus menggantungkan diri dari luar.
Sekarang energi tak cukup, listrik harus disuplai dari luar Bali, apalagi nanti jika ada bandara baru, ada kota satelit tumbuh, banyak lagi hotel bermunculan bagaimana mungkin Bali bisa mandiri soal energi?
Bisa jadi ada yang bilang gampang. Itu cadangan panas bumi di Bedugul bisa dieksploitasi, ramah lingkungan, cadangannya besar, bisa untuk listrik seluruh Bali, panas bumi pun dieksploitasi, apa seperti itu?
Belum urusan logistik, bahan pokok dikirim dari luar.
Ketergantungan Bali akan sangat tinggi dengan tetangga dan dunia luar. Surga tropis ini akan terus menjadi pulau tak mandiri, tak berdaulat, tak punya kuasa atas dirinya sendiri.
Lalu, pertanyaannya kembali mengemuka: Apakah wisatawan masih menjadi tamu yang dinanti, atau malah menjadi hama yang tak bisa dikendalikan?
Apakah Bali masih rumah, atau sudah berubah menjadi panggung pertunjukan yang bahkan aktor lokalnya tak bisa lagi menentukan naskahnya sendiri?
Inilah dunia paradoks: wisata membawa harapan dan kehancuran dalam satu nafas.
Selamat Hari Bhayangkara ke-79; semoga Polri selalu menjadi pengayom kita semua…….(*)
Denpasar, Awal Juli 2025