JAKARTA — Sebuah momen bersejarah dan sarat makna terjadi di Double V Coffee & Eatery, Rawamangun, Jakarta Timur. Komunitas diaspora Nias, akademisi, dan pemerhati budaya berkumpul dalam Dialog Interaktif bertajuk “Suara yang Pulang”.

Dialog Interaktif ini diselenggarakan oleh Suno Zo'aya Foundation bersama kaum muda BKPN Jemaat Jakarta, PT. Inko Dmentec Indonesia, Nafulu Bawömataluo Diaspora, dan Bravely Foundation. Acara ini menjadi ruang refleksi dan perayaan atas upaya repatriasi (pemulangan kembali) rekaman suara dan dokumentasi budaya Nias kepada masyarakat Nias.

Rekaman tersebut awalnya direkam oleh etnomusikolog Belanda, Jaap Kunst, pada tahun 1930. Setelah lebih dari sembilan dekade tersimpan di Amsterdam, rekaman ini kini kembali dihadirkan secara simbolis ke masyarakat asalnya. Baik di Nias maupun di kalangan diaspora yang tersebar di wilayah Jabodetabek, suara leluhur ini kembali menggema.

Inisiatif repatriasi ini menjadi sorotan berkat kerja sama lintas benua. Upaya ini dipimpin oleh Dr. Barbara Titus, Associate Professor of Cultural Musicology dari Universiteit van Amsterdam sekaligus kurator koleksi Jaap Kunst. Doni Kristian Dachi, pegiat sejarah dan budaya Nusantara dari Nias Selatan, adalah inisiator proyek Suara yang Pulang.

Dalam dialog yang berlangsung selama dua jam pada Sabtu sore itu, mereka berhasil menyentuh dan menghidupkan kembali kaitan sosial budaya. Ini menghubungkan masa lalu dan masa kini masyarakat Nias.

Merunut Jejak Suara yang Hampir Hilang

Dialog diawali dengan pemutaran rekaman suara hoho. Ini adalah bentuk seni nyanyian narasi bersahutan khas Nias yang telah direkam oleh Kunst pada 1930. Pemutaran ini lengkap dengan visual dokumentasi serta foto-foto perjalanan ekspedisinya.

Suara-suara ini nyaris terlupakan setelah masuk ke arsip museum di Belanda, sekedar menjadi arsip dan tidak on display, tidak bisa diakses langsung oleh pengunjung. Namun kini arsip suara itu kembali menggema dalam ruang penuh kehangatan kekeluargaan di antara masyarakat diaspora.

Doni Kristian Dachi membuka presentasi dengan mengenang suasana saat rekaman itu pertama kali diserahkan kembali. Penyerahan dilakukan kepada keturunan penyanyi di desa Hilisimaetanö, Nias Selatan. “Ketika suara leluhur kami terdengar kembali, itu bukan sekadar nostalgia," ujarnya. "Ini adalah pengakuan atas identitas dan ikatan batin yang selama ini tersebar terpisah oleh jarak dan waktu.”

Barbara Titus menanggapi dengan penuh empati. Ia menjelaskan bahwa repatriasi bukan sekadar pengembalian data digital atau artefak. Ini adalah penegasan rasa memiliki dan hak pengelolaan warisan budaya oleh komunitas sumber. “Pengalaman menyaksikan warga Nias, baik di kampung halaman maupun di perantauan, menyambut suara-suara ini dengan rasa bangga dan haru," ungkapnya. "Ini telah mengubah cara pandang saya tentang ‘kepemilikan’ arsip dan budaya.”

Ia menambahkan bahwa sebelum hadir di Jakarta, dirinya telah melakukan penyerahan arsip suara Jaap Kunst secara langsung kepada masyarakat Nias di pulau asalnya. Dari tanggal 25 Juni hingga 9 Juli 2025, Barbara berhasil menyerahkan arsip tersebut ke tujuh desa dari total 13 desa yang direkam Jaap Kunst pada tahun 1930. Ketujuh desa tersebut adalah Hilisimaetanö, Bawömataluo, Hilibotodanö, Hiliganöwö, Siwöli, Tetegewö, dan Orahili Fau.

“Peran saya sebagai penjaga arsip (gatekeeper) pun mengalami perubahan menjadi mediator dengan masyarakat sumber," jelasnya. "Proses ini juga merupakan bentuk dialog lintas generasi dan benua yang membuka kesempatan bagi masa depan budaya yang lebih setara dan bermakna.”

Dinamika Diaspora: Menjaga Akar, Merayakan Identitas

Lewat dialog ini, komunitas diaspora Nias menunjukkan bahwa warisan budaya bukan hanya simbol historis. Ini juga bagian hidup yang dinamis.

Grup vokal Hoho Nafulu Bawömataluo Diaspora tampil membawakan lagu Mazmur 23 dalam langgam nada leluhur Nias. Grup ini terdiri dari anak-anak muda diaspora. Penampilan mereka memperlihatkan adaptasi tradisi klasik ke dalam konteks religiositas dan kehidupan urban masa kini.

Melodi dan harmoni nyanyian mereka menimbulkan resonansi emosional yang kuat di antara peserta. Ini menghubungkan kepercayaan dan budaya leluhur dengan kehidupan masyarakat modern.

Selain penampilan vokal, peserta juga menikmati pameran mini berisi dokumentasi visual proses repatriasi Suara yang Pulang di Nias Selatan. Ini menghadirkan gambaran nyata dan kontekstual mengenai upaya panjang mengembalikan warisan budaya ini ke masyarakat asalnya.

Disiplin Manaö, seorang tokoh masyarakat Nias diaspora mengemukakan akan ketiadaan tradisi tulis di antara suku Nias. Namun mereka punya tradisi lisan yang sangat kuat baik melalui **orahu** (percakapan retorik-dialogis), nyanyian foer* hingga hoho.

Tradisi lisan ini yang membuat orang Nias masih bisa mengenal akar budaya dan identitasnya yang terhubung dengan leluhurnya. Karena itu "Suara yang Pulang" ini patut diapresiasi, disambut, dan dihidupkan kembali. Suara-suara itu menunjukkan apa, siapa, dan bagaimana kehidupan suku Nias.

Diskusi Mendalam dan Kritik Konstruktif

Sesi tanya jawab yang interaktif menawarkan ruang bagi audiens untuk mengajukan pertanyaan. Pertanyaan ini mengenai aspek teknis repatriasi, seperti pengelolaan arsip digital dan mekanisme aksesibilitasnya oleh komunitas lokal.

Barbara Titus menegaskan, “Proses ini bukan sekadar mengembalikan arsip kepada mereka. Ini mengarahkan komunitas untuk mengelola dan meneruskan warisan dengan pendekatan yang berkelanjutan, bertanggung jawab, dan inklusif.” Ia menambahkan pentingnya transfer of agency atas arsip ini kepada masyarakat sumber.

Doni Kristian Dachi menegaskan visinya, “Kami berkomitmen agar komunitas Nias mandiri dan kuat dalam mengelola warisan budaya. Tidak lagi menjadi objek studi pasif, tetapi subjek yang aktif mendefinisikan dan meneruskan identitas budaya.”

Perspektif Akademik tentang Repatriasi dan Dekolonisasi

Di bagian penutup dialog, beberapa akademisi mengisi ruang dengan wawasan tambahan. Ini menguatkan nilai repatriasi dari sisi sejarah, gender, dan estetika budaya.

Dr. Widya Fitria Ningsih, dosen Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UGM sekaligus peneliti sejarah dan studi dekolonialisasi, menyoroti bahwa repatriasi merupakan langkah penting. Ini dalam meluruskan narasi yang selama ini timpang akibat kolonialisme.

“Langkah memulangkan warisan budaya membuka ruang bagi kelompok yang selama ini terpinggirkan," ujarnya. "Banyak peran komunitas masyarakat yang sering tidak terdokumentasi dalam narasi resmi sejarah Indonesia yang cenderung masih Javasentris.”

Ia melanjutkan, “Masyarakat sumber harus tetap melakukan dialog dengan arsip ini agar terus menjadi relevan untuk masa kini dan masa yang akan datang.”

Ia menekankan bahwa repatriasi harus ditopang oleh dukungan berkelanjutan. Ini agar tidak berhenti pada formalitas, tetapi menjadi gerakan nyata menuju kesetaraan dan kedaulatan budaya.

Penyerahan Simbolis dan Harapan Masa Depan

Dialog diakhiri dengan penyerahan simbolis salinan digital arsip kepada beberapa perwakilan komunitas. Ini di antaranya Badan Penghubung Prov. Sumatera Utara yang diterima oleh Ichsan Arifin Siregar. Kemudian Nafulu Bawömataluo Diaspora, komunitas adat Nias diaspora yang diterima oleh Pilarius Manaö. Serta Forum Komunikasi Nihakeriso Ononiha yang diterima oleh Rosriani Gea.

Pada kesempatan ini juga, panitia penyelenggara memberikan ukiran yang merepresentasikan komitmen entitas Suno Zo'aya bagi pelestarian warisan nyanyian hoho. Ukiran ini dibuat secara khusus dan dipesan dari pengukir di Bawömataluo, pulau Nias.

Doa bersama dan penghormatan kepada leluhur mengisi suasana hangat dan penuh haru. Momen ini menjadi simbol kuat bahwa suara-suara masa lalu bukan hanya kenangan, melainkan energi hidup yang menguatkan identitas komunitas masa kini.

Barbara Titus merenung, “Setiap rekaman bukan hanya relik mati, melainkan suara yang hidup dan berdenyut. Repatriasi ini adalah panggilan agar kita mendengar dan menjaga nilai-nilai budaya agar tetap lestari.”

Doni Kristian Dachi menambahkan, “Warisan budaya leluhur bukan hanya harta masa lalu. Ini sumber inspirasi dan kekuatan yang harus kita jaga agar terdengar dan bertahan untuk generasi berikutnya.”

Melalui dialog ini, Suara yang Pulang berhasil menegaskan bahwa repatriasi warisan budaya adalah proses pembebasan dan penghidupan kembali identitas komunitas. Komunitas ini selama ini jauh dari pusat kekuasaan. Ini membuka ruang bagi masa depan yang menghormati akar dan kebhinekaan budaya bangsa.

#rel/ede




 
Top