MALAM itu sunyi di Banjaran. Di kontrakan kecil berukuran tiga kali empat meter, lampu bohlam redup bergantung di langit-langit. Cat dindingnya sudah pudar, retakan kecil menjalar seperti urat-urat lelah. Bau lembap bercampur dengan aroma minyak goreng yang entah sejak kapan menempel di udara.

Di sudut kamar, EN duduk bersandar di dinding. Kedua anaknya sudah tertidur. AA, anak sulungnya yang berusia sembilan tahun, memeluk boneka yang sudah kehilangan satu matanya. Bayi mungil, AAP, terlelap di tikar tipis, sesekali merengek kecil. EN menatap mereka dengan tatapan sayang, bercampur getir.

Tangan kirinya memegang secarik kertas, tangan kanannya menggenggam spidol hitam. Kertas itu ditempelkan ke dinding dengan isolasi bening. Tulisan tangannya bergetar, kadang huruf-hurufnya melebar, kadang mengecil seperti tak sanggup menyusun kalimat.

“Saya sudah lelah lahir batin…”

Ia berhenti sejenak, menarik napas panjang. Ada sesak yang tak pernah mau pergi. Hidupnya seperti lingkaran hutang yang tak ada ujung. Setiap hari selalu ada yang menagih, meski ia sendiri tak tahu lagi utang dari mana, jumlahnya berapa. Seolah-olah kemiskinan itu punya alamat tetap, dan alamat itu adalah rumahnya.

Di luar sana, di kota yang sama, ada gedung megah dengan pilar kokoh dan karpet merah. Di dalamnya duduk para wakil rakyat dengan jas licin dan dasi berkilau. Setiap bulan mereka menerima tunjangan rumah Rp62 juta. Jumlah yang, bagi EN, bahkan tak bisa ia bayangkan bentuknya. “Mungkin kalau dikumpulkan bisa jadi gunung uang,” batinnya.

Ia tersenyum getir. Ironi itu menusuk dadanya: dirinya memilih mati karena tak sanggup lagi bayar kontrakan, sementara orang yang katanya “wakil rakyat” bisa hidup mewah tanpa merasa malu.

Suaminya, YS, bekerja serabutan. Pulang larut malam, kadang bawa uang, kadang tidak. Yang paling membuat EN hancur bukan sekadar miskin, tapi kebohongan. Ia merasa sendirian, ditinggalkan dalam kebisuan utang, sementara suaminya sibuk dengan  janji-janji palsu.

Air matanya jatuh mengenai spidol yang ia genggam. Ia kembali menulis:

“Aa, Dede… maafkan mamah. Jalan ini harus mamah tempuh. Mamah lebih rela ke neraka daripada melihat kalian sengsara. Insya Allah, kalian masuk surga.”

Tangannya gemetar. Ia menatap lama wajah kedua anaknya. Dalam hati ia berharap dunia lain lebih ramah bagi mereka daripada dunia yang kejam ini.

Jam dinding menunjukkan pukul setengah dua pagi. Suara jangkrik bersahutan di luar. Dari jauh, terdengar motor melintas di jalan kampung.

EN berdiri. Ia melangkah pelan, menyiapkan tali yang sudah ia sembunyikan. Tangannya dingin. Detik demi detik terasa panjang.

---

Ketika suaminya pulang dini hari, pintu kontrakan terkunci dari dalam. Ia panik, mendobrak. Begitu masuk, ia terperanjat. Istri dan anak-anaknya sudah terbujur kaku. EN tergantung di pintu kamar, AA terbujur di ruang tamu, bayi mungil AAP terdiam di tikar.

Di dinding, secarik kertas masih menempel. Kata-kata yang ditulis dengan air mata menjadi saksi bisu: jeritan perempuan yang kalah oleh keadaan.

Keesokan harinya, berita itu menyebar. Televisi menyiarkan gambar kontrakan sempit dengan garis polisi kuning melintang. Wartawan menyalin isi surat wasiat. Warga kampung berbisik-bisik, sebagian menitikkan air mata.

Di sisi lain, di ruang rapat DPRD Jawa Barat, suasana tak jauh berbeda dari biasanya. Kursi empuk, AC dingin, meja rapat dipenuhi kertas-kertas. Seseorang bercanda soal perjalanan dinas ke luar kota. Di sudut meja, laporan tentang “tunjangan rumah Rp 62 juta” hanya jadi bahan obrolan kecil, tanpa rasa bersalah.

Ironi itu jelas: di kampung kecil, tiga nyawa melayang karena putus asa. Di gedung megah, para pejabat sibuk mempertahankan tunjangan.

Seakan-akan dua dunia itu berada di planet berbeda, meski hanya dipisahkan jarak beberapa puluh kilometer.

Surat EN di dinding kontrakan bukan sekadar catatan bunuh diri. Ia adalah dokumen sosial potret bagaimana kemiskinan bisa menghancurkan jiwa, sementara negara gagal hadir. Ia bukan sekadar kisah pribadi, melainkan cermin besar bagi bangsa yang lebih sibuk merawat privilese pejabat daripada martabat rakyat.

Dan kita, masyarakat yang membaca kisah ini, hanya bisa terdiam. Bertanya dalam hati: berapa banyak lagi nyawa harus jadi korban sebelum para pejabat berhenti hidup mewah di atas penderitaan orang kecil?

TAMAT




 
Top