Oleh ReO Fiksiwan


“Sebuah pernyataan tidak mengatakan apa-apa dan para pembaca dipaksa untuk menciptakan pernyataan mereka sendiri.” — William Empson (1906-1984), Seven Types of Ambiguity (1930;1966).


HAMPIR seluruh ekspresi kebudayaan dari masa manapun sering dilanda sikap ragu atas berbagai peristiwa yang berlangsung dalam sejarah.

Keraguan ini bukan sekadar kebingungan, melainkan refleksi mendalam atas kompleksitas realitas yang tak pernah sepenuhnya bisa dijelaskan secara tunggal.

Dalam ranah budaya politik, keraguan itu menjelma menjadi ambiguitas: sikap yang menggantung antara keputusan dan ketidakpastian, antara janji dan pelaksanaan, antara norma dan praktik.

Banyak kebijakan negara terhadap warganya menunjukkan pola ini. Misalnya, program MBG yang digadang-gadang sebagai solusi ekonomi, namun dalam pelaksanaannya justru menimbulkan pertanyaan tentang arah dan dampaknya.

Kasus-kasus korupsi yang tak kunjung tuntas, bahkan kadang ditangani dengan standar ganda, memperlihatkan bagaimana ambiguitas menjadi bagian dari sistem, bukan sekadar penyimpangan.

Pemisahan Kementerian Agama dan pembentukan kementerian khusus urusan haji juga menunjukkan ambiguitas struktural: apakah ini bentuk efisiensi atau justru fragmentasi birokrasi yang tak jelas tujuannya.

Demikian pula, kebijakan fiskal dan moneter oleh Menteri Keuangan sering kali memicu ambiguitas dalam persepsi publik—antara stabilitas dan tekanan, antara pertumbuhan dan penghematan.

Kultur ambiguitas tak hanya melanda dunia materialisme sekuler, tapi juga meresap ke dalam dunia spiritual.

Dalam agama, ambiguitas bukanlah kelemahan, melainkan ruang tafsir yang memungkinkan keragaman pemahaman.

Thomas Bauer (64) dalam A Culture of Ambiguity: An Alternative History of Islam (2021) menunjukkan bahwa Islam klasik justru merayakan ambiguitas sebagai kekayaan intelektual.

Tafsir Qur’an, hukum Islam, dan tradisi sastra Arab berkembang dalam ruang ketidakpastian yang produktif.

Bauer, profesor Studi Islam dan Arab di Universitas Münster, Jerman, menyoroti bagaimana modernitas, baik dalam bentuk fundamentalisme maupun sekularisme, berusaha menghapus ambiguitas demi kepastian mutlak. Padahal, justru di sanalah letak vitalitas budaya Islam.

Ia juga menawarkan sejarah alternatif Islam dengan fokus pada ambiguitas budaya dalam tradisi Islam klasik.

Selain itu, lewat bukunya ini, ia menantang pandangan Barat yang menyederhanakan Islam sebagai agama yang dogmatis dan tidak toleran terhadap keragaman.

Dalam ambiguitas sebagai kekayaan budaya, Islam klasik justru merayakan ketidakpastian dan perbedaan pendapat, baik dalam hukum, tafsir Qur’an, sastra, maupun etika.

Konflik antara dua arus pemikiran, antara lain: satu arus ingin menyingkirkan ambiguitas dan menegakkan kebenaran absolut.

Sementara, arus lain menerima kompleksitas dan ketidakpastian sebagai bagian dari kehidupan intelektual dan spiritual.

Dengan kejatuhan ambiguitas, modernisasi dan pengaruh Barat mendorong Islam ke arah kepastian mutlak, memunculkan fundamentalisme dan sekularisme yang sama-sama menolak ambiguitas.

Mengacu pada etimologi ambiguitas sendiri dapat dirunut dari gagasan William Empson dalam Seven Types of Ambiguity.

Empson mengidentifikasi tujuh jenis ambiguitas dalam bahasa dan sastra sebagai kebudayaan ekspresif.

Mulai dari makna ganda yang menyatu, makna yang bertentangan namun memperjelas konflik batin, hingga pernyataan yang kosong namun memaksa pembaca menafsirkan sendiri.

Ambiguitas, dalam pandangan Empson, bukanlah cacat logika, melainkan cermin dari kedalaman pikiran dan kompleksitas pengalaman manusia.

Dengan melakukan eksplorasi psikologi dan proses berpikir melalui bahasa, tentunya, tujuh tipe ambiguitas Empson diringkas berikut ini:

Metafora ganda: dua hal yang berbeda disamakan, menciptakan makna baru.

Makna ganda yang menyatu: dua arti berbeda dari satu kata atau frasa yang akhirnya menyatu dalam konteks.

Makna tak berhubungan muncul bersamaan: seperti permainan kata atau pun yang menghasilkan dua makna sekaligus.

Makna yang bertentangan namun memperjelas konflik batin penulis.

Penulis menemukan ide saat menulis: ambiguitas muncul dari proses kreatif itu sendiri.

Pernyataan kosong yang memaksa pembaca menafsirkan sendiri.

Kata-kata yang bertentangan dalam konteks, menunjukkan konflik mendalam dalam pikiran penulis.

Ketika diterapkan dalam konteks budaya, ambiguitas menjadi medan tarik-menarik antara makna dan interpretasi, antara kekuasaan dan keraguan, antara dogma dan dialog.

Kultur ambiguitas, dengan demikian, bukan sekadar fenomena linguistik atau estetika, melainkan struktur mendalam dalam kehidupan sosial, politik, dan spiritual.

Ia menantang kita untuk tidak tergesa-gesa dalam menilai, untuk membuka ruang bagi keragaman makna dan untuk menerima bahwa dalam banyak hal, ketidakpastian adalah bagian tak terpisahkan dari kemanusiaan dan kebudayaannya sendiri. (*)


#coversongs: Lagu „The Great Pretender”, ciptaan Buck Ram, manajer dan penulis lagu untuk grup vokal The Platters(1955).

Versi Freddie Mercury dirilis pada 23 Februari 1987 sebagai bagian dari album kompilasi Messenger of the Gods: The Singles.

Mercury merekam ulang lagu ini sebagai proyek solo, dan video musiknya menampilkan dirinya dalam berbagai kostum yang merujuk pada penampilan ikoniknya bersama Queen.

Lagu ini menggambarkan seseorang yang berpura-pura bahagia, padahal sebenarnya kesepian dan terluka dan juga semacam pengakuan emosional bahwa di balik glamor dan sorotan, ada rasa sepi yang mendalam.

Mercury menyampaikan ambiguitas antara persona panggung dan realitas batin, menjadikan lagu ini sangat personal dan menyentuh.



 
Top