Dr. Wendy Melfa | Penulis
Akademisi UBL, Pegiat Ruang Demokrasi (RuDem)
PENEGASAN SEBELUMNYA
PASCA hadirnya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 114/PUU-XXIII/2025 tanggal 13 November 2025, penulis pernah menulis artikel populer berjudul “Adakah Ruang Bagi Polri untuk Tidak Patuhi Putusan MK”, dengan menuangkan pikiran berbasis analisis hukum ketatanegaraan.
Pada intinya, bahwa secara konstitusional berdasar pada Pasal 1 Ayat (3), Pasal 24C Ayat (1), Pasal 30 Ayat (4) UUD 1945, dan sejumlah ketentuan Pasal pada UU Nomor 22/2002 tentang Polri, UU Nomor 20/2023 tentang Aparatur Sipil Negara sebagai landasan operasionalnya, serta TAP MPR VII Tahun 2000, juga Putusan MK 114/PUU-XXIII/2025 itu sendiri.
Secara hukum regulasi itu tidak memberikan ruang kepada Kapolri, baik secara kelembagaan maupun dalam kapasitas fungsi dan wewenangnya untuk tidak mematuhi Putusan MK 114 yang bersifat final and binding dengan pokoknya menyatakan ‘Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar Kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian’.
Terhadap pokok dari frasa yang termuat dan terkandung dalam sejumlah ketentuan peraturan perundangan tersebut tidak menyisakan celah hukum yang dapat diterjemahkan lain untuk tidak memenuhi ketentuan mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.
Perkapolri 10/ 2025
Melalui Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 10 tahun 2025 yang ditandatangani Kapolri Sigit Listyo Prabowo mengesahkan Beleid yang mengatur mekanisme pengalihan jabatan anggota Polri aktif dari organisasi dan tata kerja Polri ke jabatan organisasi dan tata kerja kementerian/ lembaga. Melalui Karo Penmas Divisi Humas Polri, keberlakuan Perkap tersebut sesuai dengan regulasi yang ada (detiknews, 13/12/25).
Melalui laman dan portal berita yang sama, dijelaskan bahwa kesesuaian regulasi tersebut diantaranya Pasal 28 ayat (3) UU 2/ 2002 tentang Polri, Pasal 19 ayat (2) b UU 20/ 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), kemudian Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11/ 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil (PNS), dalam Pasal 147 disebutkan bahwa jabatan ASN tertentu di lingkungan instansi pusat tertentu dapat diisi oleh anggota Polri sesuai kompetensi.
Pasal 153 mengatur bahwa anggota Polri melaksanakan tugas di luar struktur sesuai dengan permintaan dari pejabat pembuat komitmen atau PPK. Berbasis sejumlah regulasi tersebutlah menurut Perkap 10 Tahun 2025 tersebut terdapat 17 Kementerian/ Lembaga yang dapat diisi anggota Polri.
Dengan melalui mekanisme mutasi anggota Polri yang akan ditempatkan pada jabatan-jabatan tersebut menjadi perwira tinggi (pati)/ perwira menengah (pamen) dalam rangka penugasan pada kementerian/ lembaga tersebut, untuk menghindari adanya rangkap jabatan, meskipun tidak harus memenuhi klausul mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian, sebagai mana diatur dalam frasa Pasal 28 ayat (3) UU 2/ 2002 tentang Polri.
Stufenbau Theory
Filsuf hukum Hans Kelsen melalui teorinya yang disebut ’Teori Jenjang Norma’ atau yang populer dalam ilmu hukum dikenal sebagai “Stufenbau Theory” menjelaskan sistem hukum sebagai suatu susunan hirarkies atau piramida norma, di mana setiap norma hukum di bawahnya harus bersumber dan tidak boleh bertentangan dengan norma yang lebih tinggi yaitu Grundnorm (Norma Dasar) yang abstrak dan menjadi sumber legitimasi seluruh sistem.
Penerapan teori ini di Indonesia dengan menempatkan Pancasila sebagai Staafsfundamentalnorm tertinggi, diikuti UUD 1945, TAP MPR, UU, PP dan seterusnya secara hirarkis sebagaimana diatur dalam UU 12/ 2011 jo UU 15/ 2019 jo UU 13/ 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia, termasuk di dalamnya diatur asas, jenis, hierarki dan tahapan pembentukan hukum.
Pengaturan hirarkie peraturan perundang-undangan menjadi validitas berlakunya norma hukum tersebut sesuai dengan asas hukum lex superior derogat legi inferior, ketentuan norma hukum yang lebih tinggi mengesampingkan ketentuan norma hukum dibawahnya.
Dengan adanya pengaturan hirarkie peraturan perundang-undangan tersebut akan memberikan prinsip kepastian hukum dalam berlakunya hukum itu sendiri.
Melalui pendekatan Stufenbau theory serta merujuk pada ketentuan UU 12/ 2011 beserta perubahannya, secara gamblang dapat direkonstruksikan keberadaan Perkap 10/2025 yang baru saja ditandatangani oleh Kapolri, apakah sudah memenuhi hirarkie dan asas hukum yang melingkupinya.
Dapat disimpulkan bahwa keberadaan adalah berada pada dibawah ketentuan UU bahkan PP, oleh karena itu secara struktur dan substansi Perkap 10/ 2025 tidak dibenarkan bertentangan dengan ketentuan yang diatur oleh ketentuan perundangan di atasnya.
Manakala memenuhi ketentuan frasa mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian sebagaimana dinyatakan secara tegas dalam Pasal 28 ayat (3) UU 2/2002 tentang Polri, maka seluruh produk hukum di bawah UU tersebut tidak dapat menerjemahkan lain atau bahkan bertentangan dengan ketentuan UU yang berada di atasnya.
Apalagi hanya dinyatakan dimutasi untuk menghindari rangkap jabatan sebagai diatur dalam substansi Perkap 10/ 2025 tersebut.
Bahwa secara struktur dan substansi, kehadiran Perkap 10/ 2025 yang ditandatangani oleh Kapolri Sigit Listyo Prabowo bertentangan dengan UU 2/ 2022, UU 20/ 2023, dan UU 12/2011 sehingga kehadiran dan keberlakuannya dapat dinyatakan tidak sah sesuai hukum karena bertentangan dengan aturan hukum.
Kapolri yang menandatangani Perkap 10/2025 tersebut, dapat dinyatakan melakukan sesuatu yang tidak berdasarkan hukum atau bertentangan dengan hukum, sesuatu yang bertentangan dengan hukum dapat dinyatakan sebagai perbuatan melawan hukum.
Terlebih bila dikaitkan dengan Putusan MK 114 yang menurut konstitusi UUD 1945, bahwa Putusan MK berlaku final and binding untuk dipatuhi dan dilaksanakan.
Adapun hal-hal yang terkait dengan etik dan sopan santun jabatan dalam tata kelola menjalankan fungsi dan wewenang sebagai Kapolri, tetapi tidak terdapat pengaturannya dalam ketentuan UU 12/2011 terkait dengan hirarkie peraturan perundang-undangan, maka tidak dipertimbangkan secara hukum terkait dengan kepastian, hirarkie, dan berlakunya Perkap 10/2025 dalam hal struktur dan substansi sebagai sebuah produk hukum.
Produk hukum yang tidak sesuai dengan hukum, maka dapat dinyatakan sebagai produk hukum yang cacat hukum dan tidak sah.
Manakala produk hukum tersebut dijadikan sebagai landasan hukum terbitnya sebuah jabatan, maka segala sesuatu yang dilahirkan dari jabatan itu juga dapat berkonsekuensi cacat hukum dan batal demi hukum. (*)
.jpg)
