Catatan Satire; Rizal Pandiya
- Sekretaris Satupena Lampung
NEGARA sedang sibuk. Prabowo berencana akan evakuasi warga Gaza. Sebuah niat mulia, walau rencana ini dicurigai sebagai alat negosiasi tarif impor 32 persen dari Donald Trump, tapi minimal dia muncul, ngomong dan kasih harapan.
PHK merajalela, masyarakat miskin melonjak tajam. Kalau dulu bisa beli beras dua liter, sekarang cuma mampu beli tisu buat lap air mata.
Sementara itu, laut kita mulai dipagarin. Bukan sama Tuhan, tapi oleh para oligarki. Petani garam cemas, nelayan resah. Penanganan kasus korupsi jalan di tempat, IKN gak jelas, makan bergizi gratis sudah tak terdengar lagi.
Tapi wapres bocil kita kemana? Suaranya nyaris tidak terdengar. Ketika presiden kita pontang-panting ngurus negara, dia malah ngumpet. Sunyi, seperti pojokan whatsapp grup keluarga yang cuma dibaca tapi gak pernah dibalas. Mungkin dia pikir, “Kalau diam itu emas, maka diam terus bisa jadi deposito.”
Sayangnya, diamnya dia gak cukup bikin harga emas turun. Emas justru terbang lebih tinggi dari cita-cita netizen yang ingin pindah ke Norwegia. Rupiah pun ikutan nyungsep, nyaris tembus Rp17 ribu per dolar. Ini bukan lagi kurs, ini kursi goyang, makin hari makin bikin pusing.
Wapres kita, ya memang gitu-gitu aja. Tidak ada suara. Tidak ada gestur. Tidak ada empati. Hanya ada satu hal, ketiadaan yang konsisten. Kalau ditanya, “Ke mana wapres kita?” Jawabannya bisa macam-macam. Sedang cooling down setelah nonton anime. Lagi menghindari wartawan karena trauma ditanya vitamin. Atau sedang berpikir keras… mau posting story pakai filter yang mana.
Dan pidato-pidato ajaibnya? Sampai hari ini masih jadi koleksi meme nasional. “Par-para bapak, para-para nyaik…” Itu sambutan resmi atau lagu remix dari era dangdut koplo?
Kita sudah lama tahu, wapres kita bukan aktor utama. Tapi setidaknya, bisa jadi figuran yang berguna. Tapi kalau diam terus, kerja nggak kelihatan, ngomong bikin salah, lalu ngilang kayak sinyal 3G… ini bukan wapres, ini ghosting nasional.
Jadi apa gunanya wapres bocil ini?” Kalau dia hilang dari muka bumi besok, apakah negara akan kacau? Atau justru malah lancar tanpa ada yang salah ucap tiap konferensi pers?
Mungkin sudah saatnya kita pikir ulang, apakah isi kursi itu memang orang… atau cuma pajangan mahal bersubsidi rakyat. Kalau fungsinya hanya sebatas hadir di acara seremonial dan tepuk tangan doang, bukankah lebih hemat kalau dikosongkan saja? Toh selama ini negara tetap berjalan, meski agak sedikit ngesot.
Anggaran miliaran bisa dialihkan untuk subsidi beras, pendidikan, atau sekadar memperbaiki jalanan rusak—daripada dipakai membiayai pemimpin yang kontribusinya lebih mirip NPC dalam game, ada tapi nggak ngapa-ngapain. Kalau kata orang Minang, “Seperti mentimun bungkuk”, masuk karung tapi tak masuk hitungan.
Konon, di tengah sunyinya suara sang wakil menghadapi krisis nasional, dia tetap setia mengasah kemampuan… di land of dawn. Ya, di saat rakyat menanti pidato, wapres kita sedang sibuk push rank di mobile legends. Mungkin dia lebih nyaman jadi jungler yang sembunyi di semak, menyerang diam-diam lalu kabur lagi, ketimbang menghadapi pertanyaan wartawan soal harga beras.
Tapi yang paling kasihan tentu rakyat kita yang sudah ditipu 10 tahun oleh bapaknya, kini ditawarkan ilusi baru lewat anaknya. Seolah-olah negara ini arena sirkus keluarga, yang satu sudah selesai jadi pesulap, kini giliran badut tampil di panggung utama.
Kalau dulu kita kena prank dengan narasi “kerja, kerja, kerja”, sekarang kita dikasih versi “diam, diam, diam.” Dulu kita pikir negara ini akan maju, sekarang kita cuma berharap jangan mundur ke zaman barter. (*)
Bandarlampung, 12 April 2025
#makdacokpedom