MERASA cuma pernah ikut latihan Menwa (Resimen Mahasiswa) semasa kuliah di Teknik Geologi ITB, Teddy Sutadi Kardin tegas menolak permintaan seniornya di Wanadri, Iwan Abdulrachman (Abah Iwan), untuk melatih pasukan di Batalion 328. Selain merasa tak punya kapasitas, dia tak mengenal Prabowo Subianto sebagai komandan batalion tersebut.

Selang beberapa hari di pengujung 1987, Prabowo-lah yang langsung menemuinya di kantor milik Iwan di kawasan Senopati, Jakarta Selatan. "Masak bantu bule mau, bantu negara sendiri tidak mau? Berapa Anda dibayar mereka? Saya bayar dengan harga yang sama," kata Teddy mengulang ucapan Prabowo kala itu.

Lelaki yang dikenal sebagai ahli geologi, navigasi, dan survival itu tersinggung bukan kepalang atas ucapan tersebut. Toh, kontrak dua bulan tersisa dengan perusahaan asing tak mungkin dilepas begitu saja. Sebagai kompromi, dia berjanji akan melatih pasukan Prabowo gratis selama setahun bila kontraknya yang tersisa telah selesai. Deal! 

Lulusan ITB 1976 itu telah aktif di organisasi Perhimpunan Penempuh Rimba dan Pendaki Gunung Wanadri sejak 1973. Pengalamannya sebagai ahli geologi yang biasa hidup berbulan-bulan di dalam hutan kian mengasah kemampuannya di bidang navigasi dan survival. Selama di hutan, ia mengaku banyak belajar bertahan hidup kepada berbagai suku pedalaman di Kalimantan, Sumatera, dan daerah lainnya. Di setiap daerah, beberapa dari mereka biasanya dijadikan staf oleh Teddy guna memuluskan tugasnya.

Suku-suku Dayak di pedalaman Kalimantan, ia melanjutkan, tak cuma terampil menjebak aneka satwa yang bisa dimakan dan memilih tanaman untuk obat maupun dimakan. "Mereka juga mampu melacak dan menghapus jejak serta mengendus jejak satwa tertentu dari jarak jauh," ujar lelaki kelahiran Bandung, 11 Mei 1951, itu.

Semua pengetahuan dan pengalaman itu kemudian ia tularkan kepada para prajurit Yon 328 ketika mulai menjadi pelatih sejak awal 1988. Bekal tersebut amat bermanfaat bagi para prajurit saat bertugas di Timor Timur.

 "Saya ikut membantu membuatkan peta operasi saat di Timtim," ujar Teddy. 

Begitu juga saat tim peneliti Ekspedisi Lorentz 1995 disandera Organisasi Papua Merdeka pimpinan Kelly Kwalik di Mapenduma, Papua. Prabowo, yang saat itu menjadi Komandan Kopassus dengan pangkat brigadir jenderal, meminta Teddy turut membantunya. Dalam operasi yang diikuti beberapa satuan elite dari negara lain, seperti SAS Inggris, itu, ia membuatkan peta navigasi dengan skala 1 : 50 ribu.

Dengan peta operasi yang dibuatnya, ia berhasil meyakinkan para perwira pasukan elite yang terlibat agar tidak terkecoh oleh gerakan sinyal dari pemancar satelit. Hasilnya, pada 15 Mei 1996, 10 dari 12 peneliti berhasil dievakuasi dan diselamatkan. Atas berbagai sumbangsih tersebut, Teddy dinobatkan sebagai warga kehormatan Kopassus.

Sosok lainnya yang ikut berperan dalam sukses Kopassus adalah Djukardi Adriana alias Bongkeng, yang dikenal sebagai ahli panjat gunung, dan ahli perencanaan perlengkapan Prasidi W., serta tentu saja pendiri Wanadri, Abah Iwan.

Kerja sama Bongkeng dengan Kopassus dimulai pada pertengahan 1980-an. Ia, yang baru pulang mendaki puncak Gunung Alpen di Eropa pada 1982, memperkenalkan berbagai peralatan untuk mendaki gunung yang lebih canggih, dari penggunaan jenis tali sampai pengait. 

"Kebetulan waktu itu Kopassus berencana meremajakan peralatan rock climb yang mereka miliki sebelumnya untuk tim Pendaki Serbu," ujar Bongkeng saat ditemui detik di kantor Eiger, Bandung, beberapa waktu lalu.

Lelaki bertubuh kecil dan kerempeng itu juga terlibat dalam pelatihan dan pendampingan tim ekspedisi gabungan Wanadri dan Kopassus untuk mendaki puncak gunung-gunung tertinggi di dunia. Pada 2011, dia turut serta dalam ekspedisi gabungan Kopassus dan Kostrad di Pegunungan Bukit Barisan.

"Saya pribadi sudah tiga kali ke puncak Carstensz Pyramid, pernah ke Alpen, Aconcagua, Kilimanjaro, dan lainnya. Cuma Mount Everest yang belum sempat," ujar Bongkeng.

sumber: detik.com/jat
 
Top