Catatan Satire; Rizal Pandiya

- Sekretaris Satupena Lampung


DALAM dunia ilmu forensik, ada satu hal yang tak pernah bohong, yaitu gigi. Ya, gigi. Benda kecil di rongga mulut yang kadang menyimpan lebih banyak rahasia negara daripada jigong yang melekat. Polisi sering menggunakannya untuk mengidentifikasi jenazah, pelaku kejahatan, bahkan hewan peliharaan yang nyasar. Tapi di negeri ini, gigi bisa jadi barang bukti politik paling membingungkan.

Ceritanya begini. Di tengah gonjang-ganjing tuduhan ijazah palsu Jokowi, ada satu elemen krusial yang luput dari perhatian publik, yaitu senyuman. Atau yang lebih tepatnya susunan gigi pemilik foto yang ada di ijazah. Mari kita bedah. Siapkan kopi dan cemilan, cepuluh, cebelas…

Dalam sebuah foto yang sudah lama beredar, terlihat seorang pemuda – yang diduga pemilik ijazah Jokowi – dengan senyum menawan. Giginya rapi, putih, berbaris sopan seperti pasukan pengibar bendera. Saking rapi dan bersihnya, bisa ikut kontes gigi terindah dan sehat. Atau paling tidak pernah berkumur Listerine empat kali sehari.

Bandingkan dengan senyum Jokowi hari ini. Giginya… yah, lebih jujur. Ada yang miring sedikit ke kanan, ada yang ukurannya agak lebih kecil dengan susunan yang tidak tertib. Kalau senyum lebar, yang muncul duluan malah gusinya, bukan giginya. Dalam ilmu forensik, ini sudah cukup jadi red flag.

Gigi adalah identitas biologis unik seperti sidik jari. Kalau gigi di foto A dan di foto B beda, ya orangnya kemungkinan besar beda. Tapi di Indonesia, ilmu forensik tunduk pada kekuasaan.

Menurut Gustafson, tidak ada dua orang yang memiliki struktur gigi dan rahang yang sama persis. Ini menjadikan susunan gigi sebagai alat identifikasi yang sangat akurat, apalagi dalam kasus jenazah terbakar atau rusak parah.

Sedangkan Menurut Dr. David Sweet, pakar odonto forensik asal Kanada, citra foto gigi bisa dibandingkan secara digital dengan foto aktual atau rekaman medis untuk mencocokkan identitas.

Lalu, kenapa Bareskrim Polri tidak menjadikan gigi sebagai bukti otentik untuk menyelesaikan kasus ijazah ini? Bukankah mereka punya laboratorium canggih? Alat pengenal wajah, pemindai tulang rahang, analisa mandibula, bahkan bisa mengenali seseorang dari bentuk telinga.

Dengan menggunakan analisis mandibula, maka pemeriksaan bentuk, ukuran, dan karakteristik tulang rahang bawah, hidung, untuk identifikasi individu bisa diketahui. Selain itu, juga bisa menentukan jenis kelamin (rahang pria dan wanita biasanya beda), serta mengetahui usia, karena struktur rahang berubah seiring bertambahnya usia.

Tapi nanti dulu. Jangan-jangan yang diperiksa Bareskrim bukan ijazah yang beredar di media, tapi ijazah versi limited edition yang disediakan khusus buat penyidik? Kalau begitu, kita semua – 270 juta rakyat Indonesia – kena prank lagi.

Kini, substansi persoalan pun bergeser. Bukan lagi soal mana ijazah yang asli, tapi siapa yang paling licin memainkan logika hukum. Pengadilan bukan lagi tempat mencari kebenaran, tapi arena adu sulap dokumen. Dan yang paling hebat bukan yang bisa membuktikan ijazah itu palsu, tapi yang bisa membuktikan kepalsuan tanpa pernah melihat yang asli.

Hal ini bisa terlihat ketika seseorang bernama Kasmudjo, yang diklaim sebagai pembimbing skripsi Jokowi, membantah dirinya pernah jadi pembimbingnya. Lalu muncul lagi seseorang yang bernama Andi Pramaria, yang mengaku sebagai teman kuliah satu angkatannya di Fakultas Kehutanan UGM.

Ia pun memeragakan foto saat wisuda bareng dengan Jokowi. Andi mengaku bahwa yang memakai kaca mata itu adalah Jokowi, yang kini justru menjadi titik sentrum polemik yang sedang menghangat di tengah anomali ijazah asli – palsu.

Tanpa menggunakan teori forensik, setidaknya ada tiga orang yang terlibat dalam ijazah tersebut. Pertama pemilik ijazah yang diduga milik Harry Mulyono, adik ipar Jokowi yang sudah meninggal dunia. Kedua foto yang ada di ijazah itu diduga adalah Dumatno Budi Utomo, seorang direktur perusahaan milik Luhut Binsar Panjaitan, yang juga sepupu Jokowi. Dan ketiga adalah Jokowi sendiri, yang namanya tertera di ijazah tersebut.

Dan di tengah semua kegilaan ini, Polri hanya mengangguk. Seolah berkata, “Kami netral, asal jangan ganggu senyum Jokowi.” Mungkin nanti di lembaran mata uang baru, wajah presiden tidak lagi ditampilkan secara utuh. Cukup giginya saja sebagai simbol supremasi sebuah kebenaran yang sah.

Kalau negara ini ingin serius menyelidiki ijazah itu, bawa saja orang yang diduga sebagai pemilik ijazah ke dokter gigi forensik. Tapi kalau yang diteliti bukan ijazah yang beredar, ya semua ini cuma bagian dari prank nasional versi akademik.

Berdasarkan teori Gustafson, dapat disimpulkan bahwa ijazah yang beredar di media bukan milik Jokowi. Karena ada foto pemilik ijazah tersebut yang memperlihatkan giginya tidak sama dengan gigi Jokowi. Kecuali jika giginya sudah migrasi dan mutasi dalam proses metamorfosis kekuasaan.

Begitulah negeri ini. Kadang dalam masyarakat waras, gigi bisa jadi kunci kebenaran. Tapi dalam negara yang sedang terkena demam politik akut dan serba absurd, bahkan gigi bisa jadi bahan untuk melakukan makar.

Dan uniknya, meski ada jalan singkat untuk membuktikan ijazahnya asli atau palsu, namun Jokowi lebih memilih jalan berbelit-belit – enggan menunjukkan ijazahnya ke publik. Terbukti, prinsip yang dipakai selama ini, “Kalau bisa dipersulit kenapa harus dipermudah?” (*)




 
Top