Lukisan Karya Herisman Tojes

Oleh: Rizal Tanjung


LUKISAN berjudul “Bangkalai” karya Herisman Tojes merupakan karya kontemporer yang tidak hanya menawarkan keindahan visual, tetapi juga memiliki makna eksistensial dan sosial yang mendalam.

Dibuat menggunakan akrilik pada kanvas berukuran 50×50 cm pada tahun 2025, lukisan ini menggambarkan bangunan setengah jadi di sebelah kanan, pohon rimbun di sebelah kiri, dan jalan berkelok yang menghubungkan dua alam—alam dan bangunan buatan manusia. 

Dalam konteks dunia saat ini, karya ini bertindak sebagai cermin yang mencerminkan ketegangan abadi antara pembangunan dan keterasingan, antara kemajuan dan hilangnya identitas lokal.

Analisis Visual dan Artistik

Secara visual, Bangkalai menyajikan komposisi asimetris yang kuat. Struktur beton yang belum selesai dengan batang baja yang menonjol menunjukkan proyek yang terbengkalai atau “bangkalai”—istilah dari bahasa lokal yang berarti terbengkalai, terhenti, atau tidak selesai. Gambar yang mencolok ini kontras dengan pohon hijau yang tumbuh subur dan tenang di sebelah kiri—melambangkan ketahanan alam meskipun terabaikan oleh roda pembangunan.

Jalan berliku berfungsi sebagai jembatan naratif antara elemen-elemen yang berlawanan ini. Hijau dan biru langit yang cerah diimbangi oleh rona abu-abu beton dan baja, menciptakan harmoni warna yang secara bersamaan membangkitkan ketegangan emosional. Sapuan kuas Herisman tampak ekspresif namun terkendali, mencerminkan disiplin dalam ekspresi artistiknya.

Konteks dan Simbolisme Lokal

Dalam konteks Indonesia dan Asia Tenggara yang lebih luas, bangkalai bukan sekadar fenomena visual, tetapi juga fenomena sosial dan politik. Banyak proyek pembangunan—dari perumahan hingga infrastruktur—sering kali terhenti karena birokrasi, korupsi, atau perencanaan yang buruk. Lukisan ini menjadi kritik bisu terhadap realitas tersebut—protes tanpa suara yang menyampaikan kegelisahan.

Bangunan yang belum selesai itu berdiri sebagai metafora bagi masyarakat yang bergerak menuju modernitas tetapi kehilangan arah. Di kejauhan, bangunan lengkap dan rumah-rumah kecil yang terletak di antara pepohonan melambangkan masa lalu yang penuh nostalgia—damai, berakar, dan penuh makna.

Keterkaitan dengan Gerakan Seni Global

Untuk memahami Bangkalai dalam spektrum seni global, seseorang dapat menelusuri beberapa gerakan seni yang beresonansi dengan karya ini:

Realisme Sosial dan Lirikisme Visual: Lukisan ini memiliki semangat realisme sosial yang kuat, menggemakan karya-karya Diego Rivera atau Käthe Kollwitz. Meskipun tidak ada figur manusia, bangunan yang ditinggalkan itu bertindak sebagai metafora sosial yang tajam. Seperti Realisme Soviet yang menyuarakan perjuangan rakyat melalui simbol-simbol, Bangkalai menggambarkan suara-suara bisu dari kemajuan yang belum tuntas.

Ekspresionisme Kontemporer: Penggunaan warna-warna yang kontras dan sapuan kuas yang berani selaras dengan prinsip-prinsip ekspresionisme, terutama dalam bentuk modernnya. Gerakan ini menekankan ekspresi emosional daripada representasi yang realistis. Herisman mengomunikasikan perasaan stagnasi, disorientasi, dan keterasingan melalui simbol-simbol arsitektur dan alam.

Postmodernisme dan Penolakan Narasi Tunggal: Dalam kerangka postmodern, Bangkalai menolak narasi tunggal tentang kemajuan sebagai kebaikan mutlak. Ia menyingkapkan sisi gelap modernitas: keterputusan, kekosongan, dan degradasi ekologis. Gaya visual Herisman menentang kategorisasi ke dalam satu genre, alih-alih menggabungkan berbagai pendekatan—ciri khas seni postmodern.

Posisi Herisman Tojes dalam Seni Rupa Kontemporer

Herisman Tojes mewakili generasi baru seniman yang peka terhadap isu-isu lokal namun sadar akan wacana global. Ia bukan sekadar pelukis, tetapi narator visual yang berani mengangkat tema-tema yang sering dianggap remeh tetapi kaya makna. Bangkalai bukan sekadar lukisan arsitektur atau lanskap; ia adalah karya kontemplatif yang membuka dialog tentang pembangunan, identitas, dan masa depan masyarakat.

Karya ini menunjukkan bahwa seni rupa Indonesia bergerak menuju fondasi konseptual yang lebih dalam tanpa meninggalkan akar lokalnya. Herisman meneruskan warisan maestro Indonesia—ekspresionisme Affandi, romantisme Raden Saleh, dan keterlibatan politik Djoko Pekik—dengan suara dan gayanya yang khas.

“Bangkalai” sebagai Cermin Peradaban

Bangkalai adalah refleksi dunia yang terus bergerak namun tak kunjung tiba, tentang konstruksi yang belum tuntas. Karya ini adalah puisi visual tentang ketidakseimbangan zaman kita. Dalam dunia seni kontemporer yang penuh dengan media dan eksperimen konseptual, Herisman Tojes memilih jalur yang intim namun tajam: mengekspresikan kegelisahan manusia melalui simbol-simbol yang sudah dikenal.

Sebagai karya yang lahir pada tahun 2025, Bangkalai berpotensi menjadi tonggak sejarah dalam seni kontemporer Indonesia, sekaligus terlibat dalam dialog global—tentang kegagalan modernitas, kebangkitan suara-suara lokal, dan harapan yang tumbuh di antara retakan beton. (*)


Sumatera Barat, 2025




 
Top