Oleh Mila Muzakkar
“Kadang kala ada baiknya kita kehilangan memori tentang masa lalu yang meninggalkan luka agar seseorang bisa bergerak maju tanpa beban masa lalu.”
(Komaruddin Hidayat, 2024)
Kutipan di atas aku ambil dari buku Pak Komar, Theology of Hope (terbit 2024). Sebuah renungan hidup yang dalam, terutama buat generasi kita hari ini. By the way, buku ini aku dapat langsung dari Pak Kom, loh!
Siang itu, di ruangan kaca depan perpustakaan Sekolah Madaniah Bogor, aku bertemu Pak Komar. Sambutannya hangat dan akrab, seolah kami udah sering ngobrol santai. Padahal, itulah kali pertama aku benar-benar ngobrol sedekat itu dengan Pak Kom.
Dua buku yang kutulis dalam setahun ini—Hijrah Berkali-Kali ala Denny JA dan Karena Perempuan, Aku Di-Cancel—kuberikan ke beliau. Cerita pun mengalir.
“Aku sudah mengunjungi lebih dari 50 negara. Tapi aku selalu rindu pulang ke Indonesia,” cerita Pak Kom.
Baginya, kesempatan mencicipi indahnya dan beragamnya negara lain tuh biasa aja. Nggak ada yang terlalu istimewa.
Ini agak beda, sih. Umumnya, orang-orang yang bisa ke luar negeri—apalagi dalam rangka menghadiri acara-acara antarbangsa—dianggap keren banget. Bisa berhari-hari posting foto dan video di semua kanal medsos supaya semua orang tahu.
Pak Kom lahir dan tumbuh dalam keluarga sederhana di desa Pabelan, Jawa Tengah. Kayak anak-anak desa lainnya yang orang tuanya taat beragama, sejak kecil ia dimasukkan ke pesantren dengan harapan bisa jadi anak yang lebih “bener.”
Dari ceritanya, aku menangkap: nggak ada yang istimewa di desanya, teman-temannya, bahkan keluarganya. Semua biasa aja. Nggak ada yang terlalu layak dikenang.
Lelaki itu menjalani hidup yang juga biasa aja. Nggak punya mimpi ke luar kota, apalagi luar negeri. Tapi lewat buku-buku yang ia baca di pesantren, Pak Kom udah “jalan-jalan” ke berbagai belahan dunia, termasuk mengenal nama-nama besar seperti Nurcholish Madjid (Cak Nur).
Waktu berlalu. Anak desa itu nekad merantau ke Ibu Kota tanpa modal apa-apa. Modalnya cuma dua: berani dan mau. Di terminal, orang-orang bertahan hidup dengan jualan tisu dan makanan. “Aku juga bisa kayak gitu,” pikirnya. Di masjid, dengan modal bersih-bersih dan bisa azan, seseorang bisa tinggal dan menikmati fasilitas masjid. “Aku juga bisa,” katanya lagi.
Dengan dua modal itu, ia daftar kuliah di IAIN Jakarta (sekarang UIN Jakarta). Dan… ia lulus! Padahal, awalnya pun ia nggak tahu gimana cara bayar uang masuknya. “Boleh nggak saya cicil, Pak?” katanya ke pihak kampus.
Dan… viola. Jadilah seorang Komaruddin Hidayat seperti yang kita kenal hari ini: pernah jadi rektor di dua kampus, komisaris independen di berbagai bank syariah, penulis buku-buku reflektif, dan kini dipercaya sebagai Ketua Dewan Pers Indonesia.
Apa yang istimewa? Nggak ada. Semua dijalani biasa aja. Tapi kalau dirunut dari awal hidupnya di desa, jelas banget kalau beliau terus bergerak dan menaiki tangga-tangga kehidupan.
Hidupnya nggak heboh. Tapi penuh makna. “Yang penting, di mana pun saya berada, saya harus melakukan yang terbaik semaksimal mungkin”, prinsip hidup Pak Kom.
Dalam buku Theology of Hope, Pak Komar nulis bahwa manusia umumnya punya dua orientasi dasar: menghindari rasa sakit dan mengejar kesenangan duniawi.
Setiap saat kita berusaha naik level kesenangan. Saat miskin, pengen kaya. Setelah punya rumah gede, pengen mobil mewah. Abis itu, pengennya liburan ke luar negeri. Demi itu semua, orang bisa kerja mati-matian. Atau… pakai jalan pintas: korupsi.
Padahal, setelah semua kesenangan duniawi itu tercapai, rasanya kembali… biasa. Nggak ada yang benar-benar memuaskan. Karena memang, kesenangan duniawi tuh nggak nancap di hati. Hanya sesaat. Kesenangan sejati itu ketika kita bisa nemuin makna hidup.
Dari Pak Komar, aku belajar tiga hal: Pertama, setiap orang harus berani menerima luka masa lalu, meninggalkannya, lalu bergerak maju. Kedua, berani dan mau adalah dua modal utama untuk hidup yang bertumbuh—terutama buat kamu yang mungkin pesimis atau takut buat melangkah.
Ketiga, di manapun kita berada, apapun posisi kita, jalanin semaksimal dan sebaik mungkin. Tanpa perlu heboh. Karena kehebohan seringkali cuma cara mengejar validasi, bukan makna.
Hidup nggak perlu heboh, tapi harus bermakna. (*)
Depok, 31 Mei 2025