Cerpen Yoss Prabu
SAYA pernah didatangi seorang teman yang curhat tentang teman sekantornya, sesama wanita. Sebut saja teman saya itu bernama Nina.
Jadi begini. Nina tak habis pikir dengan temannya yang bernama Siti (sebut saja begitu). Pasalnya, temannya itu bukan termasuk yang berparas jelek-jelek amat. Dalam arti kata, Cut Tary saja boleh dibilang cuma beda tipis.
Namun anehnya tak satu pun teman pria sekantor atau di luar kantor yang berusaha untuk mendekati. Jangankan berusaha untuk memacari, untuk sekedar berkenalan saja sepertinya banyak pria yang tak berhasrat. Seperti ada sesuatu dalam tubuh Siti yang membuat kaum Adam enggan untuk kenal dirinya lebih jauh. Padahal, lokasi tempat mereka bekerja adalah lokasi segitiga emas di mana para eksekutif muda biasa lalu-lalang. Dan rata-rata keren-keren.
Nina sendiri sebagai sesama wanita jelas merasa kasihan melihat ketabahan dan kebetahan Siti ngejomblo. Apabila diperhatikan dengan saksama, jelas sekali tak ada nilai-nilai negatif yang melekat pada Siti. Kecantikan, oke. Body pun yahud. Ketika masih gadis, Nina pernah tinggal satu kost dengan Siti. Jadi ia tahu betul tentang Siti luar dalam.
Dengan kata lain. Siti, cantik bertubuh sintal dan rajin beribadat. Malah Nina terkadang suka membandingkan antara dirinya dengan Siti. Jau…h. Siti cantik tinggi semampai, berjilbab dan lembut. Sementara dirinya, paras ngepas dengan tubuh agak pendek, nyaris gendut.
Tapi kalau soal pacaran, Nina lebih mahir ketimbang Siti. Puluhan lelaki keren telah mampir dalam kehidupannya. Sekarang Nina telah dikaruniai dua anak yang manis-manis dari hasil perkawinannya dengan seorang kameramen sebuah stasiun TV swasta. Sementara Siti, masih tetap tabah dan betah ngejomblo.
Karena kasihan melihat temannya itulah, Nina berusaha menolong dengan segala macam cara. Dari memperkenalkan banyak pria hingga mengajak Siti ke berbagai dukun. Entah itu dukun pelet, dukun sunat, dukun cabul, dukun santet hingga dukun palsu. Semua telah disatroni. Tentu saja untuk konsultasi. Hasilnya? Tak ada yang mempan.
Hingga suatu hari. Suami Nina mengajak pulang kampung untuk menengok orangtuanya di salah satu kota di Jawa Barat. Di kampungnya mertua itulah, Nina mengetahui ada seseorang yang dapat melakukan pengobatan alternatif. Di kampung itu, seseorang yang dapat melakukan pengobatan biasa disebut dukun. Tak peduli dia seorang ustadz atau pun kiayi.
Nah, usai acara kangen-kangenan dengan mertua. Beberapa hari kemudian diseretlah Siti ke tempat dukun itu. Mulanya Siti ogah. Dia bilang, “Percuma, biar saja Nin. Barangkali ini memang sudah nasibku.” Eh, apatis sekali dia. Tapi Nina tak peduli. Hitung-hitung sekalian ingin membuktikan kemanjuran dukun yang guru ngaji itu.
Sesampainya di pedalaman Jawa Barat, Nina dan Siti berhadapan dengan guru ngaji yang sudah tua dengan jenggot nyaris mencapai dada. Siti duduk menunduk sementara sang dukun merem-melek dengan bibir komat-kamit. Baca mantera tentu saja.
Di “kantor” sang dukun tak ada benda-benda menyeramkan. Tak ada bau kemenyan, yang biasa menjadi pelengkap suatu ritual. Yang ada malah bau au de cologne yang menyeruak dari ketiak Nina.
Cukup lama juga dukun itu melakukan ritual opening-nya. Tubuhnya bergoyang ke kiri dan ke kanan. Mulutnya masih terus komat-kamit mirip gerundelan bos di kantor. Nina tak tahu apa yang sebenarnya dilakukan dukun itu.
Dia cuma tahu kalau betisnya mulai kesemutan dan pegal-pegal lalu berharap dalam hati agar untuk selanjutnya dukun itu menggunakan mantera yang pendek-pendek saja.
Harapan terkabul, mata dukun itu terbuka. Mengerjap-erjap sebentar lalu memandang Nina dan Siti secara bergantian. Acara ritual telah selesai. Dan dengan lembut sang dukun berujar, “Obatnya gampang ini mah. Neng Siti pulang kampung saja dulu terus sujud sama Mak. T’rus Neng Siti minta air bekas wudhu Mak. Segelas diminum, sisanya untuk mandi. Insya Allah permintaan Neng Siti dikabulkeun.”
Tak lama kemudian Nina dan Siti mohon pamit pada sang dukun. Tak lupa memasukkan sodaqoh pada kotak yang telah disediakan dekat pintuk masuk.
Hanya sampai di situ saja Nina dapat menolong, untuk selanjutnya itu terserah Siti. Namun di samping itu, Nina juga tak rela bila misi suci ini tidak diselesaikan hingga tuntas. Ia mendesak agar Siti segera pulang kampung lalu melaksanakan sesuai anjuran sang dukun.
Siti pun menurut, kadung telah meminta cuti di kantor. Esoknya Siti segera melesat pulang kampung untuk menghadap Maknya di sebuah kota di Jawa Tengah.
Hasilnya memang mujarab. Tiga bulan kemudian Siti dipinang seorang lelaki ganteng yang dikenalnya di kereta api saat Siti kembali ke Jakarta. Enam bulan kemudian mereka menikah di kantor urusan agama dan dirayakan secara sederhana, hanya mengundang teman-teman dekatnya saja. Nina jelas turut serta sebagai saksi.
Nina turut bahagia melihat temannya telah mendapatkan pasangan hidup. Namun hingga setahun kemudian, Nina masih belum mengerti tentang apa yang menjadi penyebab kejombloan Siti itu. Usut punya usut, ternyata selama itu Maknya Siti di kampungnya tidak pernah menjalankan salat.
Patesan, Siti disuruh meminta air wudhu sang ibu. Itu ternyata agar Maknya Siti mau kembali melakukan salat lima waktu. Begitu. (*)
Jakarta, Mei 2025