Rerasan: Muslimin Lamongan


TANGGAL 2 Mei, khidmat Hari Pendidikan Nasional. Hari refleksi, renungan, dalam bingkai ketakberdayaan. Refleksi diri dalam poros kejumudan. Kurang lebih 34 tahun bekerja sebagai guru. Namun belum pantas disebut guru karena belum bisa digugu dan ditiru.

Dipanggil pendidik belum mampu meneladani. Diarani pengajar kurang atau bahkan tidak paham konsep materi pelajaran yang diajarkan. Wok iyo, nama dan lencana belum menjamin kepiawaian. Merasa pandai tetapi tidak mumpuni. Merasa bermarwah tetapi tidak sembada.

Padahal tiga pesan Ki Hajar Dewantara sangat hafal di dalam kepala. Ing ngarsa sung tuladha. Ing madya mbangun karsa. Tut Wuri Handayani. Namun tetap belum paham mendalam. Belum mengejawantahkan. Belum tampak dalam sosok dambaan. Masih berputar berkutat dalam kegamangan. Konsistensi tak ajeg. Suasana hati berpola untung-rugi menjadi pedoman. Megilan bertahan.

Lalu berbondong tudingan mengarah ke orang tua siswa. Tidak peduli pada anak. Sekadar asupan materi tanpa simpati edukasi. Menggantungkan harapan prestasi anak setinggi langit tanpa empati. Anak cerdas siapa dulu ayah ibunya. Anak bodoh memang guru hanya bisa seloroh. Anak penurut orang tuanya memang patut. Anak nakal sang guru sering dianggap banal.

Lalu kepada siswa kemarahan ditumpahkan. Anak bangsa dijustifikasi “anak bangsat”. Memang sang anak berintelektual tingkat bawah. Pasti bawaan anak “sulit diatur” sejak bayi. Selanjutnya saya menjadi manusia barbar: marah tak bernalar, kadang mengumpat tak bermartabat. Tampak karakter saya, guru, lebih rendah dari serapah jalanan. Dua hal itu memang sering menjadi evaluasi diri. Namun tetap kosong dalam tindakan dan ucapan.

Niat sudah dinyalikan, tekad sudah ditancapkan, seharusnya menguatkan. Bukan berteriak menyalahkan. Pernah suatu masa, diterpa prahara ekonomi, saya minta petuah orang bijak. Beliau berkata: kalau jadi guru banyak hutang, segera tinggalkan! Cari pekerjaan lain yang menguntungkan. Beruntung sang istri mampu bertahan. Mendukung sepenuh hati ikut bekerja membantu suami. Dalam kesederhanaan, saya yakin rezeki sudah dijatahkan. Hidup sesuai kebutuhan, bukan mengikuti gaya hidup. Jadi, dalam kondisi apa pun, menjadi guru harus setegar karang. Mampu menghadang ombak badai menghantam. Serius amat? Saya menulis ini sambil menyeruput kopi pahit, lho!

Refleksi dirutinkan. Introspeksi digelarkan. Evaluasi diwujudkan. Apa pun perubahan, ganti menteri ganti kebijakan, disiasati dengan elegan. Semua bermula dari kebanggaan menjadi guru. Jangan sampai hilang tak bertuan. Kebanggaan yang wawas diri, bukan berbalut lupa diri. Menerima kelebihan dan kekurangan setiap siswa adalah kewajiban diri. Persaudaraan dengan orang tua dalam balutan silaturrahim. Menjadi partner edukasi, sahabat yang saling melengkapi.

Akhirnya, saya ingin menjadi guru yang berarti. Meski yang saya lakukan tiada aji. Selalu ucapan terima setulusnya kepada orang tua dan para siswa/siswi. Mohon maaf atas segala ucapan dan tindakan saya yang menyakiti hati. Saya bermaksud menegakkan kebenaran, mungkin cara saya penuh kesalahan. Sekali lagi, mohon maaf………. (*)


Lamongan, 2 Mei 2025 




 
Top