Oleh Gunawan Trihantoro

- Ketua Satupena Kabupaten Blora dan Sekretaris Kreator Era AI Jawa Tengah


DI TENGAH derasnya arus informasi digital, media sosial telah menjadi panggung utama ekspresi publik. Namun sayang, panggung ini kerap dibanjiri ujaran kebencian, hoaks, hingga konten tak mendidik yang mencederai nilai-nilai kemanusiaan.

Fenomena ini memperlihatkan krisis karakter dalam bermedia sosial. Banyak yang abai bahwa jempol bisa lebih tajam daripada pedang, dan unggahan bisa lebih menyakitkan dari kata-kata langsung.

Pendidikan karakter dalam bermedsos menjadi kebutuhan mendesak. Tidak cukup hanya mengajarkan cara menggunakan platform digital, tapi juga membentuk kesadaran etis, tanggung jawab, dan empati sebagai pengguna.

Kita hidup dalam zaman di mana setiap orang bisa menjadi produsen informasi. Namun, belum semua paham bahwa kebebasan berekspresi mesti disertai tanggung jawab moral dan sosial.

Pendidikan karakter tidak bisa dipisahkan dari nilai kejujuran, kesantunan, toleransi, dan empati. Nilai-nilai inilah yang harus menjiwai aktivitas bermedsos, agar ruang digital menjadi tempat yang sehat dan mencerahkan.

Sekolah, keluarga dan masyarakat punya peran kunci dalam menyemai karakter digital ini. Pendidikan karakter di sekolah perlu diperluas hingga ke etika digital dan budaya bermedsos yang bijak.

Di sisi lain, orang tua sebagai pendidik pertama mesti menjadi teladan dalam memfilter informasi dan merespons perbedaan pendapat secara dewasa di dunia maya. Anak belajar lebih dari apa yang mereka lihat, bukan hanya dari apa yang diajarkan.

Pendidikan karakter dalam bermedsos bukan berarti membatasi kebebasan, melainkan membimbingnya agar bertanggung jawab. Seorang pengguna yang bijak tidak asal membagikan informasi, tapi memverifikasinya dan memikirkan dampaknya.

Sudah saatnya kita menyadari bahwa setiap unggahan mencerminkan siapa kita. Kata-kata adalah cermin kepribadian, dan media sosial merekam jejak digital yang sulit dihapus.

Bukan hanya sekadar menghindari hal negatif, pendidikan karakter juga mendorong kita menyebarkan hal-hal positif: menginspirasi, membangun, dan mendorong semangat kebersamaan.

Gerakan edukatif perlu digencarkan di media sosial sendiri. Misalnya, kampanye literasi digital, konten edukasi kreatif, dan ajakan untuk mengedepankan dialog sehat alih-alih debat kusir.

Pemerintah dan platform digital pun dapat bersinergi. Misalnya, dengan menyisipkan modul etika digital dalam pelatihan literasi atau menghadirkan fitur yang mendorong refleksi sebelum mengunggah konten.

Tidak cukup hanya menindak pelanggar, kita juga harus membangun kesadaran kolektif. Masyarakat yang kuat adalah masyarakat yang mampu saling mengingatkan dalam kebaikan, termasuk dalam ruang digital.

Anak-anak muda sebagai mayoritas pengguna media sosial harus diposisikan sebagai agen perubahan. Mereka perlu diberdayakan, bukan disalahkan, untuk menjadi duta karakter digital yang mencerdaskan sesama.

Bayangkan jika setiap akun menjadi sumber cahaya; membagikan ilmu, menyemangati orang lain, dan menjadi ruang aman untuk berekspresi dengan empati. Bukankah itu wajah media sosial yang kita idamkan?

Kita bisa memulai dari hal sederhana, berpikir sebelum membagikan, menyapa dengan ramah, dan menghindari perundungan digital. Pendidikan karakter bukan soal teori besar, tapi praktik kecil yang konsisten.

Mari kita ubah ruang digital menjadi taman karakter yang subur. Tempat di mana kebaikan tumbuh, perbedaan dihargai, dan setiap kata yang ditulis membawa nilai.

Pendidikan karakter dalam bermedsos adalah investasi masa depan. Kita menanam hari ini, untuk panen generasi yang lebih bijak, lebih beretika, dan lebih bertanggung jawab di jagat digital.

Jangan lelah untuk menjadi cahaya di tengah gelapnya dunia maya. Karena satu unggahan positif bisa menjadi penyulut perubahan, dan satu karakter baik bisa menginspirasi ribuan lainnya. (***)




 
Top