Catatan Satire; Rizal Pandiya
- Sekretaris Satupena Lampung
SUNGGUH, negeri ini tak kekurangan sumber daya, yang kurang cuma malu. Karena kalau investasi harus didampingi “jatah wajib”, jangan heran kalau investor asing lebih milih pindah ke negara tetangga. Di sana, mungkin mereka nggak dikasih teh manis, tapi setidaknya nggak dimintain proyek sebelum makan siang.
Di Kota Cilegon, angin investasi berhembus lembut. Perwakilan investor asing dari China Chengda Engineering Co., Ltd (CCE) datang membawa harapan, yaitu proyek strategis nasional bernama CAA. Nilainya? Hanya sekitar Rp17 triliun, jauh lebih kecil dibanding uang yang dikorup di PT Antam, yang mencapai Rp5,9 kuadriliun.
Namun belum juga investor itu membuka laptop, tiba-tiba muncul suara sakral dari seorang pengusaha lokal yang tergabung dalam Kadin Kota Cilegon, “Pokoknya tanpa ada lelang, porsinya harus jelas, Rp5 triliun untuk kami… atau minimal Rp 3 triliun lah!”
Kata-kata ini bukan kalimat biasa. Ini genre. Ini adalah manifestasi dari budaya luhur warisan nenek moyang. Budaya minta jatah duluan sebelum tahu proyeknya ngapain.
Investor yang datang dengan niat baik langsung kaget. Mereka kira datang untuk presentasi teknologi dan strategi industri, eh, malah diajak adu urat leher dengan para preman berdasi.
Perwakilan CCE pun mencoba diplomatis, walau tampaknya shock berat. “Kami… ehm… belum tahu pekerjaannya apa sih… tapi kami akan coba bagi… asal tahu apa yang bisa kalian lakukan…”
Yang artinya kurang lebih, “Kami bingung, ini proyek belum jadi, ente sudah pada pasang tarif.”
Tapi wajar sih, namanya juga tamu dari negeri jauh. Mereka belum tahu kalau di negeri ini, beberapa oknum pengusaha lokal itu ibarat raja-raja kecil. Kalau ada proyek masuk, mereka harus kebagian. Tanpa tanya kompetensi, tender, apalagi kualitas. Yang penting, “Gue harus kebagian!”
Saking lucunya, warga net sampai mikir ini bukan kejadian nyata. Banyak yang ngira ini audisi sinetron “Jatah Tanpa Dosa” atau sekuel film “Cintaku Kandas Gara-gara Proyek.”
Gubernur Banten Andra Soni menyayangkan aksi pengusaha yang tergabung dalam Kadin Kota Cilegon. “Mereka ini organisasi resmi, harusnya ngerti regulasi,” katanya dengan nada lirih, seperti orang tua yang baru sadar anaknya ketahuan nyontek saat ujian nasional.
Masalahnya bukan sekadar minta proyek. Ini sudah kayak adegan klasik. “Kami ingin tahu siapa mitra lokal yang kompeten,” kata investor menjelaskan. “Tak perlu kompeten, yang penting lokal!” jawab pengusaha setempat, dengan mata melotot.
Jadi sekarang, bisnis bukan soal apa yang bisa kamu kerjakan, tapi seberapa cepat kamu bisa ngotot minta bagian. Profesionalisme? Ah, itu cuma cocok buat bahan pidato saat pengguntingan pita, setelah proyek selesai.
Dan karena ini sudah viral, Menteri Investasi pun mengundang Gubernur. Ada kemungkinan akan dibuat Kurikulum Jatah Nasional (KJN), agar semua pengusaha tahu teknik minta jatah yang lebih cerdas dan berwibawa.
Namun yang paling ironis, proyek ini adalah bagian dari strategi besar Indonesia untuk memproduksi bahan baku baterai mobil listrik – masa depan energi ramah lingkungan. Tapi di sini, sebelum mobil listriknya menyala, mentalitas “aji mumpung minta jatah” sudah ngegas duluan.
Sementara dunia berlomba mengembangkan teknologi, kita masih sibuk rebutan “jatah dari proyek yang belum jelas kerjaannya”. Padahal kalau mau jujur, banyak yang minta jatah ini kerjaan utamanya saja belum kelihatan. Jangan-jangan bikin laporan kegiatan saja masih nyontek dari Google.
Pantesan banyak perusahaan asing angkat kaki dari Indonesia. Mereka bukannya nggak cinta Nusantara, tapi karena setiap datang selalu disambut dengan formulir jatah. Belum sempat tanam modal, sudah ditodong. Mau perpanjang izin kena palak.
Lama-lama mereka kapok dan ogah. Akhirnya pabrik mereka pindah ke Thailand, Vietnam, Kamboja, atau bahkan Myanmar yang lagi gonjang-ganjing politik sekalipun – karena di sana, jatah minimal dibahas setelah proyek berjalan, bukan sebelum proposalnya selesai diketik.
Efeknya? PHK makin menjadi-jadi. Investor hengkang, pabrik tutup, lapangan kerja lenyap. Dan ketika banyak yang kehilangan pekerjaan, jangan heran kalau angka kriminal ikut naik. Perut lapar itu nggak bisa nunggu tender.
Coba pikir, kalau negara makin dipenuhi pengangguran, apakah kita bisa menjamin keamanan tetap stabil? Nggak semua orang bisa hidup damai dengan jadi konten kreator. Kalau nggak ada kerjaan dan dapur nggak ngebul, solusi tercepat itu kadang ya bukan proposal kerja, tapi proposal begal.
Jadi siapa yang salah? Atau… mereka yang datang ke meja audiensi bukan dengan proposal, tapi dengan daftar permintaan jatah? Yang duduk manis di balik nama “organisasi resmi,” tapi mentalitasnya mirip calo terminal?
Ternyata benar juga apa yang pernah ditulis media luar negeri seperti South China Morning Post – katanya, Indonesia ini perlahan-lahan bukan dikelola oleh negara hukum, tapi negara preman.
Dan preman di sini bukan cuma yang nongkrong di pos ronda sambil main gaple dan tato kepala naga, bukan pula yang minta rokok kalau lewat jalan sepi. Preman zaman sekarang sudah naik kasta. Ada yang berseragam ormas, ada yang berdasi, bahkan ada yang punya kartu nama dengan gelar berderet melebihi kalung wisuda. Satu kesamaannya: mereka semua minta jatah proyek.
Sungguh negeri yang penuh ironi. Yang punya alat berat malah sulit dapat proyek. Yang punya pengalaman malah lebih sering jadi penonton. Yang tak punya apa-apa, justru dapat bagian, karena punya organisasi. (*)
Bandarlampung, 13 Mei 2025
#makdacokpedom