Marlon Martua (sedang menelepon) setelah diciduk di Bandara Soetha
tadi malam. f: ist
TANGERANG, BANTEN -- Setelah sempat buron sekitar 4 tahun, keberadaan Marlon Martua akhirnya terendus oleh  tim Intel Kejagung bersama dengan Tim Kejati Sumatera Barat. Terpidana kasus korupsi pembangunan RSUD Sei Dareh, Dharmasraya ini diciduk saat berada di Bandara Soekarno Hatta (Soetha) Tangerang, Banten, Kamis (27/9/2018) malam sekira pukul 21.00 WIB. 

Seperti diketahui, sebelum buron untuk kedua kalinya, mantan Bupati Dharmasraya tersebut telah dijatuhi hukuman enam tahun penjara oleh majelis hakim Mahkamah Agung dalam kasus korupsi mark up anggaran pengadaan lahan pembangunan RSUD Sei Dareh tahun 2009. Saat kasus ini dalam tahap penyidikan, Marlon Martua juga sempat buron.

Keberadaan Marlon tak terdeteksi setelah putusan Mahkamah Agung keluar. Dia sempat menjalani masa hukuman di Lapas Muaro Padang setelah divonis setahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Padang tahun 2015 lalu. Tak puas dengan vonis setahun, Jaksa Penuntut Umum (JPU) akhirnya banding, hingga tingkat kasasi. Namun, putusan kasasi keluar setelah Marlon bebas karena masa tahanannya habis. Sejak itu, keberadaan Marlon nyaris tak terdeteksi. Jaksa eksekutor yang mendapat perintah untuk mengeksekusi Marlon dan menjebloskannya ke penjara, sempat kehilangan jejak. Lambatnya salinan putusan diterima oleh jaksa juga menjadi “sandungan” dalam upaya eksekusi.

Dalam jumpa pers terkait Hari Bhakti Adhyaksa (HBA) ke-58 di Kejati Sumbar, Jalan Raden Saleh, Padang, Senin (23/7/2018) lalu, Kajati Sumbar Priyanto menegaskan bahwa sejak berhasil mengelabui jaksa eksekutor yang hendak mengeksekusinya, Marlon Martua resmi berstatus buronan. Jaksa eksekustor sudah berusaha untuk melakukan eksekusi, namun keberadaan yang bersangkutan belum ditemukan. "Lambatnya salinan putusan keluar juga menjadi kendala. Sampai sekarang juga belum turun,” terang Priyanto pada kesempatan tersebut.

Ia menegaskan, kalau dalam waktu dekat salinan putusan itu masih tidak ada, pihaknya akan melakukan eksekusi dengan menggunakan petikan putusan MA tersebut. 

“Kita akan cek dulu salinan putusannya secara utuh, kalau masih belum akan dieksekusi menggunakan petikan putusan yang telah dilegalisir," kata Priyanto yang kala itu baru satu bulan menjabat sebagai Kajati Sumbar.

Kasus yang menjerat Marlon terjadi pada tahun anggaran 2009. Kala itu, Pemkab Dharmasraya menganggarkan ganti rugi lahan untuk pembangunan RSUD Sei Dareh senilai Rp8,5 miliar. Dengan tersedianya dana untuk pengadaan tanah pembangunan RSUD tahun 2009 tersebut, maka 15 September 2009, Dirut RSUD Priyyeti, selaku pengguna tanah mengajukan telaah staf kepada terdakwa Marlon, melalui Agus Khairul dn Busra, kemudian mengusulkan pembangunan RSUD di lokasi.

Namun lokasi yang diusulkan ini kemudian ditolak, dan selanjutnya disepakati di lokasi lain. Perbuatan terdakwa Marlon, dengan menerbitkan SK Penetapan lokasi pembangunan RSUD ini bertentangan dengan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional (PK BPN) nomor 3 tahun 2007 pasal 5 ayat (1). Kesalahan kian bertambah karena Busra, Agus Khairul dan Agustin Irianto yang juga terkait kasus ini melakukan peninjauan lokasi pembangunan RSUD Sei Dareh tersebut.

Tidak ada juga dilakukan pengkajian kesesuaian tata ruang, penatagunaan tanah, sosial ekonomi, lingkungan, penguasaan, sehingga tidak diketahui  ada peralihan hak yang awalnya ada tanah atas nama Agung Cahya Perkasa menjadi Maulana Hadi, berdasarkan akta jual beli tanggal 15 Desember 2009 dengan objek tanah di Jorong Sungai Kambut, Kanagarian IV Kota, Kecamatan Pulau Punjung, Kabupaten Dharmasraya.

Kemudian pada tanggal 23 Desember 2009, Pemkab berdasarkan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) untuk membayarkan kepada Maulana Hadi sebesar Rp4.128.000.000 untuk tanah seluas 25.800 meter persegi. 

Sebelum panitia bekerja, terdakwa melakukan rapat informal di rumah terdakwa berdasarkan inisiatif terdakwa sendiri. Rapat ini juga dihadiri saksi Erniwati dan Direktur RSUD Sei Dareh Priyyeti. Saat itu juga diundang pemilik tanah Suryati dan suaminya Yusrizal. Dalam rapat ini, disepakati tanah yang akan dibebaskan akan dibayar sebesar Rp160 ribu per meter.

Penetapan harga yang dilakukan Marlon ini ternyata bertentangan dengan PK BPN nomor 3 tahun 2007 pasal 40 ayat (1) . Lokasi ini, diketahui mempunyai Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) hanya sebesar Rp36 ribu per meter, bukan Rp160.000. Total selisih harga yang ditetapkan oleh mantan Bupati Dharmasraya ini mencapai Rp4.289.207.250. 

Berdasarkan Surat Permohonan Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat Nomor R-725/N.3/Dsp.4/08/2018 tanggal 31 Agustus 2018, pria bernama lengkap Marlon Martua Situmeang merupakan tepidana dalam tindak pidana korupsi Pembangunan RSUD Sei Dareh, Dharmasraya, Sumatera Barat T.A 2009 sesuai dengan putusan Mahkamah Agung RI Nomor 171 K/Pid.Sus/2016 tanggal 12 April 2017 dengan putusan pidana penjara 6 (enam) tahun dan denda sebesar 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) subsidier 6 (enam) bulan) penjara.

(tim)
 
Top