JAKARTA -- Miliaran rupiah uang mengalir ke kocek pengusaha dalam bisnis token pelanggan listrik PLN. Dalam hitungan jam, bisnis token listrik dari sekitar 42 juta pelanggan listrik prabayar ini berputar dengan dalih biaya administrasi. 

Hal itulah yang dinilai merugikan konsumen listrik, karena listrik yang dinikmati konsumen tidak pernah setara dengan harga listrik yang dibayar.

Mengapa pemerintah tidak mau membebaskan biaya administrasi dari bisnis yang melibatkan hajat hidup orang banyak? Benarkah ada dominasi dari grup pengusaha besar dari bisnis token listrik ini?

Mungkin Anda tidak menyadari, ketika membeli token listrik, jumlah nominal rupiah dengan harga per kwh tidak sesuai. Coba Anda perhatikan, selain dikenakan biaya administrasi yang beragam mulai dari Rp1.500 hingga Rp2.500. Bahkan ketika Anda beli token listrik di beberapa outlet, Anda bisa dikenakan administrasi yang lebih besar.

Soal harga, sesuai Peraturan Menteri ESDM Nomor 28 Tahun 2016 tentang Tarif Tenaga Listrik yang Disediakan oleh PT PLN (Persero) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 3 Tahun 2020, apabila terjadi perubahan terhadap realisasi indikator makro ekonomi (kurs, Indonesian Crude Price/ICP, inflasi, dan Harga Patokan Batubara/HPB), yang dihitung secara tiga bulanan (Untuk Periode Triwulan I menggunakan realisasi Agustus s.d. Oktober 2020), maka akan dilakukan penyesuaian terhadap tarif tenaga listrik (tariff adjustment). Namun akibat pandemi, PLN tetap mempertahankan harga jual listrik ke pelanggan.

Tarif listrik pelanggan non subsidi, untuk pelanggan Tegangan Rendah (TR) seperti pelanggan rumah tangga dengan daya 1.300 VA, 2.200 VA, 3.500 s.d. 5.500 VA, 6.600 VA ke atas, pelanggan bisnis dengan daya 6.600 s.d. 200 kVA, pelanggan pemerintah dengan daya 6.600 s.d. 200 kVA, dan penerangan jalan umum, tarifnya tidak naik atau tetap sebesar Rp 1.444,70/kWh. Sedangkan khusus untuk pelanggan rumah tangga 900 VA-RTM, tarifnya tidak naik atau tetap sebesar Rp 1.352/kWh.

Pelanggan Tegangan Menengah (TM) seperti pelanggan bisnis, industri, pemerintah dengan daya >200 kVA, dan layanan khusus, besaran tarifnya tetap sebesar Rp 1.114,74/kWh.  

Sedangkan bagi pelanggan Tegangan Tinggi (TT) yang digunakan oleh industri dengan daya >= 30.000 kVA ke atas, tarif juga tidak mengalami perubahan, yaitu Rp 996,74/kWh.

Jika Anda membeli token listrik dengan nominal Rp100 ribu misalnya, listrik yang didapatkan itu sekitar 65-66 Kwh, artinya nilai listrik yang dibayar hanya sekitar Rp 95 ribuan. Ada sisa Rp5 ribu yang diklaim untuk membayar pajak penerangan jalan dan administrasi. Bahkan ditambah lagi biaya administrasi sekitar Rp2.500.

Selisih inilah yang menjadi peluang besar untuk mengeruk keuntungan di kalangan taipan dengan dalih biaya administrasi. Bayangkan jika satu jam ada 1 juta pelanggan mengisi dengan nominal Rp100 ribu. Selisih biaya administrasi ini bisa mencapai setengah miliar rupiah! Jika dihitung per hari, per minggu, dan per bulan, berapa ratus miliar uang konsumen mengalir ke pundi-pundi penguasa token listrik ini?

Sejumlah sumber yang mengetahui tender untuk pengelolaan listrik PLN pra bayar mengatakan, ada salah satu perusahaan besar milik swasta yang bermain dalam bisnis ini. Ia menyebutkan perusahaan raksasa yang saat ini mendominasi pengelolaan listrik prabayar adalah "LM". Perusahaan tersebut telah mengambil alih peran mayoritas pengadaan pulsa listrik milik negara.

"Soal token, kita beli listrik duitnya itu ke mana? ke PLN kan, yang dikumpulkan sama agen. Agennya ini siapa? Token itu sebagian besar penyelenggaranya perusahaan LM," kata sumber dimaksud, beberapa waktu lalu.

Ia mengatakan, tidak banyak pihak yang tahu tentang adanya praktik dominasi dalam sistem pembayaran listrik prabayar. Puluhan miliar rupiah dana masyarakat masuk ke kantong-kantong swasta karena listrik adalah kebutuhan primer yang hanya disediakan oleh PT PLN. Pihak swasta mendapatkan keuntungan dari bisnis ini dengan mengenakan biaya administrasi dari setiap pembelian pulsa listrik.

Isu tentang praktik monopoli dan mafia pengadaan listrik prabayar sebetulnya sudah mencuat sejak tahun 2015. Rizal Ramli saat masih menjabat sebagai Menko Maritim pernah menyinggung tentang potensi mafia dalam kebijakan listrik prabayar yang menggunakan sistem token. Dia khawatir adanya peran swasta yang berlebihan sehingga berpotensi membebani konsumen.  

Saat itu, RR mengkritik mahalnya biaya administrasi yang harus dikeluarkan oleh konsumen saat mengisi ulang pulsa token listrik prabayar. Misalnya, saat membeli pulsa listrik pra bayar sebesar Rp100 ribu, konsumen hanya mendapatkan total Rp73.000. RR menuding bahwa jumlah potongan yang terlalu besar itu disebabkan adanya praktik mafia dan monopoli di tubuh PLN dalam sistem listrik prabayar.

Jumlah potongan yang besar tersebut sejatinya masih terjadi hingga saat ini. PLN berdalih bahwa potongan tersebut diperuntukkan kepada beberapa pihak yang diajak bekerja sama, misalnya biaya admin bank atau penyedia layanan pulsa token lainnya. Selain itu, saat membeli pulsa token listrik, konsumen juga dikenakan biaya Pajak Penerangan Jalan (PPJ) yang nilainya bervariasi di setiap daerah. Rata-rata biaya PPJ sebesar Rp16.000.

"Orang kalau beli listrik paling murah berapa? (misalnya) Rp50.000. Kalau pelanggannya 6 juta, Rp 1.000 dikali 6 juta berapa? Kurang lebih adalah Rp 6 miliar, per hari. Listrik rumah Anda berapa kali isi pulsa? Kalau 3 kali, berarti ada Rp 18 miliar masuk ke kantong penyedia pulsa token listrik,” ujar sumber tersebut. 

Meski biaya transaksi dinilai tak begitu besar, tetap saja jika dikalikan dengan total biaya pemakaian satu konsumen selama sebulan akan menghasilkan angka yang jumbo. Ini belum dihitung dengan jumlah pelanggan PLN yang kini sudah beralih memakai layanan listrik prabayar. Per triwulan I 2021, jumlah pelanggan listrik prabayar PLN sebanyak 42,6 juta orang.

Jika dihitung pemakaian listrik token satu kali dengan nominal Rp52 ribu, maka ada Rp8,5 miliar duit yang diperoleh LM. Ini baru satu kali pemakaian dengan nilai pulsa listrik Rp50 ribu. Pemakaian masyarakat dalam sebulan tentu sangat bervariasi.

Saat dihubungi, Manajer Komunikasi PLN Pusat Dermawan Uloli mengatakan, keterlibatan swasta dalam pengadaan pulsa listrik adalah hal yang baru dalam bisnis PLN. Pihaknya tidak memandang hal itu sebagai sesuatu yang perlu dipermasalahkan karena tujuannya untuk mempermudah masyarakat mendapatkan pulsa listrik melalui media-media platform penyedia layanan digital.

"Misalnya OVO itu kan baru, bukan dari 2015. Jadi bukan satu-satunya dia sebagai swasta," kata Dermawan.

Terlibatnya swasta dalam bisnis token menurut Dermawan dipengaruhi oleh layanan transaksi digital milik perbankan. Pada 2010, tercatat ada 41 bank yang bekerja sama dengan PLN untuk membangun infrastruktur sistem pembayaran rekening listrik. Namun jumlah itu berkurang jika melihat daftar bank yang melayani penjualan token saat ini. Dilansir dari situs web.pln.co.id, jumlah bank yang bekerja sama dengan PLN menyusut jadi 33 ditambah dengan PT POS Indonesia.

Separuh bank tersebut adalah milik negara yang tergolong ke dalam Himpunan Bank Milik Negara (Himbara), separuhnya lagi adalah bank milik swasta. Dermawan menyebutkan, masing-masing bank biasanya memiliki layanan tersendiri untuk pembelian token listrik. Dari situ, berkembanglah layanan platform digital seperti OVO, GoPay, Tokopedia, dan semacamnya yang kini digandrungi masyarakat.

"Mereka itu tidak bekerja sama dengan PLN-nya langsung, tetapi dengan pihak perbankan," kata Dermawan, "biaya admin itu bukan di PLN, adminnya itu adalah jasa yang disediakan oleh pihak perbankan," imbuh dia.

Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan, memang tidak ada kerugian negara dalam keterlibatan swasta dalam pengelolaan listrik karena biaya administrasi sejauh ini dibebankan kepada konsumen. Namun dia menyayangkan jumlah uang yang besar tidak bisa dimanfaatkan oleh PT PLN untuk pemasukan negara.

"Pada prinsipnya, ini adalah sesuatu yang menguntungkan karena ini sudah jadi kebutuhan untuk orang-orang yang menggunakan listrik. Apalagi sekarang memakai listrik, sudah harus memakai yang prabayar dan mesti pakai voucher. Kalau saya melihatnya memang pasti ada pihak ketiga lah ya yang diuntungkan dari transaksi ini," kata Mamit.

Menurutnya, ada kondisi yang dilematis bagi PLN dalam kebijakan menggandeng swasta untuk pembayaran pulsa token listrik prabayar. Di satu sisi dibutuhkan peralihan yang cepat dari listrik pascabayar ke prabayar, di sisi lain PT PLN sendiri belum memiliki sistem yang memadai untuk transaksi jual beli pulsa listrik. Jika hanya mengandalkan bank-bank Himbara misalnya, akan sangat menyulitkan masyarakat dalam mengakses token listrik.

Menurut Mamit, anak perusahaan PT PLN, PT Icon Plus, seharusnya bisa menjadi opsi yang lebih baik karena perusahaan tersebut bergerak di bidang teknologi informasi seperti pengembangan internet.

"Memang Icon Plus tidak dimaksimalkan ya. Mereka sebenarnya bisa menjadi salah satu solusi untuk token dan internet. Kalau mereka bisa seharusnya lebih enak lagi karena ini kan anak perusahaan PLN," ujarnya.

"Tapi buat saya ini akan sulit karena (sistem memakai pihak ketiga) sudah berjalan secara besar-besaran dan akhirnya tidak bisa merubah suatu sistem dalam waktu yang cepat. Sebab ini melibatkan banyak orang dan pemain besar sehingga butuh waktu lah untuk berubah," imbuh Mamit.

Di sisi lain, PT Icon Plus juga harus siap secara infrastruktur dan regulasi. Jangan sampai anak perusahaan PT PLN yang kelak dipercaya untuk mengelola sistem pembayaran token listrik, ternyata tidak siap sehingga cenderung menyulitkan konsumen. 

"Saya setuju PLN menggunakan anak perusahaannya sebagai pemain utama dalam urusan ini. Bisa saja nanti ketika mereka yang bermain, administrasi fee-nya ini berkurang dari yang sekarang Rp 2.000 sampai Rp 3.000, setelah dipegang Icon Plus bisa jadi Rp 1.000. Tentunya lebih menguntungkan masyarakat. Tapi harus prepare dulu lah. Jangan sampai nanti ketika sudah dipegang anak perusahaan, pada saat masyarakat membeli voucher, ternyata sistemnya down karena belum siap. Jadi ada banyak pertimbangannya yang harus dilakukan," pungkas Mamit.

Saat dikonfirmasi, Officer Stakeholders Relation and Corporate Communication PT Icon Plus Afifah Aini Bahran Harahap mengatakan, kebijakan pengadaan token listrik sepenuhnya berada di tangan PT PLN. Dia enggan berpendapat tentang peluang PT Icon Plus dalam urusan token listrik prabayar.

"Kalau secara bisnis harusnya semua pertanyaan tersebut tetap ke PLN, karena positioning ICON+ sebagai pelaksana operasional, bukan penentu kebijakan," kata dia.

Hal senada juga diutarakan oleh Anggota Komisi VII Fraksi PKS, Mulyanto. PT PLN, kata dia, harusnya mulai memikirkan cara untuk beralih dan mandiri dalam pengelolaan listrik prabayar. Kalaupun menggandeng swasta dalam urusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak, PLN harusnya menerapkan sistem merit yang saling menguntungkan bagi negara.

"Harus dilakukan secara transparans dan akuntabel berbasis sistem merit, sehingga terjadi kondisi efisiensi berkeadilan yang menguntungkan negara. Seharusnya biaya administrasi ini bisa ditanggung pihak PLN, terutama bila pembelian dilakukan di konter atau bank yang bekerja sama dengan PLN.  Sebagaimana kita mengisi kartu tol di Bank Mandiri, yang bebas biaya administrasi," kata Mulyanto.

Dia juga mewanti-wanti jangan sampai ada monopoli atau dominasi pihak swasta dalam sistem pembayaran listrik pra bayar.

"Tentunya tidak boleh ada dominasi atau monopoli tidak sehat dari pihak swasta dalam perusahaan negara seperti PLN ini. Bila terjadi dominasi atau kartel swasta dalam urusan token, besarnya biaya administrasi berpeluang untuk tidak dapat dikendalikan.  Kalau hal itu terjadi, maka masyarakat yang kembali akan dirugikan," imbuh Mulyanto.

Sementara itu, anggota Komisi VII DPR RI Fraksi Partai Demokrat Sartono Hutomo mengatakan, pihaknya akan membahas persoalan token listrik ini dalam panja Listrik.

"Saya pikir masalah token listrik ini perlu dibahas dalam rapat nanti. Akan saya tanyakan dalam Panja Listrik. Harus ada penyelidikan juga oleh KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) agar mereka menganalisa ada tidaknya monopoli. Yang pasti, kami akan melakukan pendalaman bersama PLN," ujarnya.

Menanggapi masalah ini, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) pernah mempermasalahkan besarnya biaya administrasi token listrik yang merugikan konsumen. Bahkan KPPU pernah melakukan investigasi khusus soal kelompok pengusaha yang bermain dalam token listrik ini. Bekas Komisioner Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) Nawir Messi mengatakan kalau saat itu KPPU sudah mengingatkan kepada PLN untuk berhati hati dalam menjalankan program yang dilaksanakan PLN.

Seperti diketahui kalau PLN mempunyai sejumlah proyek besar seperti listrik 35.000 MW hingga token listrik.

"Saat itu, kami mengingatkan dan terus memantau karena dalam Peraturan Presiden tentang pengadaan barang dan jasa pemerintah," kata Nawir.

Ia juga menyebutkan, salah satu tugas KPPU adalah mengawasi persekongkolan dalam proses tender. KPPU sendiri, lanjut dia, saat ini juga terus melakukan proses internal terkait masalah tersebut.

Di sisi lain, Nawir menyayangkan apabila dalam proses pengadaan barang dan jasa pemerintah ada yang mengabaikan peraturan yang berlaku. Jika terbukti melakukan pelanggaran terhadap proses tender, maka sanksi berat sudah menanti.

"Mulai dari sanksi administrasi hingga denda. KPPU juga bisa melakukan pembatalan atau melakukan proses ulang," kata Nawir.

Dominasi Swasta

Mantan Ketua Serikat Pekerja PLN Ahmad Daryoko mengatakan, banyaknya keterlibatan swasta dalam sistem listrik negara tidak bisa dilepaskan dari kebijakan yang diambil oleh mantan Dirut PLN dan Menteri BUMN Dahlan Iskan.

"Token itu punya Dahlan Iskan jadi rata rata, dia punya pabriknya sebagai pribadi. Kalau untuk token inikan pengelolaannya melalui kelistrikan sebetulnya tidak masalah karena sesuai dengan ketentuan. Cuma PLN cenderung dimanfaatkan swasta. Pembangkit Jawa Bali inikan sekarang rata rata sudah swasta," ujar Daryoko.

Berbicara mengenai masalah token, Daryoko menyoroti poin yang melanggar putusan MK nomor 001-021-022/POO-I/2003 tanggal 15 Desember 2004. Poin tersebut yang akhirnya membuat UU kelistrikan dibatalkan karena dinilai melanggar Pasal 33. Daryoko juga mengatakan jika sistem listrik token merupakan pihak ketiga dan bukan murni dimiliki oleh PLN lagi.

"Kalau sudah wujudnya token inikan tidak sepenuhnya punya PLN lagi. Realitasnya seperti itu," tambah Daryoko.

Menutup pernyataannya, Daryoko menyebut kalau saat ini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tidak bisa menelisik laporan keuangan PLN secara utuh karena terjadi swastanisasi secara besar-besaran.

"BPK juga tidak bisa menelisik laporan keuangan ini sejak lama karena sudah dikuasai swasta itu terjadi komoditas listrik itu memang belum ada saingan," tutupnya.

Pengamat Ekonomi dari UI Faisal Basri menyatakan kalau pernyataan Rizal Ramli beberapa waktu lalu soal Mafia Listrik merupakan perhitungan yang keliru. Pasalnya, dulu Faisal mengkritisi pernyataan Rizal Ramli yang mengatakan kalau sekitar 27 persen token listrik yang dibeli pelanggan justru masuk ke kantong provider yang setengahnya mafia.

"Saya bingung dari mana angkat 27 persen itu?," kata Faisal melalui keteranganya.

Ekonom senior tersebut kemudian membuat sebuah ilustrasi tentang perhitungan jual beli pulsa atau token listrik yang selama ini berlaku.

Menurutnya, tarif listrik 1.300 VA untuk golongan R1-1.300 VA adalah Rp 1.352 per kWh. Jika pelanggan golongan R1-1.300 VA membeli token Rp 100 ribu, maka menurut Faisal ada sejumlah biaya wajar yang memang harus dibayar pelanggan.

“Pertama, pelanggan harus membayar ongkos administrasi bank yang kalau menggunakan BCA besarnya Rp3 ribu per transaksi. Jadi sisa uang untuk listrik Rp 97 ribu karena untuk transaksi di bawah Rp 300 ribu tidak kena bea meterai,” ujarnya.

Selain itu, pelanggan juga harus membayar pajak penerangan jalan (PPJ) sebesar 2,4 persen (untuk Jakarta) dari jumlah kWh yang dibayar.

“Jadi PLN hanya menerima Rp 97 ribu dibagi 1,024 atau Rp 94.726. Kemudian jumlah kWh yang didapat pelanggan untuk Rp 94.726 dibagi tarif Rp 1.352 adalah sekitar 70 kWh. Jadi uang pelanggan hanya susut 5,3 persen untuk biaya administrasi bank dan PPJ, bukan 27 persen seperti yang ditengarai disedot mafia,” tukasnya.

#law-justice/tim/bersambung.. 

 
Top