JAKARTA -- Eks penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menangani kasus korupsi pengadaan bantuan sosial (Bansos) sembako Jabodetabek -- diketahui melibatkan koruptor Juliari Batubara selaku mantan Menteri Sosial--, Praswad Nugraha, angkat bicara soal pemecatannya.

Menurutnya, ia dan 56 mantan pegawai lain dipecat oleh pemerintah khususnya Presiden Joko "Jokowi" Widodo, bukan oleh Ketua KPK Firli Bahuri. Sebab, dalam proses pemecatatan mereka melibatkan Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan Kementerian PAN-RB yang merupakan bagian dari pemerintah.

BACA JUGA: Bansos Rentan Penyalahgunaan, Semua Pihak Tingkatkan Kewaspadaan! 

"Secara administratif sejak UU 2019 berlaku kami masuk eksekutif loh, presiden yang punya wewenang tertinggi. Jadi. Kalau ditanya siapa yang pecat kami? Bukan Firli Bahuri tapi Presiden Jokowi," jelas Praswad dalam sebuah wawancara khusus dengan awak media di kawasan Jakarta Barat.

Praswad mengatakan, ia dan rekan-rekan yang dipecat terus melakukan perlawanan karena hal ini bukan cuma masalah pekerjaan. Sebab, ini adalah hak konstitusional.

"Kalau kami bisa diginiin, bisa dirampas begini saja, bayangin penyidik KPK yang nangkap menteri, nangkap gubernur dll bisa dengan mudah diakali dan dipecat begitu saja. Bayangin teman-teman di pedesaan risiko apa yang akan dihadapi mereka?" ujarnya.

BACA JUGA: Dugaan Suap Pengadaan Barang dan Jasa, Deputi Bidang Logistik BNPB Diperiksa KPK

Praswad menilai seluruh rakyat Indonesia saat ini telah melihat dengan mata telanjang sebuah ketidakadilan. Bahkan, Komnas HAM menyebut setidaknya ada 11 pelanggaran HAM dan Ombudsmad menyatakan ada maladministrasi.

"Tapi tetap tidak bergeming," jelasnya.

Dalam Pasal 1 Ayat 1 Undang-Undang KPK 2019 menyebutkan bahwa seluruh pegawai KPK adalah Aparatur Sipil Negara. Menurutnya hal itu seharusnya sudah otomatis mengalihkan status pegawai tanpa kecuali sebagai ASN.

Praswad mengatakan, sebelum UU KPK 2019 berlaku, mereka juga sudah pegawai negara yang dibiayai dan digaji APBN. Bahkan,  terdapat burung garuda yang disematkan sebagai lambang KPK.

"Gak ada lembaga private yang boleh memakai lambang negara. Kami lembaga negara, pegawai negara," jelasnya.

"Tiba-tiba di 2019 kami diubah statusnya adalah ASN. Tiba-tiba disisipi dalam alih status harus ada wawasan kebangsaan, tiba-tiba tes wawasan kebangsaan yang hanya mengukur menjadi alat menyingkirkan orang-orang yang nyata-nyata berkontribusi secara nyata," sambungnya.

#idntimes





 
Top