APA jadinya dunia tanpa gelak tawa? Hambar dan jenuh, pastinya.  Di sinilah peran selera humor: memberi warna dalam kehidupan.

Celetukan teman, tingkah hewan peliharaan, atau serial komedi. Ini mungkin hanya beberapa pemicu tawa dalam keseharian kita. 

Memang, tertawa merupakan salah satu manifestasi saat ada sesuatu yang lucu. Namun, yang lebih penting lagi adalah kemampuan kita memandang hal tersebut sebagai kejenakaan.

Terkait hal ini, Dr. Maman Lesmana, S.S., M.Hum., Ketua Departemen Kewilayahan, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, mengungkap bahwa wujud humor dapat dibagi dua.

Pertama adalah intended humor, yaitu humor yang dilakukan dengan sengaja agar orang tertawa. Mungkin Anda akrab dengan humor ini: acara lawak di televisi, film atau serial komedi yang bertujuan mengkritik perilaku masyarakat, dan beragam meme di media sosial.

"Jenis humor kedua adalah unintended humor, yaitu humor yang tidak disengaja, tapi ada peristiwa tertentu di dalamnya yang ternyata mengandung efek kelucuan yang tinggi," papar Maman.

Maman menegaskan bahwa humor sangat bermanfaat dalam kehidupan.

Bagi seorang politisi, humor dapat dijadikan sarana untuk berkampanye. Bagi masyarakat, humor adalah sarana rekreatif yang mengendorkan saraf-saraf yang tegang, mempererat komunikasi dengan individu atau kelompok lain, dan menghilangkan kejenuhan.


Sementara itu, dalam interaksi sosial, humor dapat menjadi sarana untuk mempererat hubungan sosial di antara warga masyarakat dan sarana berkomunikasi agar suasana menjadi lebih cair. Bagi kelompok sosial atau etnik tertentu, humor adalah sarana otokritik dan memperkenalkan identitas kelompok.

Wahyu Cahyono, S.Psi., M.Psi., dari Ikatan Psikologi Sosial, sepakat bahwa humor tidak dapat dipisahkan dari keseharian kita. Bahkan humor dianggap sebagai salah satu karakteristik manusia yang bahagia.

"Hal ini terkait dengan kecenderungan manusia yang selalu mencari hal-hal yang menyenangkan dan menghindari hal-hal yang menyakitkan. Kalau ingin membuktikannya, cobalah satu hari tanpa tertawa atau tersenyum," tandas Wahyu.

Kita semua memiliki selera humor, meski bentuk dan tingkatannya tergantung pada faktor keluarga dan lingkungan.

Namun, humor tidak dapat berdiri sendiri. Dua faktor yang harus ada adalah si pembuat humor dan si penikmat humor, dan di antara keduanya harus ada persamaan budaya, wawasan, tingkat sosial, dan usia.

"Perbedaan budaya, wawasan, usia, tingkat sosial akan membuat humor menjadi tidak lucu. Humor dari sebuah daerah atau komunitas tertentu tidak bisa dimengerti oleh penikmat dari daerah lain," papar Wahyu.

Lebih rinci Maman menjelaskan, sesuatu disebut humor jika di dalamnya terdapat sesuatu yang bertentangan dengan yang ada pada umumnya. Misalnya, seekor monyet yang dapat melakukan pekerjaan manusia, atau sesuatu yang tidak pantas dilakukan, misalnya laki-laki yang bermain bola dengan mengenakan daster.


Humor yang muncul karena efek pertentangan juga dapat ditemui dalam ujaran sehari-hari, seperti plesetan, yakni ketika salah satu huruf atau suku kata diubah sehingga menimbulkan efek kelucuan. Atau, saat ada perbedaan pemahaman tentang makna kata atau ungkapan, misalnya data denotatif yang diartikan konotatif, atau gaya bahasa majas yang diartikan secara hakiki.

Dalam psikologi, ada dua hal penting yang harus dimiliki seseorang untuk dapat membuat humor yang berselera tinggi: thought (ide) dan unexpectedness (sesuatu yang tidak diduga-duga).

Kedua faktor ini harus saling terkait. Sesuatu dapat disebut lucu kalau ide yang diciptakan adalah sesuatu yang tidak diduga-duga oleh orang yang mendengarkan atau membacanya. Karena itulah, orang yang kaya dengan ide akan lebih mampu membuat humor berselera tinggi dibandingkan orang dengan sedikit ide.

"Para pelawak yang mempunyai kedua unsur tersebut akan lebih bisa bertahan lama dibandingkan para pelawak yang melawak dengan materi yang itu-itu saja," papar Maman.

"Wawasan seseorang sangat berpengaruh terhadap lucu atau tidaknya sebuah humor," ujar Wahyu.

"Humor yang diciptakan dari seseorang yang berwawasan luas dan berpendidikan belum tentu bisa dinikmati oleh kalangan awam".

Meski demikian, Wahyu mengingatkan bahwa kita juga harus bisa memahami situasi. Ada kalanya humor atau bercanda yang tidak sesuai konteks justru akan menimbulkan efek sebaliknya, yakni membuat orang marah atau tersinggung.


Kedua pakar ini sependapat bahwa sifat humor tidak diturunkan dari orangtua ke anak.

"Gen tidak mempunyai peran yang besar dalam menjadikan seseorang bersifat humoris. Sifat humor muncul pada diri seseorang berdasarkan pengalaman hidupnya," tandas Maman.

Umumnya, kata Maman, sifat humoris lebih banyak dimiliki oleh orang yang dinamis, luwes dalam berbicara, suka bergaul, dan mempunyai banyak teman. Dari sanalah pengalaman humornya didapatkan.

"Banyak pelawak yang bukan keturunan dari seorang pelawak. Sebaliknya, belum tentu anak dari seorang pelawak dapat melucu seperti orangtuanya," kata Maman memberi contoh.

"Memang, ada beberapa pelawak yang mempunyai keahlian melawak seperti keluarganya. Namun, itu tidak dapat dikatakan bahwa keahlian melawaknya diperoleh berdasarkan gen. Keahlian itu didapat dari kehidupannya yang sejak kecil terbiasa dengan pertunjukan lenong di lingkungan rumahnya," imbuhnya lagi.

Wahyu menegaskan bahwa humor adalah sesuatu yang dipelajari. Bahwasanya ada orang yang terlihat lebih humoris, maka itu tidak lepas dari pengalaman dan proses yang dia lalui dalam hidupnya.

Di sisi lain, Maman menekankan bahwa humor lebih dekat ke bidang seni daripada ke bidang ilmu. Jadi, untuk bisa mempunyai selera humor yang tinggi, seseorang haruslah mempunyai bakat dan rasa seni.


"Segala sesuatu yang ada di dunia memang bisa dipelajari, tapi hasil dari orang yang hanya belajar tapi tidak mempunyai bakat dan rasa humor akan berbeda dengan orang yang khusus belajar, tetapi mempunyai bakat dan rasa," papar Maman.

"Bakat dan rasa humor inilah yang membuat seseorang bisa menjadi lebih humoris dibandingkan orang lain. Meski demikian, bakat dan rasa ini harus terus diasah jika ia tidak ingin kehilangan sense of humor. Caranya? Belajar secara otodidak atau melalui sanggar seni," kata Maman.

Maman mengakui bahwa sejak adanya media sosial, penyebaran humor semakin bertambah luas, meski humor yang dilakukan secara konvensional masih tetap berlanjut.

Pada intinya, humor dapat dilakukan kapan saja, karena fungsinya sangat beragam, dari menghilangkan kejenuhan setelah bekerja atau belajar seharian, sampai menghilangkan stres ketika sedang dilanda ketegangan. Humor seperti ini biasanya dilakukan di lingkungan rumah sebagai hiburan.

"Di lembaga pendidikan, humor dapat menjadi cara menghilangkan kejenuhan dan mencari suasana agar proses belajar mengajar lebih kondusif. Di warung-warung kopi, humor digunakan untuk mengisi waktu dan bersantai. Di rumah sakit, humor dapat menghibur pasien sebagai terapi kejiwaan," jelas Maman.

Namun, humor juga bisa digunakan sebagai sarana untuk mengkritisi, baik berupa kritik sosial maupun terhadap diri sendiri, ataupun untuk menyampaikan ketidakpuasan atau kekecewaan terhadap pemerintah atau kelompok dan golongan tertentu.

"Jadi, tidak ada istilah kapan humor menjadi terlarang, selama dilakukan sesuai dengan fungsinya. Justru, sebenarnya humor merupakan salah satu cara untuk menghindari konflik fisik," pungkas Maman.

#rudi
#kompasiana





 
Top