SIANTAR, SUMUT - Peduli akan situasi pendidikan di Kota Siantar, Provinsi Sumatera Utara, terutama untuk mendorong lahirnya perguruan tinggi negeri di kota tersebut, Komunitas Mata Demokrasi (Komadem)  menggelar saresehan dan diskusi sehari bertajuk "Siantar Kota Pendidikan", bertempat di Toba Dreams Coffee, Kamis (6/12/2018).  

Dalam kegiatan diskusi yang dimoderasi oleh Alfredo Saragih dari Komadem tersebut hadir empat orang narasumber, antara lain Kristian Silitonga, seorang pengamat sosial politik dan pendidikan di Kota Pematangsiantar, Binsar Gultom, Dosen Universitas HKBP Nommensen (UHN), Sepriandi Saragih, Dosen Universitas Simalungun (USI) dan tokoh pemuda Simalungun, Fawer Sihite

Sementara itu, dari unsur pers, hadir Tigor Munte, jurnalis Kompas.com berikut sejumlah rekannya dari media online setempat. 

Diskusi diawali dengan pemaparan data-data seputar pendidikan di Kota Pematangsiantar oleh Fawer Sihite.  

"Di Kota Pematangsiantar ini, ada sebanyak 71 SMA/SMK sederajat yang merupakan bakal calon mahasiswa. Jadi, setiap tahunnya SMA/SMK sederajat di Siantar melahirkan 8000  hingga 10.000 siswa per tahunnya. Namun, dari banyaknya siswa yang tamat tersebut, mereka harus pergi ke luar Siantar untuk melanjutkan pendidikan tinggi. Maka, kami melihat ini sebuah potensi yang dimiliki oleh Siantar sebagai modal dasar perlunya pendirian PTN di kota paling toleran ini," ungkap Fawer.  

Binsar Gultom, dalam pemaparannya menyampaikan kondisi perguruan tinggi di Siantar masih mengkhawatirkan. Ia mengungkapkan kegelisahannya ihwal situasi para akademisi yang tidak membuka diri terhadap persoalan-persoalan sosial kemasyarakatan. Ia juga melihat, bukan persoalan kampus negeri atau swasta semata, namun setiap kampus harus membuka diri atas persoalan-persoalan yang tengah dihadapi masyarakat.  

"Di Siantar ini sebenarnya ada banyak dosen dan perguruan tinggi. Namun, saat ini sangat jarang kita rasakan kontribusi kampus dalam memajukan masyarakatnya. Nah, pertanyaannya,  apakah kehadiran PTN di Siantar akan mengubah situasi ini? PTN seperti apa yang menjadi kebutuhan masyarakat kota Siantar?," tutur Binsar.  

Senada dengan Tigor, peserta diskusi lainnya, Sepriandison juga berpendapat bahwa Siantar sudah saatnya memiliki PTN. Ia menganggap bahwa Siantar harus memperjelas identitasnya sebagai kota pendidikan.  

"Selama ini Siantar disebut-sebut sebagai kota pendidikan. Namun,  dimana bukti bahwa Siantar ini kota pendidikan? Jadi, usulan akan pendirian PTN di Siantar sudah tepat guna mendukung kemajuan pendidikan kota Siantar ini. Kemudian, siapkah Pemko untuk merealisasikan? " ungkap Sepriandi.  

Selain itu, Sepriandi juga menjelaskan tentang perlunya kajian akademik tentang pendirian PTN tersebut.  

Sementara itu, Kristian Silitonga dalam paparannya mengungkapkan bahwa secara menyeluruh Siantar layak dan siap untuk mendirikan PTN.  Namun ia meragukan komitmen pemko setempat dalam mewujudkan hal ini. 

"Kita belum clear soal jati diri dan narasi besar Kota Siantar. Ketika syarat berdirinya sebuah PTN sudah dimiliki kota ini, yang menjadi pertanyaan besar buat pemko dan DPRD, ini salah urus atau tidak ada niat?," kejar Kristian. 

Kristian juga menyatakan bahwa kehadiran PTN di Siantar sangat tepat, apalagi jika mempedomani nilai-nilai Raja Sangnaualuh.  

Ditambah Tigor Munte, ia menyatakan sepakat akan pendirian Universitas Negeri Sangnaualuh di Kota Siantar. Selain untuk menanamkan nilai-nilai keteladanan Raja Sangnaualuh, ia juga menyampaikan perlunya "second opinion" dari akademisi untuk memberikan pemikiran-pemikiran ilmiah atas persoalan yang dialami Kota Siantar.  

"Pendirian Universitas Negeri Sangnaualuh yang mengambil filosofi "delapan podah" dari Raja Sangnaualuh adalah keputusan tepat. Di samping itu,  kami sebagai orang media selama ini sangat sulit mengambil 'second opinion' dari pihak kampus atas persoalan-persoalan yang ada di Kota Siantar" ungkap Tigor.  

Secara umum, peserta diskusi sepakat dan siap untuk sama-sama memperjuangkan berdirinya Universitas Negeri Sangnaualuh.

(rel/ede)
 
Top