Oleh: Tonny Djayalaksana

PADA tulisan “Dualitas Ghaib-Nyata Bagian 1” telah dipaparkan tentang adanya fenomena manusia yang bisa berbicara dengan flora dan fauna. Baca: http://www.sumatrazone.co.id/2018/12/dualitas-ghaib-nyata-1-awal-terciptanya.html?m=1

Temuan kenyataan tersebut serupa dengan yang diceritakan dalam Al Quran tentang Nabi Daud dan Nabi Sulaiman yang diberi keutamaan oleh Allah untuk bisa memahami bahasa hewan.

“… Dan sesungguhnya kami telah memberikan ilmu kepada Daud dan Sulaiman dan keduanya mengucapkan; segala puji bagi Allah yang melebihkan kami dan banyak hambanya yang beriman, dan Sulaiman telah mewarisi Daud dan dia berkata; wahai manusia kami telah diberi pengertian tentang suara burung dan kami diberi segala sesuatu. Sesungguhnya semua ini benar-benar satu anugerah yang nyata (QS An-Naml 15-16).

Banyak yang berpendapat bahwa keutamaan memahami bahasa hewan hanya diberikan khusus untuk para nabi dan rosul. Ternyata argumen tersebut sudah bisa dipatahkan dengan banyak pelatih hewan yang berhasil mendidik hewan-hewan peliharaannya. Sebuah bukti bahwa setiap manusia bila ada niat dan kehendak, Allah akan memfasilitasinya, karena hakekatnya nabi ataupun rosul adalah menusia biasa juga.

Hal tersebut dijelaskan dalam Al Quran surat Ibrahim ayat 11 yang berbunyi: Rasul-rasul mereka berkata kepada mereka: “Kami tidak lain adalah manusia seperti kamu, akan tetapi Allah memberi karunia kepada siapa yang Dia kehendaki diantara hamba-hamba-Nya dan tidak patut bagi kami mendatangkan suatu bukti kepada kamu melainkan dengan izin Allah. Dan hanya kepada Allah sajalah hendaknya orang-orang mukmin bertawakkal.”

Itulah bukti-bukti bahwa semua kehidupan di semesta ini, satu sama lainnya mengandung keterkaitan emosi yang kuat. Karena sesungguhnya Sang Hidup yang ada di berbagai materi itu, sumbernya sama yaitu ruh. Dan ruh itu tercipta dari percikan cahaya Tuhan sebagai kecerdasan semesta tanpa batas. Maka ketika Syaidina Ali bin Abi Tholib ditanya oleh sahabat, bagaimana caranya untuk bertemu dengan Tuhan, diriwayatkan oleh sebuah Hadits Qudsi Syaidina Ali menjawab dengan kalimat: "‘Arroftu Robbi Bi Robbi,” yang artinya: "Aku mengenal Tuhan dengan Tuhan itu sendiri.”

Berbekal beberapa contoh di atas, saya menyimpulkan, sesungguhnya semua yang ghaib itu bisa dibuat jadi nyata. Tidak ada yang ghaib yang ada belum nyata. Semua yang ada di alam ghaib itu harus ber-migrasi ke alam yang nyata karena yang ghaib itu Dia, dan yang nyata juga Dia. Jadi di semesta ini yang mana yang bukan Dia? Bukankah alam semesta ini semuanya Dia, termasuk saya sebagai makhluk yang namanya manusia?

Memang, ada beberapa kalangan yang mengatakan bahwa hadits-hadits yang diungkapkan di atas merupakan hadits lemah, dhaif atau malah palsu. Kuat atau lemahnya sebuah hadits itu ditentukan dari perawi-perawinya. Nah hadits di atas dianggap memiliki perawi yang kurang baik dan jujur.

Namun siapa yang bisa mengatakan sesorang itu bohong atau jujur? Bukankah hanya diri kita sendiri yang bisa menilai itu. Misalkan saja ada 10 orang yang diminta menceritakan pengalamannya di depan kita. Lalu apakah kita sebagai pendengar bisa mengetahui yang mana di antara sepuluh orang tersebut yang jujur dan yang bohong? Tentunya tidak ada yang tahu kecuali sang pencerita itu sendiri.

Dalam sebuah acara televisi, pernah ditayangkan sebuah kuis yang secara langsung membuktikan bahwa sebuah kalimat yang disampaikan secara estafet dari orang kesatu hingga orang ketujuh, pasti hasil akhirnya berbeda dengan yang diucapkan orang pertama. Kuis ini membuktikan bahwa secara estafet saja, tidak bisa secara lengkap sebuah kalimat diteruskan dengan benar. Apalagi sebuah hadits yang penyebarannya tidak estafet secara langsung, melainkan ada jeda waktu entah seminggu, sebulan atau lainnya sehingga menurut saya tidak lagi masuk akal untuk tiba-tiba bisa dinyatakan shahih, lemah atau dhaif.

Penulis hadits seperti Ahmad, Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa`i, dan lain-lainnya tidak pernah kita kenal. Yang mewartakan atau perawi-perawinya juga tidak kita kenal. Ulama-ulama yang memiliki kesepakatan pada zamannya itu pun tidak juga kita kenal. Bahkan termasuk ulama kondang zaman sekarang, saya juga tidak kenal. Lalu bagaimana saya bisa meyakinkan bahwa hadits yang disampaikan itu betul?

Bukankah ada sebuah hadits yang menyatakan, “Wa lam yarzuq lam yarid,” yang artinya: barang siapa yang tidak mengalami bagaimana mungkin dia bisa memahami. Itu menjelaskan sekali bahwa untuk memahami sebuah kebenaran itu harus melalui proses pengenalan, pengetahuan, dan mengalami sendiri.

Jadi, saya tidak bisa percaya bahwa hadits tersebut palsu, lemah atau pun kuat begitu saja. Kenyataannya, justru pada hadits-hadits yang dibilang orang lemah itulah, yang justru menguatkan diri saya untuk bisa menemukan resonansi/getaran Ilahi dengan jiwa saya.

Pengenalan kita dengan Sang Pencipta alam itu adalah karena adanya getaran rasa tersebut. Seperti halnya garam itu asin, gula itu manis, api itu panas, itu semua tidak mungkin bisa dijelaskan dengan kata-kata tanpa kita mengalaminya sendiri. Itulah penjelasannya mengapa saya tetap meyakini bahwa hadits-hadits di atas adalah benar adanya.

Saya baru mendapatkan penyadaran bahwa sesungguhnya, semua aspek kehidupan dunia inilah tempat untuk semua penghuninya belajar tentang hakekat kehidupan. Belajar agar semuanya bisa paham untuk apa dan untuk kepentingan siapa sesungguhnya, saya dan seluruh penghuni semesta itu hadir dan berada di semesta ini? 

Dan saya memahami, serta  menyadari bahwa di semesta ini semua adalah Dia, Berarti tidak ada satu makhluk pun yang bisa mengaku-aku, ini miliknya, itu milik bangsa atau negaranya. Bukankah alam semesta beserta isinya semua milik Allah semata? Lalu bagaimana mungkin seorang manusia, bangsa atau negara yang sarat dengan keterbatasan, bisa menguasai alam semesta milik Allah sebagai kecerdasaan semesta yang tanpa batas? Jadi kehadiran saya beserta penghuni semesta lainnya di semesta ini semata-mata hanya untuk kepentingan Allah, agar kita semua penghuni semesta ini mengenali-Nya sekaligus mengakui eksistensi-Nya.

Saya membayangkan betapa indahnya, ketika semua penghuni semesta ini, tatkala tingkat kesadarannya sudah mencapai puncaknya, dan sudah bisa melampaui hukum dualitas yang ada. Tidak ada lagi nafsu, ego,dan kepentingan sendiri. Yang tertinggal hanyalah keheningan, bening, dan ujung-ujungnya semua akan kembali kepada Sang Maha Pencipta. "Inna lillahi wa inna ilaihi raaji’uun, yang artinya: "Sesungguhnya semuanya milik Allah dan akan kembali kepada Allah.” 

(Selesai)



Tentang Penulis: Tonny Djayalaksana adalah seorang Muallaf asal "Kota Kembang" Bandung, Jawa Barat. Ia juga pengarang buku “AKU BERSAKSI, ALLAH MAHA NYATA”
 
Top