Catatan Satire; Rizal Pandiya 

- Sekretaris Satupena Lampung


KANTOR Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, sampai Kejaksaan Negeri, mulai 1 Mei 2025, resmi dijaga oleh Tentara Nasional Indonesia. Iya, betul. TNI. Serius. Bukan Hansip, bukan Linmas, tapi tentara. Yang biasa jaga perbatasan, sekarang jaga berkas perkara. Yang biasa latihan tembak-tembakan, sekarang sibuk jagain jaksa yang lagi ngitung pasal.

Rupanya, menjaga kejaksaan dengan pagar, CCTV, dan Satpam berseragam safari saja tidak cukup. Jadi, kalau pas lewat depan kantor kejaksaan dan lihat ada tentara pakai seragam loreng-loreng, jangan panik. Bukan kudeta. Belum. Cuma agak sedikit gawat darurat.

Kenapa bisa begini? Konon katanya, ini bentuk pengamanan ekstra. Supaya kejaksaan merasa aman dari… siapa, ya? Hacker? Polisi? Setan? Atau jangan-jangan dari rasa bersalah itu sendiri?

Satu provinsi dapat satu kompi. Satu kabupaten dapat satu regu. Kalau tentara darat kurang, silakan minta tolong Angkatan Laut. Kalau masih kurang juga, siapa tahu Angkatan Udara bisa bantu – mungkin kirim jet tempur buat ngusir makelar kasus dari udara.

Beredar asumsi, Presiden lebih percaya Kejagung daripada KPK atau Polri. Mungkin karena Kejagung dianggap lebih kalem, tidak suka drama, dan kalau OTT tidak ramai-ramai. Mungkin juga karena Kejagung tahu cara menyimpan bukti tanpa harus disiram air keras atau masuk kardus durian.

Sementara itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mulai gelisah. Banyak yang bilang ini sinyal KPK akan dibubarkan. Ya wajar, KPK kan cuma lembaga adhoc. Kayak kontrakan enam bulan. Bisa diperpanjang, bisa digusur, tergantung juragan kosan.

Apalagi akhir-akhir ini kerja KPK makin sepi, OTT makin jarang. Mungkin mereka sudah pindah ke bisnis baru – jadi agensi detektif swasta, atau buka pelatihan how to be ignored by state institutions. Pun kalau ada OTT, sering bocor dan koruptor melenggang sambil bersiul.

Mungkin Kejagung mengalami trauma. Dulu pernah dikepung polisi. Salah satu jaksa, Febrie Adriansyah, malah dikuntit. Gak tanggung-tanggung, kayak adegan film, diikuti mobil tak dikenal, dicegat, diperiksa. Kalau kejaksaan kayak gini terus, nanti mereka ikut-ikutan bikin reality show, “Jaksa Dibuntuti” tayang tiap malam minggu.

Maka dari itu, sekarang mereka minta dijagain tentara. Karena kalau dijaga polisi, takut ditilang. Kalau dijaga satpam, takut digodain. Jadi tentara saja. Lebih garang, lebih gagah, dan kalau jaga, sekalian bawa senapan.

Mungkin ini bentuk arah baru penegakan hukum, yang tidak hanya ditegakkan, tapi juga dikawal. Kalau perlu dikawal tank sekalian, biar pelaku korupsi mikir dua kali sebelum melarikan diri – atau minimal biar sopirnya mikir sebelum nyalain mesin mobilnya.

Sepertinya kita hidup di negara yang sangat serius dalam memberantas korupsi. Saking seriusnya, Presiden kirim tentara buat jaga kantor kejaksaan, tapi lupa jaga dapur katering sekolah yang bikin anak-anak keracunan. Ini bukan bercanda, ini informasi serius, karena di Kota Bogor saja, sudah 223 anak yang masuk UGD.

Tapi ya sudahlah. Mungkin ini bagian dari Asta Cita. Dulu yang berjaya parcok alias partai coklat, sekarang mulai beralih ke seragam loreng. Agaknya, jaksa nggak bisa kerja tenang tanpa pengamanan, entah itu dari parcok atau tentara, dan koruptor bisa tidur nyenyak – selama nggak kebetulan ketemu jaksa yang belum trauma.

Biasanya sih, TNI dikerahkan buat jaga objek vital, seperti pelabuhan, bandara, atau kalau lagi nganggur, ya bantu-bantu jaga tambang ilegal yang nggak sengaja dilegalkan. Tapi sekarang? Mereka jaga kantor hukum.

Terus, siapa yang jaga lapak ilegal sekarang? Nah, ini dia pertanyaan penting anak bangsa. Kalau tentara sudah sibuk jaga kejaksaan, siapa yang sekarang jagain tambang-tambang emas tanpa izin, ladang sawit gelap, atau lapak judi online yang “tiba-tiba legal”?

Apakah mereka sekarang dibiarkan begitu saja? Tidak dijagain? Apakah kita sedang menyaksikan… lapak ilegal yang terlantar dan penuh duka? Mungkin dulu mereka bangga, “Bro, lapak kita dijaga koramil, loh.” Tapi sekarang? “Bro, kita nggak dijagain siapa-siapa, cuma tuhan yang tahu ini ilegal.”

Ini artinya negara sedang berubah. Dulu prioritas pengamanan tambang-tambang ilegal. Sekarang, lemari berkas perkara. Ada yang bilang, mungkin karena lapak-lapak itu sudah nggak menghasilkan lagi. Entah karena sepi, atau karena jatahnya nggak turun-turun dari atas. Ya sudahlah, pindah kerjaan.

Dengan penjagaan satu kompi, jaksa nggak perlu lagi takut dilempar telur busuk atau dilempar pertanyaan wartawan. Kalau ada yang protes, “Pak, kenapa kasus itu mandek?”

Tinggal nyengir sambil nunjuk ke belakang, “Coba tanyain tuh ke abang bersenjata.”

Kalau masih maksa, bisa-bisa diajak push-up bareng satu kompi. Atau minimal disuruh tiarap sambil nyanyi Mars Kejaksaan.

Kita ini negara hukum. Tapi kalau penegak hukum dijaga tentara, maka hukum itu jadi hukum tempur. Bukan lagi soal pasal dan bukti, tapi soal perimeter dan patroli. Dan di tengah semua ini, tambang ilegal, lapak judi, dan kafe-kafe gelap cuma bisa duduk di pojokan, nggak ada yang jagain lagi. (*)



 
Top