Rosadi Jamani
- Ketua Satupena Kalbar
KISAH money politic di Pilkada Barito Utara, satu suara kisaran 16-25 juta, banyak menarik perhatian publik. Mereka bertanya, “Barito Utara negeri sultan, apa sumber pendapatan daerahnya?” Saya jawab, batu bara, wak! Gara-gara itu juga saya mencari tahu seperti apa potensi emas hitam di pulau terbesar di Indonesia itu?
Yang orang Kalimantan boleh ngumpul di sini, baca narasi ini sambil seruput kopi liberika.
Di sebuah pulau yang katanya zamrud khatulistiwa, tapi kini lebih mirip tambang Minecraft raksasa tanpa batas. Pulau Kalimantan, tempat di mana bumi digali sampai ke dasar nurani. Indonesia punya cadangan batu bara sebanyak 147,6 miliar ton, dan 48,72 miliar ton-nya berada di Kalimantan. Saking banyaknya, jika dikemas dalam karung-karung raksasa, bisa menutupi bulan. Dari tumpukan itu, negeri ini menyumbang 30–35% konsumsi batu bara dunia. Hebat, bukan? Negara kita sukses menjadi Power Rangers energi global, walau sering mati lampu juga.
Perusahaan-perusahaan seperti PT Kaltim Prima Coal, Adaro Energy, Berau Coal, dan Indo Tambangraya Megah hadir bak dewa-dewa industrialisasi. Mereka menggali, mengebor, dan mengangkut bumi, lalu mengirim hasilnya ke China, India, Korea Selatan, Jepang, Taiwan, hingga Bangladesh. Dunia jadi terang, sementara warga lokal bersinar… karena debu di wajah dan paru-paru mereka.
Pendapatan negara dari sektor ini mencapai Rp 127,90 triliun pada 2024. Angka yang begitu bombastis, sampai-sampai Excel pun berkeringat saat menghitungnya. Tapi ketika kita turun ke desa, bertemu warga, yang kita lihat justru dapur yang gosong, sumur yang kering, dan anak-anak yang batuk sambil bermain di tanah bekas peledakan dinamit. Angka kemiskinan di Kalimantan Timur memang “hanya” 5,78%, tapi angka itu tak mencerminkan harga air bersih di daerah tambang yang lebih mahal dari bensin. Sementara di Kalimantan Selatan dan Tengah, kemiskinan tetap berdansa mesra dengan industri tambang. Sebuah paradoks: tanah yang kaya tapi rakyatnya makan nasi dengan garam, kalau garamnya belum naik harga.
Tapi di balik semua statistik dan dolar, ada cerita lain. Cerita tentang hutan yang lenyap, sungai yang hitam, dan udara yang bisa membuat paru-paru menangis. Pertambangan batu bara bukan hanya soal ekonomi, tapi juga soal kehancuran ekologis. Deforestasi menjadi ritual pembukaan tambang. Pepohonan dirubuhkan seperti mainan. Habitat hewan diusir tanpa kompensasi. Limbah tambang mengalir sebagai air asam, menyusup ke sungai dan sumur warga. Ikan mati, tanah gersang, dan air minum terasa seperti kuah racun.
Udara pun tak luput. Pembakaran batu bara menghembuskan karbon dioksida (CO2), sulfur dioksida (SO2) dan nitrogen oksida (NOx) ke atmosfer. Udara yang dulu segar kini mengandung CV penyakit, dari batuk ringan, gagal jantung, hingga kanker paru-paru sebagai bonus loyalitas. Ekosistem runtuh, spesies punah, dan lahan subur berubah jadi cekungan raksasa tempat nyamuk berevolusi jadi predator utama.
Namun negeri ini masih semangat menggalinya. Karena di mata negara, tambang adalah cinta, walau menyakiti, tetap dicari. Kalimantan menjadi teater epik filsafat keadilan. Ketika lubang-lubang raksasa menggantikan mimpi rakyat kecil. Ketika setiap triliun yang masuk kas negara menimbulkan satu komunitas yang kehilangan air bersih.
Lalu ketika tambang habis, dan tanah tak lagi bisa digali, masyarakat akan mengingat satu hal, bukan berapa ton yang diekspor, tapi berapa nyawa yang ikut terkubur bersama bara. Kelak, di museum masa depan, anak cucu kita akan membaca tulisan di dinding, “Di sini pernah berdiri sebuah pulau bernama Kalimantan. Ia kaya. Tapi miskin.” (*)
#camanewak