Membangun Harmoni Sosial dari Hal Sederhana
Mohammad Medani Bahagianda
(Dalom Putekha Jaya Makhga)
Tabik Pun!
DALAM masyarakat Lampung, hubungan bertetangga bukan hanya soal kedekatan tempat tinggal, tetapi juga merupakan bagian dari sistem nilai yang diikat oleh adat, falsafah dan kebersamaan.
Bertetangga dalam budaya Lampung sarat dengan etika dan tanggung jawab sosial. Tidak heran, nilai-nilai seperti gotong royong, nengah nyampur, sakai sambayan, dan pi’il pesenggikhi mewarnai sikap masyarakat dalam membangun hubungan antartetangga.
Falsafah Hidup dalam Etika Bertetangga
Dalam budaya Lampung, pi’il pesenggikhi (harga diri dalam pergaulan) menjadi panduan moral dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitar, termasuk dengan tetangga. Seseorang yang menjaga perilaku sopan, tidak mencampuri urusan pribadi orang lain secara tidak patut, dan menjaga kehormatan diri serta orang lain, dianggap menjunjung tinggi adat.
Falsafah nengah nyampur (tahu menempatkan diri dalam pergaulan) menekankan pentingnya rasa peka terhadap lingkungan sosial, termasuk kapan dan bagaimana bersikap kepada tetangga.
Bentuk-Bentuk Etika Bertetangga dalam Kehidupan Sehari-Hari
Berikut beberapa contoh konkret etika bertetangga menurut adat masyarakat Lampung:
• Salam dan Sapa: Setiap pagi atau saat berpapasan, warga Lampung akan menyapa tetangga dengan senyum dan ucapan yang sopan. Ini bukan basa-basi, melainkan bagian dari menghargai kehadiran orang lain.
• Membantu dalam Kesusahan: Jika tetangga mengalami musibah, seperti sakit atau kemalangan, warga sekitar akan datang membantu, baik dalam bentuk tenaga, makanan, hingga dukungan moral. Ini adalah penerapan sakai sambayan, semangat kebersamaan dan saling tolong-menolong.
• Menjaga Ketertiban Lingkungan: Tidak membuat gaduh, tidak membuang sampah sembarangan, atau membangun rumah tanpa izin tetangga, adalah bentuk dari penghormatan terhadap kenyamanan bersama.
• Berbagi Makanan atau Hasil Panen: Dalam banyak kampung di Lampung, kebiasaan memberikan sebagian hasil kebun atau makanan kepada tetangga masih lestari, terutama saat ada hajatan, panen, atau perayaan adat.
• Toleransi Agama dan Budaya: Masyarakat adat Lampung umumnya hidup berdampingan dengan kelompok lain dan menjunjung tinggi toleransi. Saat tetangga merayakan keagamaan atau adat lain, masyarakat Lampung tetap menjaga rasa saling hormat.
Peran Adat dalam Menyelesaikan Perselisihan
Jika terjadi konflik antarwarga, penyelesaiannya tidak serta-merta dibawa ke jalur hukum. Masyarakat adat Lampung masih memegang prinsip musyawarah mufakat yang difasilitasi oleh tokoh adat, kepala kampung, atau tokoh masyarakat. Tujuannya adalah menjaga keharmonisan dan menghindari rasa malu atau kehilangan pi’il.
Dampak Positif dari Etika Bertetangga
Penerapan etika bertetangga secara konsisten berdampak besar pada:
• Keharmonisan Sosial: Lingkungan yang rukun menciptakan rasa aman dan nyaman bagi seluruh warga.
• Solidaritas Tinggi: Budaya gotong royong dan saling bantu membuat beban hidup menjadi lebih ringan.
• Pelestarian Adat dan Budaya: Etika bertetangga adalah bagian dari kearifan lokal yang memperkuat identitas masyarakat Lampung.
Tantangan Zaman dan Revitalisasi Nilai
Perubahan gaya hidup modern, teknologi, dan individualisme mulai menggerus kebiasaan bertetangga. Anak-anak muda lebih sibuk di dunia maya, sementara hubungan antartetangga menjadi renggang. Oleh karena itu, pendidikan adat sejak dini, kegiatan masyarakat berbasis budaya, serta keterlibatan tokoh adat dalam kehidupan kampung perlu dihidupkan kembali.
Etika bertetangga dalam tradisi adat Lampung adalah cerminan dari kearifan lokal yang berakar kuat dalam nilai-nilai luhur. Dalam dunia yang terus berubah, menjaga dan menghidupkan kembali tradisi ini menjadi penting untuk menciptakan masyarakat yang rukun, damai, dan berkarakter. Karena sejatinya, keharmonisan besar dimulai dari kebaikan kecil yang dilakukan kepada orang terdekat, yaitu tetangga. (*)