Rosadi Jamani

- Ketua Satupena Kalbar


DIGAJI negara dengan uang rakyat, eh malah berbohong. Absen gunakan finger print, lalu diakalkan menggunakan fake GPS. Data memperlihatkan ia masuk, padahal nyatanya, tidak. Mental korup memanipulasi absensi ini sedang dipertontonkan oknum ASN di Kabupaten Lebong, Bengkulu. 

Parah ni, wak! Sambil menikmati kopi di Kafe Potluck Jalan Nusa Indah 1 Pontianak, mari telusuri pada abdi negara berwatak culas ini.

Bayangkan, wak! Sebanyak 1.233 Aparatur Sipil Negara (ASN) bukan angka random hasil kocokan arisan RT, tapi satu koma dua tiga tiga manusia dewasa yang digaji negara, dengan keahlian multitasking tingkat tinggi, berhasil memanipulasi sistem absensi elektronik menggunakan fake GPS. Modus operandi mereka? Canggih, modern, dan sangat filosofis. Hadir tanpa keberadaan, hadir dalam ketiadaan. Sebuah pencapaian eksistensial yang akan membuat Heidegger menyesal tidak sempat menulis “Being and Absen-tity”.

Lalu siapa saja mereka, para pemangku kemuliaan manipulatif ini? Jangan harap hanya staf biasa. Oh tidak. Ini adalah orkestra kebohongan lintas jabatan. Kepala dinas? Ada. Dokter? Hadir secara spiritual. Eselon II dan III? Aktif di koordinasi dunia maya. Bahkan camat, para raja kecil di lembah administratif, pun turut larut dalam simfoni pemalsuan lokasi ini. Sungguh, jika ini adalah konser kejujuran, maka mereka adalah konduktor dari orkestra sumbang.

“Sudah saya laporkan kepada bupati untuk dilakukan penegakan disiplin,” lapor Doni Swabuana, Asisten II Sekretariat Pemda Lebong, dengan nada seperti seorang ayah yang baru saja menemukan anak-anaknya berpesta liar di rumahnya sendiri. 

Doni, yang tak tahu apakah harus tertawa, menangis, atau membuka lowongan baru untuk vendor pendeteksi kejujuran, memaparkan bahwa semuanya terungkap berkat laporan vendor absensi. Iya, vendor. Bukan inspektorat. Bukan pengawasan internal. Tapi vendor. Luar biasa.

Sementara itu, Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP), gaji tambahan yang diberikan agar para ASN semangat kerja, ternyata malah menjadi bahan bakar bagi kreativitas tipu-tipu ini. Tiga bulan TPP: Januari hingga Maret, kini jadi batu nisan integritas.

Karena panik, solusi sementara pun diambil. Sistem absensi digital diganti ke metode manual. Kembali ke zaman kertas. Kembali ke zaman bolpen. Zaman di mana tanda tangan dan kehadiran bisa dijodohkan paksa walau tak pernah berkencan. Metode manual, solusi paling absurd untuk kasus kejahatan digital. Ibarat menambal kapal tenggelam dengan selotip.

Namun, ini bukan sekadar skandal. Ini adalah epos mini tentang bagaimana integritas diukur dari titik GPS. Ini adalah puisi modern tentang ASN yang hidup di era digital tapi moralnya masih pakai analog. Ini adalah tragedi Aristotelian tentang karakter-karakter agung yang jatuh bukan karena takdir, tapi karena terlalu malas datang ke kantor.

Seperti biasa, publik tak akan heran. Sebab negeri ini telah imun terhadap ironi. Setiap skandal menjadi hiburan ringan. Setiap kebohongan dianggap kelincahan birokrasi. Setiap fake GPS adalah refleksi dari fake moralitas.

Maka kita akhiri kisah ini dengan satu pertanyaan ontologis, jika seseorang terdaftar hadir tapi sebenarnya tidak hadir, apakah dia tetap layak menerima TPP? Ataukah sebaliknya, negara yang sebenarnya absen dari pengawasan, layakkah menyalahkan mereka yang cuma meniru?

Lebong, namamu kini tercatat bukan karena alam indahmu, tapi karena para oknum ASN yang menjadikan absensi sebagai seni tipuan. Sebuah ironi administratif, di mana ketidakhadiran pun bisa jadi prestasi.

Ini bukan berita. Ini epik birokrasi era digital, sebuah kisah tentang bagaimana teknologi bukan untuk kemajuan, tapi untuk memoles kemalasan agar terlihat profesional. Oknum ASN Lebong, kalian bukan hanya pegawai, kalian adalah filsuf-filsuf post-kantoran yang membuktikan bahwa keberadaan hanyalah mitos, selama ada sinyal dan pulsa.

Bagi ASN yang baru, jangan dicontoh senior kalian yang suka memanipulasi absen. “Tak baek,” kata orang Pontianak. (*)


#camanewak




 
Top