Rosadi Jamani

Ketua Satupena Kalbar


MASIH pagi di Bengkayang. Kota perbatasan Kalbar-Sarawak Malaysia. Banyak followers share link, direksi dan komisaris BUMN tak bisa lagi ditangkap KPK. Mari kita cari tahu apakah benar demikian?

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 telah lahir. Sebuah produk hukum agung, sakti, dan, konon katanya, bertujuan mulia. Tapi begitu dibaca rakyat jelata, isinya malah seperti babak klimaks dalam film konspirasi, direksi dan komisaris BUMN tidak lagi dianggap sebagai penyelenggara negara. Tiba-tiba, jutaan rakyat mendadak menjadi profesor hukum dadakan, garuk kepala massal, dan bertanya serempak, “Apa Maksudnya ini, Wak?!”

Lalu, dari balik layar kaca, muncul Komisi Pemberantasan Korupsi, yang dulunya garang, sekarang lebih mirip guru privat yang hanya boleh menegur murid-murid tertentu saja. Dengan penuh rasa sabar dan logat hukum yang sopan, mereka menjelaskan, “Maaf, kami hanya berwenang mengusut penyelenggara negara dan aparat penegak hukum. BUMN? Bukan urusan kami lagi.”

Di detik itu juga, terdengarlah suara tawa membahana dari lantai-lantai tinggi gedung BUMN. Suara tawa itu bukan sekadar tawa bahagia. Ia adalah simfoni euforia, kebebasan dari ketakutan dijemput malam-malam oleh petugas KPK yang dulu terkenal dengan gaya OTT-nya. Kini, OTT tinggal kenangan. KPK tak lagi punya pintu masuk ke ruang rapat direksi BUMN yang diselimuti aroma wangi cash flow raksasa.

Mari kita buka buku sejarah kecil yang merekam dosa-dosa lampau. Ada Karen Agustiawan, eks Direktur Utama Pertamina, yang terlibat dalam skandal pengadaan Liquefied Natural Gas (LNG) pada periode 2011–2021. Kerugian? Tak usah ditanya. Negara bisa beli bintang jatuh pakai duit itu. 

Lalu ada Budi Tjahjono dari PT Jasindo, yang terlibat dalam kegiatan fiktif para agen, dijatuhi hukuman 5 tahun dan denda Rp 1 miliar. 

Jangan lupa RJ Lino dari Pelindo II, yang ikut-ikutan bikin pengadaan Quay Container Crane jadi ajang pemborosan, Rp 28,7 miliar melayang seperti burung camar di pelabuhan.

Itu dulu. Waktu KPK masih punya sayap. Sekarang? Sayapnya dipotong, dikeringkan, dan dipajang sebagai hiasan nostalgia hukum. KPK kini cuma bisa “mengaji… eh… mengkaji dampak” dan berencana “memberikan masukan kepada pemerintah.” Masukan? Kayak netizen kasih saran ke pemerintah soal harga cabai, bedanya yang ini pakai dasi dan akta notaris.

Rakyat awam mulai berimajinasi. Bayangkan jika aturan ini diterapkan ke sektor lain. “Oh, saya bukan guru, saya cuma penyampai ilmu.” “Saya bukan polisi, saya cuma penjaga ketertiban informal.” Hukum pun berubah jadi lukisan surealis, indah, aneh, dan membingungkan.

Sementara itu, lembaga penegak hukum lainnya, Polisi dan Kejaksaan, katanya masih bisa menangani kasus korupsi BUMN. Tapi, ya, kita tahu sendiri, efektivitasnya kadang seperti modem di hutan, hidup tapi tidak tersambung. Kalaupun disambung, kecepatan upload-nya lambat, dan kadang error 404, Keadilan Not Found.

Bagaimana nasib uang rakyat yang dikelola BUMN? Apa jaminannya bahwa tawa para komisaris bukan tawa kejahatan yang dibungkus formalitas? Kini, kekuasaan mengalir deras di lorong-lorong ruang rapat yang tak terjamah KPK. Undang-undang ini, saking hebatnya, seperti memberi jubah gaib ala Harry Potter kepada para elite BUMN. Mereka bisa jalan-jalan di tengah pengawasan publik dan hukum, tapi tak bisa disentuh. Tak terlihat. Tak tertangkap.

Apakah ini kesengajaan? Konspirasi? Atau sekadar ketidaksengajaan yang terlalu kebetulan? Tak ada yang tahu. Yang pasti, BUMN tertawa. Rakyat hanya bisa ikut tertawa… getir. (*)


#camanewak





 
Top