Rosadi Jamani
- Ketua Satupena Kalbar
DARI 27-29 Mei kemarin, Macron berkunjung ke negeri kita. Banyak publik bertanya, apa kesepakatan yang dicapai usai ketemu Prabowo. Mari kita ungkap sambil seruput kopi tanpa gula di Kafe Teduh Jalan Dansen Pontianak.
Presiden Prancis Emmanuel Macron dan Presiden Indonesia Prabowo Subianto bertemu dalam upacara kenegaraan penuh senyum diplomatik dan jabat tangan. Tentu lebih hangat dari kopi sachet tiga rasa. Pertemuan itu menghasilkan segudang kerja sama strategis, mulai dari pertahanan, ekonomi, hingga makan gratis.
Sorotan utama, tentu saja, jatuh pada pesawat tempur Rafale. Indonesia, dengan semangat seperti kolektor diecast skala 1:1, telah resmi memesan 42 unit Rafale dari Prancis. Jumlah yang begitu presisi, seolah-olah angka 43 akan memicu kiamat anggaran. Rafale disebut-sebut sebagai simbol supremasi udara, lambang kejayaan teknologi Prancis, dan kartu nama baru bagi TNI AU yang ingin tampil “menggentarkan.” Tapi seperti kata pepatah modern, belum sempat unjuk gigi, sudah muncul notifikasi global.
Pasalnya, dalam drama udara terbaru antara India dan Pakistan, dua negara tetangga yang suka menyapa satu sama lain dengan rudal, empat unit Rafale India diklaim ditembak jatuh oleh Pakistan. Bukan satu, bukan dua, tapi empat. Bukan oleh senjata rahasia alien, tapi oleh jet tempur J-10C buatan China. Iya, pesawat dari pabrik yang juga bisa bikin rice cooker. Dunia pun tercengang. Dassault Aviation, pabrikan Rafale, mendadak jadi bahan perundungan di bursa saham, sementara Chengdu Aerospace di China bersulang dengan teh hangat di atas grafik saham yang menanjak seperti jalan ke puncak ambisi global.
Lalu di mana posisi Indonesia dalam panggung absurd ini? Kita berada di tengah, memegang invoice Rafale dengan tangan kanan, dan menyaksikan dari kejauhan bagaimana jet-jet mahal itu rontok seperti durian jatuh. Tapi jangan salah sangka, ini bukan tragedi, ini filosofi. Dalam dunia kerja sama internasional, tak ada yang lebih penting dari tetap percaya pada barang yang sudah dibayar DP-nya. Rafale mungkin jatuh di sana, tapi di sini, ia masih terbang tinggi di spanduk Kementerian Pertahanan.
Mungkin inilah bentuk kerja sama tertinggi, percaya pada kehebatan teknologi, meskipun buktinya sedang merokok di ladang Kashmir. Karena yang penting bukan hasil di medan tempur, tapi narasi di atas podium. Toh, Prancis tetap memuji pembelian ini sebagai bukti eratnya hubungan bilateral, dan Indonesia menyambutnya dengan optimisme penuh, sekaligus memesan saus sambal ekstra, kalau-kalau Rafale perlu disesuaikan dengan lidah Nusantara.
Sementara itu, di sektor ekonomi dan gizi, kerja sama tetap bergulir. Karena ketika langit penuh asap konflik, kita tetap harus memastikan perut anak bangsa kenyang dan portofolio investasi tetap wangi. Rafale bisa jatuh, tapi semangat makan gratis dan pertumbuhan ekonomi berbasis MoU harus tetap terbang tinggi.
Mari kita rayakan era kerja sama ini. Era ketika pesawat bisa jatuh, tapi kepercayaan tetap kokoh. Ketika diplomasi lebih kuat dari logika balistik. Ketika absurd bukan lagi masalah, tapi metode utama bernegara. Dunia boleh tertawa, tapi kita tetap akan terbang bersama Rafale, meski cuma dalam parade 17 Agustus, dengan musik marching band dan naskah doa lintas agama. (*)
#camanewak