Penulis: Ririe Aiko
PUISI ini difiksikan dari kondisi Indonesia saat ini, di mana korupsi menggerogoti sendi-sendi kehidupan, sementara rakyat kecil meratap di tepi kelaparan dan ketidakpastian ekonomi –
—000—
“Di pundakku beban bangsa terpikul,
Namun tangan-tangan rakus merobek tubuhku tanpa malu.”
Di sudut senja yang mulai renta,
Ibu Pertiwi duduk bersimpuh di bawah pohon peradaban,
memeluk lututnya yang lelah,
memandang tanah kelahirannya yang kian retak.
Tangannya gemetar mengusap pipi,
air mata jatuh setetes demi setetes,
membasahi bumi yang dulu subur,
kini menjadi padang kesedihan.
Lirih, hampir seperti doa yang putus di angin,
ia bertanya kepada langit yang mulai gelap:
“Mengapa anak-anakku kini bertarung melawan lapar
di tanah bumiku yang penuh berkah?”
Dulu, tanah ini surga:
padi menari di atas hamparan sawah yang menguning,
minyak mengalir jernih dari rahim bumi,
ikan berlompatan dari lautan biru yang ramah.
Namun kini,
ladang-ladang dipagari kawat keserakahan,
beras menipis di timbangan yang dikhianati,
minyak diperas habis demi menumpuk kekayaan,
dan laut, lautpun dijual bagai barang murah
kepada tangan-tangan asing yang (2)
tak mengenal air mata ibu pertiwi.
Rakyat kecil?
Mereka menadah sisa rezeki yang terbuang,
mengunyah remah keadilan yang tak pernah utuh,
berjalan melingkar dalam labirin kemiskinan,
tanpa pintu keluar, tanpa cahaya,
hanya bayang-bayang kepedihan yang makin memanjang.
Ibu Pertiwi menengadahkan wajah ke cakrawala yang kelam,
dadanya sesak oleh nestapa:
“Inikah negeri yang dulu kujaga dengan nyawa,
cinta dengan sepenuh jiwa?”
Angin berembus,
bukan membawa harum bunga,
melainkan aroma busuk dari pesta korupsi, (2)
yang menggembungkan perut para penguasa,
sementara rakyatnya mengerutkan perut karena lapar.
Korupsi, laksana wabah,
menggerogoti tiang-tiang harapan,
merobohkan iman,
menghancurkan masa depan.
—000—
Tak jauh dari sana,
Pabrik yang dulu menopang ekonomi rakyat,
satu per satu runtuh menggulung nasib para buruh.
Ribuan pekerja kehilangan pijakan,
mimpi-mimpi mereka dihanyutkan arus PHK, (3)
seketika mereka menjadi pengangguran.
Lagi dan lagi kemiskinan bertambah.
“Apa yang tersisa dari Negeri?”
Ibu Pertiwi menangis,
berharap anak bangsa menyeka air matanya.
Tapi nyatanya,
mereka pun memilih pergi,
menjadi buruh di negeri orang,
demi menyambung kehidupan.
Mereka bukan tak cinta Ibu Pertiwi,
mereka terpaksa pergi,
menyeberangi samudra mengejar harapan,
karena di tanah ini,
cita-cita mereka dikubur oleh ketidakpastian.
Ibu Pertiwi terdiam,
lututnya gemetar memeluk tanah yang retak,
suaranya patah,
tak lagi tahu harus berharap pada siapa.
“Anak-anakku telah menjual tubuhku demi perutnya sendiri,
para pemimpin membungkamku dengan topeng janji,
dan aku, aku hanya tinggal reruntuhan.”
Di tengah malam yang bisu,
Ibu Pertiwi bertanya pada dirinya sendiri:
“Masih layakkah aku mencintai negeri ini?
Atau biarkan saja aku hancur,
agar mereka membangun dari puing yang mereka lahirkan sendiri?”
Tak ada jawaban.
Hanya tanah yang makin kering,
dan langit yang menolak menangis lagi.
Ibu Pertiwi memeluk kehampaannya,
menunggu entah apa
mungkin kehancuran total,
mungkin keajaiban,
atau mungkin…
tak lagi berharap apa-apa.
—000—
Catatan:
(1)https://rilpolitik.com/tak-hanya-gersik-putih-sumenep-selat-madura-bahkan-diduga-sudah-dijual-ke-asing/
(2) Korupsi di Indonesia telah merambah ke berbagai sektor, menyebabkan kerugian negara triliunan rupiah dan memperlebar jurang ketimpangan sosial. (Sumber: Transparency International, Indeks Persepsi Korupsi)
(3) Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal meningkat dalam beberapa tahun terakhir akibat resesi global, digitalisasi, serta lemahnya daya saing industri lokal. (Sumber: Badan Pusat Statistik Indonesia)