Oleh: Ririe Aiko
DI NEGARA ini, kesenjangan sosial-ekonomi masih menjadi tantangan besar, terutama bagi anak-anak yang lahir dari keluarga miskin. Mereka menjalani masa tumbuh kembang dalam keterbatasan—terbatasnya akses pendidikan berkualitas, minimnya fasilitas kesehatan, serta tekanan ekonomi yang memaksa mereka terlibat dalam pekerjaan sejak usia dini. Dalam kondisi seperti itu, mimpi untuk meraih pendidikan tinggi atau pekerjaan formal dengan penghasilan stabil menjadi sangat sulit diwujudkan.
Mobilitas sosial vertikal di kalangan masyarakat berpenghasilan rendah berjalan lambat. Hambatan struktural yang ada—seperti distribusi sumber daya yang tidak merata, seleksi kerja yang berpihak pada koneksi, serta mahalnya biaya pendidikan dan pelatihan—membuat peluang untuk naik kelas sosial menjadi tidak seimbang. Anak-anak dari keluarga miskin kerap kali tumbuh dengan realitas bahwa pencapaian hidup tidak hanya bergantung pada kemampuan, tetapi juga pada akses yang tidak semua orang miliki sejak lahir.
Kemiskinan dalam konteks ini bukan hanya soal kurangnya penghasilan, tetapi juga soal keterbatasan kesempatan. Sistem sosial dan ekonomi yang berlaku membentuk semacam pola yang berulang—di mana mereka yang lahir dalam keluarga tidak mampu akan cenderung hidup dalam situasi yang sama ketika dewasa. Akses terhadap pekerjaan yang layak semakin terbatas, sementara lapangan kerja informal yang tidak memberikan jaminan sosial justru menjadi satu-satunya pilihan bagi sebagian besar masyarakat miskin.
Dalam dunia kerja, posisi-posisi strategis sering kali diperoleh melalui relasi, bukan kualifikasi semata. Praktik bagi-bagi kursi jabatan kepada kolega atau lingkaran terdekat masih terjadi, baik di sektor pemerintahan maupun swasta. Situasi ini menempatkan masyarakat miskin dalam posisi yang semakin terpinggirkan—karena mereka bukan bagian dari lingkaran, tidak punya akses ke jaringan, dan tidak memiliki modal sosial yang bisa dijadikan penopang mobilitas karier.
Sementara itu, di sisi yang lain, masyarakat miskin justru dikenal sebagai kelompok yang bekerja paling keras. Mereka bangun lebih pagi, menempuh perjalanan lebih jauh, dan pulang lebih malam hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar. Namun kerja keras tersebut tidak selalu diikuti dengan peningkatan kesejahteraan. Pekerjaan kasar dan upah harian sering kali tidak cukup untuk menyisihkan dana pendidikan bagi anak-anak mereka, apalagi untuk investasi jangka panjang yang bisa memutus rantai kemiskinan.
Akibatnya, generasi berikutnya pun sering kali mewarisi nasib yang serupa. Anak-anak dari keluarga miskin belajar lebih awal tentang keterbatasan. Mereka tahu bahwa banyak hal tidak bisa dicapai hanya dengan semangat dan kerja keras. Kesadaran itu muncul dari pengalaman melihat orang tua yang sudah bekerja sekuat tenaga, namun tetap hidup dalam kesulitan. Mimpi menjadi dokter, arsitek, atau pejabat publik akhirnya dianggap terlalu jauh. Tidak sedikit dari mereka yang bahkan harus menyesuaikan mimpi sejak kecil karena keadaan yang terus menekan.
Dalam banyak kasus, kemiskinan di Indonesia tidak hanya berlangsung secara ekonomi, tetapi juga terstruktur secara sosial. Ia menyusup dalam kebijakan yang tidak berpihak, dalam sistem birokrasi yang tidak inklusif, dan dalam budaya yang menormalisasi ketimpangan. Anak-anak dari keluarga miskin tidak diberi ruang yang cukup untuk bersaing secara adil. Bagi mereka, peluang untuk sukses tidak lebih dari satu banding sepuluh—dan angka itu pun sering kali bukan karena kurangnya usaha, tetapi karena sistem yang tidak menyediakan jalur yang sama untuk semua. (*)