Oleh: Rizal Tanjung


SETIAP tahun, dalam berbagai kesempatan resmi, penjabat pemerintah Sumatera Barat dan jajaran pejabat pemerintah daerah naik ke podium dengan semangat membara untuk menyerukan pentingnya kebudayaan. “Hidup kebudayaan!” teriak mereka, seakan menjadi mantra sakti yang mampu menggugah semangat masyarakat.

Dalam pidato-pidato penuh semangat itu, mereka menegaskan bahwa kebudayaan harus ditingkatkan, dirawat dan dilestarikan. Namun di balik gemuruh tepuk tangan dan rangkaian kalimat manis tersebut, berdirilah sebuah ironi yang mencolok—bangkai Gedung Kebudayaan Sumatera Barat yang tak pernah terselesaikan.

Gedung yang seharusnya menjadi simbol kemajuan peradaban dan rumah ekspresi seni budaya Minangkabau itu kini tak lebih dari reruntuhan bisu.

Sebuah bangunan mangkrak, menjadi monumen dari janji-janji kosong, mencakar langit dengan tiang-tiang beton tak berujung dan tembok yang mengelupas. Di antara retakan itu, terselip luka para seniman yang telah lama menggantungkan harapan akan ruang yang layak untuk berkarya dan berdialog.

Jejak Sejarah dan Harapan yang Pudar

Rencana pembangunan Gedung Kebudayaan Sumatera Barat pertama kali disampaikan dengan penuh keyakinan lebih dari satu dekade lalu. Dalam berbagai pertemuan dan forum kebudayaan, pemerintah menjanjikan sebuah pusat kegiatan budaya modern, lengkap dengan panggung teater, galeri seni, ruang latihan, dan fasilitas penunjang lainnya. Anggaran pun telah beberapa kali dialokasikan, namun progres fisik gedung itu tetap menyedihkan.

Seiring waktu, bangunan itu tidak berkembang menjadi tempat pertunjukan megah, melainkan menjadi tempat bersarangnya semak belukar, ilalang, dan kekecewaan. Seniman, budayawan, dan pegiat seni pun tak bisa lagi menyembunyikan rasa getir. Banyak dari mereka yang pernah tampil di pentas-pentas internasional, kini bahkan tak memiliki panggung lokal yang layak.

Ironis, ketika Sumatera Barat dikenal dengan kekayaan budaya dan tradisi lisan yang mendunia seperti randai, saluang, dan dendang, namun ruang untuk mengekspresikannya justru ditelantarkan.

Pidato yang Bergaung Kosong

Retorika pemerintah terus berlangsung. Setiap momen Hari Kebudayaan, Hari Jadi Provinsi, hingga peringatan nasional lainnya, para pejabat terus mengulang narasi tentang pentingnya melestarikan budaya.

Mereka mengutip pepatah adat, menyisipkan filosofi Minangkabau dan menyampaikan pernyataan yang tampak seolah mendalam. Tapi satu hal yang selalu absen dari pembicaraan itu adalah tindakan nyata terhadap pembangunan Gedung Kebudayaan.

Tak ada kejelasan yang transparan mengenai apa yang sebenarnya menghambat penyelesaian proyek ini. Apakah kendala anggaran, masalah hukum, atau ketidakseriusan politik? Di tengah ketidakpastian ini, masyarakat hanya menerima serangkaian wacana yang datang dan pergi seperti musim.

Para pejabat datang silih berganti. Setiap yang menjabat menjanjikan bahwa ia akan menjadi pemimpin yang membawa perubahan. Tapi pada akhirnya, yang tersisa hanya sisa-sisa beton dan besi berkarat. Bahkan saat penjabat pemerintah menyampaikan komitmennya terhadap pengembangan seni dan budaya, para seniman hanya bisa mengangguk pahit, menyadari bahwa gedung impian mereka tetap jadi mimpi yang ditinggalkan.

Luka di Hati Seniman

Di balik puing-puing itu, tersembunyi kisah-kisah memilukan. Banyak seniman teater yang harus berlatih di rumah-rumah kecil, aula sekolah, atau bahkan halaman terbuka. 

Para penari tradisional muda tidak punya ruang cermin dan akustik yang layak. 

Pengrajin dan pelukis lokal tidak memiliki tempat permanen untuk memamerkan karya mereka. Sumatera Barat seolah menjadi tanah yang subur akan budaya, namun tandus dalam menyediakan lahan tumbuh bagi para pelaku seni.

Lebih dari sekadar bangunan, Gedung Kebudayaan adalah simbol penghargaan terhadap warisan intelektual dan estetika masyarakat. Ketika bangunan itu tak kunjung diselesaikan, itu bukan hanya kegagalan proyek fisik, tapi juga kegagalan moral dan spiritual pemerintah terhadap komunitas kreatifnya sendiri.

Seruan untuk Kesadaran Baru

Kini, masyarakat kebudayaan Sumatera Barat tak lagi meminta janji. Mereka menuntut akuntabilitas. Mereka menginginkan transparansi terhadap nasib bangunan itu dan keterlibatan aktif dari semua pihak untuk menyelesaikannya. Gedung itu tak perlu lagi dibangun sebagai mercusuar megah yang hanya indah di atas kertas, tapi sebagai ruang nyata yang hidup, inklusif, dan mampu menampung semangat kreatif anak negeri.

Sudah saatnya pemerintah berhenti bersandar pada retorika dan mulai bekerja dengan keberpihakan yang jujur. Sudah saatnya pidato-pidato itu menjelma menjadi tindakan yang terasa, bukan hanya terdengar. Dan yang paling penting, sudah saatnya Gedung Kebudayaan Sumatera Barat tidak lagi menjadi puing luka, tapi menjadi batu penjuru kebangkitan budaya Minangkabau di abad ini. (*)


Padang, 2025 




Next
This is the most recent post.
Previous
Posting Lama
 
Top