Catatan Paradoks; Wayan Suyadnya


HARI ini, 20 Mei 2025. Kalender mencatatnya sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Pertanyaan dasarnya menggantung di udara, menatap kita dari balik cermin: Sudahkah kita bangkit?

Bangkit dari apa? Dari tidur panjang sejarah, dari kursi malas ketidakpedulian, dari jurang keterpurukan yang dipoles harapan palsu?

Bangkit…

Apakah kita sungguh tertidur, dibuai mimpi manis kemerdekaan dan pembangunan, hingga lupa bahwa mimpi itu bukanlah kenyataan?

Apakah kita duduk terlalu nyaman di sofa kebiasaan, menonton dunia berjalan sambil kita tetap diam?

Ataukah baru sekarang kita sadar, bahwa kemerosotan itu nyata, bahwa kita harus meretas jalan, menerobos penghalang?

Dulu, kebangkitan bermakna perlawanan: melawan penjajahan, mengusir kekuasaan asing dari tubuh bangsa.

20 Mei dikenang sebagai tanggal sakral kesadaran kolektif—hari ketika sekelompok anak bangsa berkata: cukup sudah tunduk, saatnya bangkit.

Sekarang? Tak ada penjajah dalam bentuk lama. Tapi bukankah penindasan juga bisa berwujud modern—penjajahan oleh kemalasan, oleh sistem yang timpang, oleh mentalitas instan, oleh kecanduan kenyamanan?

Apakah kita masih butuh momentum untuk bangkit? Bukankah seharusnya kebangkitan menjadi sikap, bukan upacara tahunan?

Kita telah merdeka, tapi merdeka bukan akhir, ia adalah awal. Dan seperti buku kosong, kemerdekaan hanya berarti bila kita menuliskannya dengan tindakan. Sudahkah kita menuliskannya?

Mari sejenak menunduk ke tanah kelahiran, ke Bali—pulau para dewa yang ditopang oleh pariwisata.

Ketika pandemi COVID-19 menyapu dunia, Bali tak hanya diserang oleh virus, tapi dihantam oleh sunyinya kedatangan.

Bandara lengang, hotel kosong, pasar tradisional berteriak dalam diam. Lapar menjadi lawan yang lebih nyata daripada demam dan batuk.

Maka, kebangkitan di Bali bukan hanya soal bertahan hidup dari virus, tapi menemukan cara hidup baru saat tamu tak datang, ini jauh lebih subtansif bagi Bali.

Di Bali, menjaga keamanan bukan sekadar menutup pagar dari maling, tapi memastikan wisatawan merasa aman melangkah di trotoar, nyaman duduk di warung, damai dalam tidur di vila. Merekonstruksi keamanan model ini jauh lebih penting dari sekadar pasang CCTV.

Membersihkan sampah bukan sekadar bersih-bersih, tapi mencipta ruang yang mengundang, yang menggoda wisatawan datang, tinggal, dan datang kembali.

Bali tak hanya sekadar membutuhkan bersih tanpa sampah, melainkan jauh dari itu, Bali pulau yang tenget, sakral, bersih dan suci. Kalau hanya bersih dari sampah, setiap hari sebelum maturan pasti bersih-bersih, tapi tidak hanya itu yang dicari.

Kebangkitan di Bali adalah berpikir jernih di tengah kabut keraguan. Adalah mencintai tanah ini bukan karena indahnya, tapi karena kita harus merawatnya.

Kebangkitan adalah cara kita bertahan tanpa tamu, lalu bangkit bukan untuk kembali ke keadaan semula, tapi menjadi lebih dari sebelumnya.

Dunia memang paradoks. Kita bebas tapi terbelenggu. Kita merdeka tapi sering lupa bersyukur. Kita hidup, tapi tak selalu sungguh-sungguh hidup.

Hari ini, 20 Mei 2025. Kebangkitan bukan slogan. Ia adalah pilihan. Ia adalah keberanian untuk bangun, membuka mata, dan berjalan meski tertatih.

Sudahkah kita bangkit? Atau masih betah dalam mimpi? (*)


Denpasar, 20 Mei 2025 




 
Top