Rosadi Jamani

- Ketua Satupena Kalbar


LIGA Korupsi Indonesia mencuat lagi. Sebelumnya, sempat angka korupsi menyentuh kuadriliun, lalu turun ke triliun, lalu ke miliar. Yang miliar biasanya, bagian KPK. Nah, yang triliunan, jatah Kejagung yang kantornya dijaga TNI. Terbaru, klasemen liga korupsi naik lagi ke angka triliun. Para staf khusus menteri yang dulu bergelimang proyek kakap mulai diincar. Bahkan, sang big bos (menteri) bisa ikut diseret. 

Sambil seruput kopi tubruk tanpa gula di Jalan Nusa Indah 1 Pontianak, mari kita telusuri liga korupsi terbaru dengan angka triliunan.

Chromebook. Laptop suci berjubah Chrome OS, diimpor dengan dalih digitalisasi pendidikan, tapi lebih mirip dijadikan sarana digitalisasi dosa. Proyek Rp 9,9 triliun ini sungguh sebuah paradoks. Di satu sisi katanya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, di sisi lain malah mencerdaskan rekening pribadi.

Mari kita renungkan secara filsafat ini, jika hukum adalah panglima, kenapa korupsi selalu jadi jenderal bintang lima? Jika keadilan adalah dewi bermata tertutup, mungkinkah ia pakai kacamata hitam karena silau melihat uang negara disulap jadi saldo e-wallet pejabat?

Kisah dimulai dengan penggeledahan dua apartemen mewah, Kuningan Place dan Ciputra World 2. Apertemen ini sebagai pengingat. Meskipun seseorang sudah pensiun, dosa anggaran tidak ikut pensiun. Mantan stafsus Nadiem Makarin, yakni FH dan JT, kini jadi bintang tamu dalam opera sabun hukum Indonesia. Barang bukti yang disita? Laptop, harddisk, flashdisk, dan 15 buku agenda. Coba bayangkan, 15 buku agenda! Bahkan Nostradamus pun tak serajin itu mencatat.

Ini bukan hanya soal Chromebook, ini soal “Korup-book” buku besar transaksi yang tidak dicatat dalam APBN, tapi bisa bikin negara amnesia anggaran.

Di negeri antah-berantah bernama Republik Logika Terbalik, pensiunan pejabat boleh tidur di spring bed empuk, tapi Kejagung hadir sebagai pengusik mimpi indah. Disokong TNI, mereka tak datang membawa bunga, tapi membawa surat penggeledahan dan niat suci memberantas bajingan berdasi.

Filsafat hukum kontemporer pun berubah, dari fiat justitia ruat caelum (tegakkan keadilan walau langit runtuh) jadi fiat penyidikan ruat apartemen (geledah terus walau tetangga protes).

Apa masalahnya? Ada Rp 9,9 triliun untuk Chromebook. Padahal uji coba 2019 sudah jelas bilang, perangkat ini tidak cocok karena ketergantungan pada internet. Tapi apa daya, suara nurani kalah oleh suara rekening. Dikatakan ada “pemufakatan jahat” istilah hukum yang begitu sopan untuk menyebut “komplotan maling bersertifikat”.

Filsuf hukum macam Hans Kelsen mungkin akan menangis kalau melihat norma hukum diperlakukan seperti WiFi publik, bisa diakses semua orang, tapi disalahgunakan oknum-oknum dengan sinyal batin yang sangat lemah.

Belum ada tersangka, tapi aroma kopi panas di Kejagung sudah menggoda banyak pihak yang sedang keringat dingin. Bahkan nama mantan Mendikbudristek, Nadiem Makarim, mulai masuk radar penyidik. Sebuah momen refleksi bagi semua mantan pejabat, pensiun itu hak, tapi pelacakan jejak anggaran adalah takdir.

Ingat, negara kita mungkin tidak selalu adil, tapi kadang-kadang dendamnya luar biasa teliti. Apalagi kalau sudah disponsori rakyat muak, yang saking muaknya bisa sampai muak² (dibaca: muak kuadrat).

Akhir kata, hukum itu suci, tapi harus pakai rompi oranye untuk membersihkannya. Jika hukum mengajarkan tentang keadilan sebagai nilai tertinggi, maka kasus Chromebook ini adalah peringatan keras, jangan sampai keadilan hanya jadi topik seminar dan bukan topik utama berita malam.

Karena sesungguhnya, di negara +62, kita tidak kekurangan hukum, kita hanya kekurangan niat. Untuk koruptor yang hobi menghisap anggaran pendidikan, semoga sisa hidup ente lebih lama di pengadilan dari di pantai Bali.

Hormat kami, rakyat yang sudah muak, tapi tetap bayar pajak. (*)


#Camanewak




 
Top