Rosadi Jamani

Ketua Satupena Kalbar


HARI Pendidikan Nasional kembali datang. Seperti biasa, kita semua mendadak jadi cerdas, nasionalis, dan bijak bestari. Ya, minimal di caption Instagram. Upacara dilaksanakan, pidato disampaikan, dan hashtag #MerdekaBelajar kembali digaungkan. Padahal, di lapangan, yang merdeka itu justru kebingungan. Pendidikan kita hari ini adalah perpaduan ajaib antara niat baik, kebijakan aneh, dan realitas pahit yang dibalut jargon motivasional.

Mari kita rayakan dulu ketimpangan sebagai warisan budaya bangsa. Di Jakarta, anak-anak sudah belajar AI, coding, dan bahasa Inggris dengan guru yang lulusan luar negeri. Di Papua Pegunungan, anak-anak belajar membaca huruf dari papan tulis yang sudah setengah dikerat waktu. Rata-rata lama sekolah di sana hanya 5,1 tahun. Itu pun sudah hebat, karena untuk sampai ke sekolah saja, mereka harus mendaki bukit, menyeberangi sungai, dan bernegosiasi dengan kambing liar. Sementara di kota besar, sekolah lengkap dengan AC, CCTV, dan kantin menjual minuman boba. Semua tampak adil, setidaknya menurut mereka yang duduk di kursi empuk ber-AC sambil memegang pointer dan presentasi PowerPoint berjudul “Pendidikan Inklusif”.

Soal literasi, kita juga unggul. Anak-anak kita bisa bikin caption viral, komen nyinyir, bahkan debat di kolom komentar pakai teori yang entah dari mana. Tapi saat disodorkan satu paragraf bacaan dari buku pelajaran, matanya kosong, pikirannya jalan-jalan. Banyak siswa kesulitan membaca, menulis, apalagi memahami. Tapi tenang, kementerian rajin menyelenggarakan lomba menulis puisi dan pidato tema “Cinta Tanah Air” yang syaratnya adalah hafalan, bukan pemahaman. Literasi? Nanti dulu. Yang penting ada dokumentasi kegiatan.

Sementara itu, dana BOS yang katanya disalurkan demi pendidikan merata lebih sering nyasar ke tempat-tempat yang tidak butuh. Bahkan dalam beberapa kasus, dana BOS disalahgunakan. Mungkin karena terlalu banyak uang, sampai bingung mau dipakai buat apa. Guru honorer masih terima gaji setara uang parkir satu bulan, tapi laporan keuangan sekolah selalu rapi. Dana pembelian proyektor cair, tapi barangnya tidak pernah muncul. Seolah-olah uangnya berubah menjadi ilmu telepati, tidak terlihat tapi dipercaya ada.

Bicara soal biaya pendidikan, hari ini pendidikan tinggi adalah mimpi yang harus ditebus dengan utang. UKT naik terus, dengan alasan inflasi, pengembangan kampus, atau kadang cuma “penyesuaian”. Mahasiswa yang kritis disuruh memahami kondisi, yang protes dianggap tidak bersyukur, dan yang diam dapat bonus semester tambahan karena skripsinya tak kunjung selesai akibat dosen pembimbing yang sibuk pelatihan ke luar negeri, penelitian ini dan itu. Pendidikan tinggi kini bukan lagi hak, tapi privilese.

Sekolah rusak? Banyak. Lebih dari 60% ruang kelas SD mengalami kerusakan ringan hingga sedang. Tapi jangan khawatir, karena selama atap belum ambruk saat pelajaran, dianggap masih bisa dipakai. Kadang murid belajar sambil memegang ember, menampung air hujan yang bocor dari langit-langit. Tapi itu kan pengalaman hidup, bagian dari kurikulum tersembunyi bernama “adaptasi ekstrem”.

Jangan lupakan kurikulum. Kita sudah ganti kurikulum lebih sering dari ganti kalender dinding. Setiap menteri datang dengan semangat dan nama kurikulum baru. Guru dipaksa belajar ulang, siswa jadi kelinci percobaan, orang tua bingung, dan dunia usaha hanya tertawa sambil berkata, “Lulusan ini kita latih lagi dari nol ya, Bu.” Pendidikan kita ibarat sinetron panjang, plot-nya berputar-putar, aktornya gonta-ganti, tapi ending-nya tak pernah sampai.

Namun di balik semua absurditas ini, masih ada guru-guru hebat, murid-murid gigih, dan orang tua yang percaya bahwa pendidikan bisa menyelamatkan masa depan. Mereka adalah pahlawan tanpa panggung. Di Hari Pendidikan Nasional ini, mari kita kirim doa, semoga tahun depan kita tidak hanya upacara dan berpuisi, tapi benar-benar belajar. Bukan hanya untuk dapat nilai, tapi untuk hidup yang lebih waras. (*)


#camanewak




 
Top