Oleh ReO Fiksiwan | Sastrawan
“Kekayaan yang memperbudak diri bukanlah kekayaan, melainkan beban; kekayaan sejati adalah kekayaan yang memperkuat diri.” — Muhammad Iqbal (187-1938), Asrar-e-Khudi (The Secrets of the Self,1951; Bulan Bintang (1976).
KEMEWAHAN ataupun kekayaan bukan sekadar angka, melainkan cermin jiwa yang sedang diuji di tengah kilau gemerlap dan kencana kehidupan.
Di tengah limpahan harta, Asrar Khudi (Rahasia Diri) menuntut kita bertanya: siapa aku di balik semua ini?
Dalam era digital yang melaju tanpa jeda, manusia dipaksa berhadapan dengan wajah dirinya yang dipoles algoritma.
Ruang privat dan publik melebur dalam parade citra, di mana kemewahan bukan lagi sekadar milik, melainkan tontonan.
Flexing virtual menjadi ritual harian, dan jiwa yang tampil di layar bukan lagi jiwa yang utuh, melainkan fragmen yang dikemas dalam fantasmogaria—sebuah istilah dari mahzab kritis untuk menggambarkan ilusi jiwa yang mengambang antara fakta dan fantasi.
Akan tetapi, di lalu lintas performans realitas ini, muncul figur seperti Denny Januar Ali PhD., figur publik l, Komisaris Utama PT Pertamina Hulu Energi (PHE), yang melaporkan kekayaan sebesar Rp3,09 triliun kepada KPK sesuai amanat Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 dan Keputusan KPK Nomor KEP.07/KPK/02/2005.
Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan simbol dari sebuah anugrah yang menuntut refleksi spiritual yang luas, seduktif dan menantang.
Sebab, dalam sejarah teologi kekayaan, kita mengenal Qorun yang tenggelam dalam harta, Ratu Bilqis yang tunduk pada kebijaksanaan, dan para bangsawan Babilonia yang membangun menara demi keabadian.
Kekayaan, dalam narasi kitab suci, bukanlah dosa, melainkan ujian. Ujian dalam arti hakiki: fitnah maupun gunjingan mengandung racun.
Muhammad Iqbal, filsuf dan penyair asal Pakistan, dalam Asrar Khudi mengajarkan bahwa hakikat diri (khudi) adalah kekuatan kreatif yang harus menemukan bentuknya dalam dunia nyata.
Khudi (diri) dalam segala seluk-beluk potensi baik-buruknya, menurut Iqbal: “Kuatkanlah Khudi-mu, sehingga sebelum setiap ketetapan, Tuhan akan bertanya kepadamu: Apa keinginanmu?”
Kekayaan, jika tidak menjadi medium aktualisasi khudi, akan menjadi candu yang memuai dan sakao—seperti sabu-sabu yang menghapus batas antara realitas dan ilusi.
Erich Fromm (1900-1980), dalam Man for Himself: An Inquiry into the Psychology of Ethics (1947; IRCiDSoD 2020), menegaskan bahwa manusia yang sehat secara spiritual adalah mereka yang mampu memilih menjadi, bukan sekadar memiliki.
Dengan kata lain, kekayaan bukanlah tujuan, melainkan alat untuk menjadi lebih manusiawi. Di titik ini, kita bertanya: apakah kemewahan adalah kodrat atau jebakan?
Jika ia kodrat, maka ia harus diolah menjadi tanggung jawab eksistensial. Jika ia jebakan, maka ia akan menjerumuskan jiwa ke dalam psiko pseudo spiritual yang menggoda namun kosong.
Dunia virtual mempercepat proses ini, menjadikan kekayaan sebagai performa, bukan makna. Karena itu, Fromm juga mengkritik masyarakat modern yang mendorong manusia menjadi homo consumens: manusia yang hanya menerima dan mengonsumsi, bukan mencipta.
Dalam konteks kekayaan dan kemewahan, karakter non-produktif (receptive) ini bisa menjadikan harta sebagai pelarian dari kekosongan batin, bukan sebagai alat aktualisasi diri.
Maka, menemukan Asrar Khudi di tengah kemewahan adalah menemukan kembali pusat jiwa yang tak tergoyahkan oleh angka dan citra.
Kekayaan Denny JA (62), sebagaimana diumumkan secara terbuka sebagai LHKPN menjadi titik tolak untuk merenungkan ulang fungsi filosofis dari anugrah materi.
Apakah ia menjadi jalan menuju khudi yang aktif dan kreatif, atau justru menjadi tirai yang menutupi wajah sejati jiwa?
Dalam dunia yang semakin memuja kemasan, pertanyaan ini menjadi lebih penting dari sebelumnya. Sebab, di balik setiap triliun, ada jiwa yang sedang diuji. (*)
#coverlagu: Lagu “Money (That’s What I Want)” versi Cheryl Koh (29) dirilis pada 10 Agustus 2018 sebagai bagian dari soundtrack film Crazy Rich Asians.
Lagunya menyoroti hasrat akan kekayaan sebagai sumber kebahagiaan dan kekuatan dalam dunia yang glamor.
Selain itu, lagu ini merupakan cover dari lagu klasik Motown yang ditulis oleh Berry Gordy (95) dan Janie Bradford (86).
Cheryl K membawakan versi yang energik dan penuh semangat, digunakan sebagai pembuka film Crazy Rich Asians untuk menegaskan tema utama: kemewahan, status sosial, dan obsesi terhadap uang dalam masyarakat elit Asia modern.

