Kuldip Singh | Aktivis 1998 dan Senator Prodem
BERITA pembantaian massal oleh Rapid Support Forces (RSF) di Sudan kembali mengguncang dunia. Ribuan warga sipil menjadi korban dari perang kekuasaan dua jenderal yang saling menuding dan saling menembak. RSF, yang dibentuk pemerintah Sudan pada 2013 untuk memerangi pemberontakan, kini menjelma menjadi kekuatan militer otonom yang menantang negara itu sendiri.
Anggotanya sebagian besar berasal dari milisi Janjaweed—kelompok yang pernah menebar teror di Darfur pada awal 2000-an. Mereka dulu dipelihara untuk menumpas pemberontak, tetapi kini berbalik menjadi penguasa senjata dan tambang emas.
Namun, persoalan Sudan bukan sekadar soal asal-usul RSF. Ini cermin dari negara yang kehilangan kendali atas kekerasan dan kedaulatannya. Para jenderalnya berebut kekuasaan, tentaranya berebut sumber daya alam, sementara rakyat menjadi korban dari ambisi dan persekongkolan antara militer dan bisnis.
Kondisi seperti ini bukan hanya milik Sudan. Banyak negara di Afrika—dan bahkan di luar Afrika—mengalami gejala serupa: militer yang terpikat pada politik, bisnis, dan tambang, serta elite yang lebih sibuk mempertahankan privilese daripada membangun negara. Di belakang layar, kekuatan asing ikut bermain, menawarkan senjata, logistik, dan dukungan politik demi akses terhadap sumber daya strategis.
Ketika kekuasaan politik diperdagangkan dan kekuatan militer dijadikan alat tawar-menawar, republik kehilangan maknanya. Negara hanya menjadi bendera yang berkibar di antara reruntuhan moral dan kemanusiaan.
Tragedi Sudan memberi peringatan keras bagi republik mana pun: negara bisa hancur bukan karena invasi asing, tetapi karena kebutaan elite terhadap akar rakyatnya sendiri. Ketika demokrasi disingkirkan, ketika lembaga sipil dilemahkan, dan ketika rakyat hanya dijadikan objek pembangunan—maka republik perlahan kehilangan jiwa.
RSF lahir bukan dari ruang kosong. Ia lahir dari kemiskinan yang dibiarkan, dari ketimpangan yang terus melebar, dari politik kekuasaan yang menumbuhkan milisi untuk menjaga kepentingan sesaat. Dan seperti api yang membakar rumah sendiri, kekerasan yang dulu dipelihara kini menelan negara yang melahirkanya.
Dari tragedi Sudan, kita belajar bahwa demokrasi, meski sering lamban dan melelahkan, tetap satu-satunya sistem yang memberi ruang koreksi. Demokrasi sejati bukan sekadar pemilu lima tahunan, melainkan sistem berjenjang yang hidup dari bawah—dari unit-unit masyarakat yang representatif dan partisipatif.
Dalam sistem semacam itu, republik tidak mudah runtuh karena kekuasaan tersebar, tidak dimonopoli oleh satu kelompok, satu seragam, atau satu partai. Demokrasi memungkinkan rakyat menjadi subjek yang sadar, bukan korban yang pasrah.
Ya, demokrasi sering menimbulkan kekacauan kecil. Tetapi dibanding kekacauan besar yang lahir dari kudeta, perang saudara, dan politik militeristik, demokrasi tetap jauh lebih manusiawi dan lebih layak dipertahankan.
Tragedi Sudan adalah potret ekstrem dari apa yang terjadi bila republik kehilangan akal sehat dan kendali moralnya.
Kita di Indonesia, yang hidup di bawah panji Republik dan Pancasila, mesti belajar dari sana—bahwa kekuasaan tanpa kendali rakyat, tanpa akar demokrasi yang sejati, selalu berakhir pada kehancuran.
Sebab, ketika negara memperdagangkan kekerasan, maka kekerasanlah yang pada akhirnya memperdagangkan negara. (*)
Referensi:
Al Jazeera – “A true genocide: RSF kills at least 1,500 people in Sudan’s El Fasher” (29 Oktober 2025) https://www.aljazeera.com/news/2025/10/29/horrific-violations-arab-nations-slam-rsf-killings-in-sudans-el-fasher
The Guardian – “‘They killed civilians in their beds’: chaos and brutality reign after fall of El Fasher” (30 Oktober 2025) https://www.theguardian.com/global-development/2025/oct/30/they-killed-civilians-in-their-beds-chaos-and-brutality-reign-after-fall-of-el-fasher
Amnesty International – “Sudan: RSF must end attacks and further suffering of civilians in El Fasher” (28 Oktober 2025) https://www.amnesty.org/en/latest/news/2025/10/sudan-el-fasher
Sindonews – “Siapa Itu RSF, Kelompok Bengis yang Bantai Massal Warga Sipil Sudan?” (3 November 2025) https://international.sindonews.com/read/1639385/44/siapa-itu-rsf-kelompok-bengis-yang-bantai-massal-warga-sipil-sudan-1762049491

