Catatan Satire Rizal Pandiya | Pegiat Literasi
- Sekretaris Satupena Lampung
PERNYATAAN Joko Widodo soal Whoosh, proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung, sebagai investasi sosial bikin publik terhenyak. Sebagian bingung, tetapi banyak juga yang tertawa, sedangkan lainnya barangkali lagi membuka kamus untuk mencari definisi “investasi sosial” sembari menatap saldo ATM yang mulai cekak.
Menurut bekas presiden itu, proyek yang menghabiskan dana lebih dari Rp100 triliun tersebut, bukan mencari keuntungan, melainkan untuk mengurangi polusi, meningkatkan produktivitas, dan yang lebih penting menekan emisi karbon. Sepertinya ini sebuah konsep yang indah di telinga, walaupun suara berisik kereta cepat belum tentu dapat menenangkan hati masyarakat, yang antre panjang untuk mendapatkan pertalite bersubsidi di SPBU.
Seorang anak muda Dipo Satria Ramli tampaknya tak tahan untuk angkat suara. Dengan gaya khas ekonom yang sering meneliti keuangan negara, ia menyebut bahwa pernyataan Jokowi itu hanya “akal-akalan” belaka. Kalimat ini sontak viral di media sosial, terutama di kalangan masyarakat yang mulai merasakan logika kebijakan presiden selama ini sering ngawur.
Membungkus kerugian besar dengan dalih investasi sosial, menurut Dipo, adalah sebuah kebohongan publik yang dilakukan dengan kecepatan tinggi, melebihi kecepatan Whoosh itu sendiri. “Lah, yang bayar bunga utangnya rakyat, tapi yang menikmati hasilnya pejabat dan kroninya,” ujarnya.
Memang terdengarnya, istilah investasi sosial itu keren. Sepertinya setiap kerugian negara dapat berubah menjadi amal kebangsaan. Jika logika ini diteruskan, maka bisa saja nanti korupsi disebut sebagai subsidi pribadi untuk masa depan keluarga koruptor.
Tetapi anehnya, Jokowi tetap meyakini bahwa Whoosh akan membawa manfaat sosial. Ia mengatakan produktivitas masyarakat bisa lebih meningkat karena tidak lagi merasakan bermacet-macetan. Tentu saja pernyataan ini menggugah rakyat kecil sebagaimana ketika mereka mendengar kabar adanya mobil nasional Esemka.
Tapi, rakyat perlu juga berterima kasih. Karena dari proyek yang masuk sebagai kategori strategis nasional, hanya kereta cepat inilah yang sukses membuat kecepatan debat hingga viral di media sosial. Rasanya, belum ada yang mampu menandingi kecepatan argumen netizen saat membahas bunga rente dari China Development Bank yang angkanya sampai dua persen per tahun.
Menteri Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan, proyek ini sejatinya memiliki misi regional development. Bahkan ia menambahkan kalimat, “ada betulnya juga sedikit.” Ucapan ini seperti mirip pengakuan seorang kernet busway, “Remnya blong sedikit, tapi masih bisa kok ngerem pakai kaki.”
Menteri “Koboi” ini juga menegaskan tidak mau menggunakan APBN untuk membayar utang. Meski rakyat tahu, di republik ini, APBN itu seperti mobil angkot, siap berhenti mendadak kalau ada penumpang yang mau naik. Tapi harus diakui pernyataan itu cukup menarik.
Jika kita tarik garis rel lurus ke belakang, memang harus diakui kemacetan Jakarta dan Bandung sangat parah sejak beberapa dekade lalu. Tapi, dalam ilmu perhubungan, khususnya darat, solusi transportasi tidak juga harus secepat kereta cepat. Terkadang cukup dengan rambu-rambu kejujuran, marka jalan kesabaran, dan perencanaan penuh keikhlasan. Beberapa hal ini yang justru kerap lenyap di tikungan kebijakan.
Dalam konteks sarana transportasi publik, proyek raksasa semacam ini seharusnya tidak menimbulkan defisit kepercayaan. Namun apa daya, publik sudah keburu trauma. Dulu ada proyek jalan tol disebutnya sebagai tol rakyat, dan kini ada kereta cepat yang disebut sebagai investasi sosial. Maka rakyat pun dibuat bingung: apakah yang sosial itu cicilannya atau proyeknya?
Seorang pengemudi taksi online di Bandung sempat berkomentar, “Kalau memang ini adalah investasi sosial, lalu kenapa tiketnya nggak harga sosial juga? Masak saya naik kendaraan sosial tapi disuruh bayar dengan tarif internasional, sedangkan gaji saya saja masih domestik?” Kalimat ini memang sederhana tapi mengandung muatan emosi yang sangat besar dari kapasitas bagasi kereta Whoosh.
Uniknya lagi, istilah subsidi adalah investasi yang kini menjadi mantra mandraguna baru dalam dunia perkeretaapian. Kalau begitu, bisa saja ke depan pemerintah akan menyebutkan bahwa kemacetan lalu lintas disebut sebagai latihan kesabaran nasional dan kalau ada ban bocor disebut sebagai program sirkulasi nitrogen gratis.
Sejatinya, rakyat itu tidak menolak pembangunan. Mereka cuma berharap setiap proyek besar yang kini sering dibungkus dengan nama proyek strategis nasional (PSN), punya arah yang jelas. Bukan seperti angkot yang kini kehilangan trayek karena terminalnya sudah berubah wujud jadi mall.
Dan kalau bicara soal manfaat sosial, mungkin ada benarnya bahwa Whoosh dapat mengurangi emisi karbon, polusi dan lain-lain. Tapi emisi kebingungan rakyat malah meningkat tajam setiap kali pejabat ngomong soal rupiah triliunan. Dengan ekspresi santai, seolah mereka sedang membahas harga kacang rebus. Padahal yang bayar utang ujung-ujungnya ya rakyat juga.
Hari ini, rakyat menunggu kerja nyata. Kalau ini benar merupakan investasi sosial, kita semua berharap semoga dampaknya dapat dirasakan di seluruh perlintasan ekonomi: mulai dari pedagang pulsa sampai pedagang kaki lima. Jangan sampai kereta cepat ini cuma transit di stasiun Elite City dan lupa mampir di warung emperan.
Dalam dunia transportasi, bukankah ada istilah uji kelayakan jalur. Karena itu, sebelum proyek raksasa dijalankan, selayaknya diuji dulu kelayakan logikanya. Sehingga nanti, jangan sampai kereta sudah melesat, tapi nalar publik malah berjalan di rel yang berlainan jalur.
Proyek Kereta Cepat Whoosh Jakarta–Bandung memang bukan urusan transportasi belaka. Ia merupakan sebuah simbol pencapaian seberapa jauh bangsa ini dapat membawa nalar sehat tanpa harus anjlok di tikungan ekonomi dan politik.
Mungkin Jokowi ada benarnya, bahwa kereta cepat Whoosh dapat membawa social return on investment. Tapi rakyat juga berharap jangan sampai social return-nya cuma berupa komentar kocak di media sosial yang telanjur viral. Namun ketika ditanya, malah jawabnya, “Ya..nggak tahu…kok tanya saya!”
Sebab jika logika rugi bisa dikatakan untung, sedangkan subsidi dibilang investasi, maka nanti ketika APBN cengap-cengap di tengah rel, rakyat cuma bisa bilang dengan santun: “Tenang saja, Pak, ini cuma keberhasilan yang tertunda dalam jangka panjang, bukan defisit, kok!” (*)
Bandar Lampung, 4 November 2025
#MakDacokPedom

