Rosadi Jamani | Penulis
Ketua Satupena Kalbar
BUKAN rahasia sih. Ketika nomor satu jadi tersangka, siapa yang diuntungkan? Tentu yang nomor dua. Karena, secara konstitusi, nomor dua akan jadi nomor satu. Lah, ngomong apa sih? Ups, maaf wak! Kali ini kita masih membahas soal Riau. Saya akan mengenalkan sosok SF Hariyanto, Wakil Gubernur Riau. Siapkan lagi Koptagul!
Sosok ini tidak muncul lewat baliho lima meter yang menatap pengendara di lampu merah. Tidak dengan jargon kaku seperti “Riau Maju Berkeadaban Berkelanjutan.” Tidak pula dengan suara lantang ala orator pasar malam. Sofyan Franyata Hariyanto, ya, itulah nama lengkapnya, bukan SF seperti nama menu minuman di kafe. Beliau adalah contoh tokoh yang naik bukan karena glorifikasi, melainkan karena kesabaran zen ala birokrasi level dewa.
Lahir di Pekanbaru, 30 April 1965, ia bukan anak konglomerat, bukan keturunan raja, bukan pula alumni geng politik elite yang penuh foto dengan pose tangan salam tiga jari. Ia lebih mirip tipe anak tetangga yang rajin, tidak banyak bicara, tapi tahu cara mengatur aliran listrik satu kampung kalau tiba-tiba PLN padam. Pendidikan formalnya dimulai di Universitas Islam Riau, lalu dilanjutkan ke Universitas Islam Indonesia. Dua kampus yang membentuknya sebagai teknokrat yang paham menyusun anggaran tapi tetap hafal letak warung lontong enak di Sudirman.
Dalam kehidupan rumah tangga, ia menikah dan memiliki satu anak. Sang istri sempat jadi bahan pembicaraan publik karena gaya hidup yang terlihat di media sosial. Bukan skandal, bukan sensasi, hanya netizen terlalu hobi mengaudit feed Instagram orang. Intinya, keluarga ini hidup normal, dengan frekuensi gosip yang masih dalam batas wajar masyarakat +62.
Kariernya? Ah, ini bagian epik.
Tahun 1983, ia masuk pemerintahan sebagai pegawai honorer. Masa ketika gaji tidak cukup buat beli pulsa, karena memang belum ada pulsa. Tahun 1987, ia resmi jadi PNS. Lalu memasuki dunia Dinas Pekerjaan Umum, mengelola proyek jalan, jembatan, dan segala hal yang jika salah sedikit saja, masyarakat satu kecamatan bisa ngamuk.
Tahun 2000-an, ia naik menjadi Kepala Dinas PUPR Riau, terutama di era Gubernur Rusli Zainal (2003–2013). Posisi yang penuh anggaran, penuh tekanan, dan penuh rumor. Tapi ia tetap berjalan lurus, seperti penggaris 30 cm merk Butterfly yang dipakai guru matematika.
Tahun 2015–2021, ia menjadi Kepala Bappeda Riau, perancang skenario pembangunan. Lalu Sekretaris Daerah Provinsi Riau (2021–2024), jabatan tertinggi ASN, alias the real engine room. Lalu bahkan Penjabat Gubernur di awal 2024.
Akhirnya, ia naik panggung politik resmi sebagai Wakil Gubernur Riau 2025–2030, mendampingi Abdul Wahid. Walaupun ia kader Golkar, ia diusung koalisi PKB, PDIP dan NasDem. Ini sebuah aliansi yang secara teori seperti menyatukan sup ikan patin dengan sambal lado ijo tapi entah kenapa tetap cocok.
Lalu November 2025 datang membawa gemuruh. Abdul Wahid terjaring OTT KPK soal dugaan suap proyek infrastruktur. Media berteriak. Grup WA alumni UIR mendidih. Warung kopi berubah jadi lembaga kajian hukum tata negara.
Tiba-tiba, spotlight berputar. Sesuai UU 23/2014, jika Gubernur diberhentikan sementara, Wakil Gubernur otomatis menjadi Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur. Tidak perlu kampanye. Tidak perlu debat publik. Tidak perlu tegang urat leher. Kekuasaan, kadang, bukan soal merebut. Tapi soal menunggu yang jatuh. Ketika jatuhnya datang, SF Hariyanto sudah berdiri di tempat yang tepat.
Jalan berdebu panas siang
Burung kecil hinggap sebentar
SF naik pelan tenang
Saat Wahid tersandung anggar
Lampu kota redup malam
Riuh warung kopi berbicara
Karier naik diam-diam
Takdir mengetuk tanpa suara
Bilang cakeplah, wak! (*)
#camanewak

