Rosadi Jamani | Penulis

Ketua Satupena Kalbar


“Bang, tuntutan mahasiswa mendesak DPR segera mensahkan RUU Perampasan Aset dalam tempo 30 hari, udah sampai di mana?” Maaf, wak! Saya lupa. Padahal, dulu setiap hari saya kawal untuk mengingatkan. Saya rasa, bukan hanya saya, wakil rakyat di Senayan juga lupa. Bukan hanya soal itu, seluruh hal yang viral ketika itu, semua sudah terlupakan. Kembali ke selera asal, adem, tenteram. Siapkan lagi Koptagul, kita bahas peel penghuni Senayan.

Segalanya bermula pada 16 Agustus 2025, dalam Sidang Tahunan MPR RI yang seharusnya khidmat, serius, penuh martabat bak ritual negara yang diwariskan sejak republik ini belajar berdiri. Tetapi hari itu panggung berubah menjadi panggung variety show dadakan. Lima anggota DPR, yakni Ahmad Sahroni, Eko Patrio, Nafa Urbach, Uya Kuya dan Adies Kadir terlihat berjoget, tertawa, bercanda, di tengah pembahasan isu kenaikan gaji DPR. 

Ya, kenaikan gaji, di saat harga beras naik seperti saham startup menjelang IPO, di saat buruh dan mahasiswa berdiri di luar gedung dengan suara yang serak dan harapan yang retak. 

Di luar, demonstran menolak kenaikan gaji wakil rakyat dan menuntut transparansi anggaran.Di dalam, ada yang melontarkan komentar “kurang kerjaan” dan “cari panggung” kepada mereka yang sedang memperjuangkan hidupnya sendiri. Tentu saja video itu viral. Tentu saja publik murka. Tentu saja timeline terbakar lebih cepat dari wajan panas kena minyak.

Kemurkaan tak berhenti di layar. Rumah seorang anggota DPR dijarah. Kaca pecah, pintu ambruk, dinding menjadi papan mural kemarahan rakyat. Partai bergerak cepat seperti penjual obat kuat di terminal. Lantang, meyakinkan, dan dramatis. Kelima anggota tersebut dinonaktifkan. Media menulis, “Partai berpihak pada rakyat.” Publik sempat lega, seperti menemukan kursi kosong di kereta penuh.

Tetapi seperti biasa, di negeri ini keadilan punya masa kedaluwarsa pendek. MKD menggelar sidang pada 5 November 2025. Semua orang menunggu gemuruh keputusan, seperti menunggu babak akhir sinema epik. Namun yang datang bukan klimaks, melainkan komedi situasional. Ahmad Sahroni terbukti melanggar etik dan dijatuhi sanksi nonaktif 6 bulan. Eko Patrio menerima sanksi nonaktif 4 bulan. Nafa Urbach 3 bulan. Uya Kuya dinyatakan tidak melanggar etik dan diaktifkan kembali. Adies Kadir juga diaktifkan kembali dengan peringatan agar lebih berhati-hati. Tidak ada pemecatan. Tidak ada penghapusan status. Tidak ada pembersihan moral. Hanya jeda sementara, seperti cuti kerja dengan sedikit bumbu rasa malu.

Di tengah euforia kekecewaan itu, ada hal yang lebih menyayat, tuntutan mahasiswa yang dulunya menggema seperti gong perang kini hilang seperti asap dupa. Mereka tidak sekadar marah. Mereka membawa “17+8 Tuntutan Rakyat.” Tujuh belas tuntutan yang mendesak transparansi anggaran DPR yang selama ini gelap seperti lorong gudang kosong, seperti penghapusan tunjangan elite yang fungsinya lebih misterius dari plot sinetron jam prime time. 

Penguatan KPK yang kini kurus seperti kucing kampung kehabisan tulang. 

Pengendalian harga kebutuhan pokok yang makin liar dari rumor artis. 

Perlindungan hak buruh dan petani yang selalu dijanjikan dalam pidato, tapi hilang dalam rapat anggaran. 

Lalu delapan agenda reformasi. Ada revisi UU Pemilu, pengesahan RUU perampasan aset koruptor, pembatasan masa jabatan legislatif, reformasi partai politik, penguatan pendidikan politik, penghapusan oligarki dalam birokrasi, agenda besar yang sempat mengguncang langit kota, tetapi kini seperti tulisan spanduk pudar di simpang jalan.

Kini, semuanya mereda. DPR kembali duduk. Gaji tetap jalan. Harga tetap naik. Publik kembali bekerja. Mahasiswa kembali mengerjakan tugas yang dosennya tidak mau tahu mereka pernah melawan negara. Kita semua kembali menjadi penonton yang menunggu episode berikutnya, sambil tahu bahwa ending-nya selalu sama, kita tertawa, lalu kecewa, lalu lupa. (*)

#camanewak




Next
This is the most recent post.
Previous
Posting Lama
 
Top