Dr. Wendy Melfa | Akademisi UBL
- Pegiat Ruang Demokrasi
DIALEKTIKA BANGSA
WACANA perubahan sistem berdemokrasi untuk Pemilu yang akan datang kembali menarik dan perlu untuk dibincangkan, khususnya sistem berdemokrasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) setelah Ketua Umum Partai Golkar, Bahlil Lahadalia pada pidato pembukaan Musa Partai Golkar Sultra yang menuturkan “kemungkinan alternatif pemilihan Gubernur (kedepan) oleh DPRD, sebab pemilihan di DPRD juga bagian dari demokrasi karena di Undang-Undang Dasar 1945, pemilihan langsung itu hanya untuk Presiden. Nah, sementara pemilihan Bupati dan Gubernur lewat proses yang demokratis juga” (Kompas.com, 2/11/2025).
Sebelumnya juga, Bahlil Lahadalia pada kesempatan lain menyatakan, tujuan negara itu tidak hanya demokrasi, karena demokrasi itu sebagai instrumen untuk menunjukkan tujuan-tujuan kita dalam berbangsa dan bernegara seperti kesejahteraan, pendidikan, kesetaraan. Atas dasar itu Bahlil mengatakan perlu ada formulasi yang tepat untuk merumuskan cara pemilihan Kepala Daerah yang tepat (detiknews, 20/12/2024).
Wacana yang hampir sama juga pernah diutarakan oleh Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar (Cak Imin) dalam sambutannya pada acara hari lahir PKB di Jakarta: “saatnya pemilihan kepala daerah dilakukan evaluasi total, manfaat dan mudaratnya, kalau tidak ditunjuk oleh pusat, maksimal pemilihan kepada daerah dipilih oleh DPRD di seluruh tanah air” (Kompas.com, 24/7/2025).
Sebelumnya hal yang sama pernah juga diwacanakan oleh Presiden Prabowo Subianto, yang juga sekaligus ketua umum Partai Gerindra saat sambutan menghadiri HUT ke-60 Partai Golkar di Jakarta, dalam wacana usulannya dikatakan, “agar pemilihan kepala daerah atau Pilkada diselenggarakan lewat DPRD. Opsi itu dilakukan untuk menekan banyaknya anggaran yang dialokasikan. Anggaran sebesar itu lebih baik digunakan untuk kebutuhan masyarakat” (Tempo.co, 16/12/2024).
Pernyataan tawaran ketiga Ketua Umum Partai pada “panggung” kekuasaan politik kontemporer dilihat dari perolehan suara sah hasil Pemilu 2024, maupun kursi di DPR RI juga mewarnai Kabinet Merah Putih, meskipun belum seutuhnya merepresentasikan seluruh kekuatan politik dan juga Partai-Partai Politik hasil Pemilu 2024 serta Kabinet Pemerintah.
Namun keinginan dengan melontarkan ide dan wacana perubahan sistem politik Pilkada kepada publik sebagai sebuah hal yang positif dan patut untuk diapresiasi dalam perspektif melibatkan publik dengan menghadirkan dialektika bangsa dalam upaya mencari alternatif sistem politik untuk menjawab berbagai “permasalahan” demokrasi yang menyertai penyelenggaraan Pilkada langsung selama ini yang telah berdampak kontraproduktif bagi perkembangan demokrasi itu sendiri.
Bukankah sebaiknya partai politik itu “menyertakan” publik dalam membuat dan mengambil kebijakan strategis yang berdampak luas bagi demokrasi dan masyarakat itu sendiri. Menghadirkan wacana perubahan sistem politik dari ketiga partai politik yang diwakili oleh pernyataan Ketua Umumnya, sebagai salah satu bukti bahwa partai politik tersebut sedang menjalankan salah satu fungsinya mengagregasi kepentingan publik.
Evaluasi Menghadirkan Kesadaran
Beberapa hal patut menjadi sarana evaluasi atas penyelenggaraan Pilkada sejak pertama kali diselenggarakan tahun 2005 yang lalu, dan perubahan sistem Pilkada pernah dihembuskan sejak sembilan tahun pertama penyelenggaraannya dengan sistem pemilihan langsung untuk memilih kepala daerah.
Setidaknya dimensi evaluasi itu meliputi tiga pilar demokrasi yang terlibat dalam Pilkada, yaitu dimensi pemilih Pilkada, dimensi peserta Pilkada (calon yang diusung partai politik atau gabungan partai politik dan calon perseorangan), dan dimensi penyelenggara Pilkada (utamanya KPUD dan Bawaslu). Dari soal teknis administrasi, biaya penyelenggaraannya yang cukup tingi, “persekongkolan jahat” antara peserta dan (oknum) penyelenggara.
Selain itu, dukung-mendukung terhadap calon yang dapat menyebabkan fragmentasi masyarakat, sampai pada ancaman moral hazard Pemilu yang dapat berdampak pada dekadensi moral hazard bangsa, yaitu akibat makin maraknya money politik, dan politik transaksional dari momentum Pilkada. Namun disisi lain, bahwa praktik penyelenggaraan Pilkada langsung itu sendiri merupakan ekspresi hak politik warganegara dalam memilih dan menentukan kepala daerahnya.
Evaluasi secara komprehensif dapat lebih menghadirkan sistem Pilkada yang lebih bermakna bukan saja pada pembangunan demokrasi, tetapi juga memberikan manfaat bagi pembangunan sebuah bangsa. Pilihan sistem Pilkada juga dapat dimaknai bahwa demokrasi itu sebagai instumen untuk mendorong terwujudkan tujuan Negara.
Evaluasi terhadap penyelenggaraan Pilkada bukan diarahkan pada model politik penerapan Pilkada, berkaitan dengan keinginan atau selera politik, atau karena sekadar mencontoh penyelengaraan pada negara lain dan atau lainnya. Tetapi sebuah pilihan sistem penyelenggaraan Pilkada yang dibangun dari kesadaran kolektif dan inklusif akan pilihan sistem pilkada yang benar-benar cocok sekaligus memberi manfaat bagi kemajuan sebuah bangsa.
Demokrasi dan Konstitusional
Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 menyebutkan: “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis”, frasa demokratis selanjutnya dimaknai berdasarkan Putusan MK Nomor 97/PUU-XI/2013 dapat diselenggarakan pemilihan secara langsung maupun tidak langsung, dengan demikian kedua model penyelenggaraan Pilkada tersebut adalah konstitusional.
Hal tersebut memungkinkan secara demokratis dan konstitusional untuk dapat menentukan pilihan sistem pilkada mana yang akan diterapkan. Frasa tersebut tidak dapat dimaknai lain dari pilihan diterapkan secara langsung atau secara tidak langsung, oleh karena itu wacana alternatif melalui penunjukan dari pemerintah pusat (Presiden) kepada Gubernur dengan argumentasi bahwa Gubernur adalah juga perwakilan pusat di daerah.
Pilihan sistem Pilkada yang akan diterapkan tersebut menjadi konsensus nasional dengan ditetapkan melalui perubahan UU Pemilu sebagai landasan hukum Pemilu (termasuk Pilkada didalamnya) dengan pendekatan kajian akademik, uji kelayakan setelah dilakukan evaluasi secara komprehensif dengan menghadirkan pertimbangan manfaat dan mudaratnya bagi tumbuh dan berkembangnya demokrasi dan kemajuan peradaban bangsa tanpa melupakan situasi real masyarakat dan geografis Indonesia.
Pilihan juga dapat dimaknai menggabungkan kedua pilihan sistem Pilkada atau Pilkada a-simetris yang diselenggarakan serentak dengan membedakan penerapannya berbasis data akan kesiapan dan kemampuan masyarakat pemilihnya, kemampuan daerahnya. Termasuk dalam hal ini kemampuan personal penyelengara dan kemampuan pembiayaannya dan lain-lain, faktor penunjang dan yang menjadi tantangan penyelenggaraan Pilkada pada daerah-daerah yang berbeda satu dengan lainnya.
Dialektika kebangsaan ini tentu tidak berhenti pada tataran wacana dan omon-omon saja, tetapi secara berkesinambungan dengan melibatkan secara sistemik stake holder yang terlibat dalam penyelenggaraan Pilkada sehingga menghadirkan sistem Pilkada yang merupakan bagian dari sistem Pemilu dan sistem politik secara luas, untuk lebih mendorong terwujudnya tujuan negara, dan dapat dimaknai bahwa demokrasi sebagai instumen mewujudkan kesejahteraan masyarakat. (*)

