Rosadi Jamani
- Ketua Satupena Kalbar
KITA udah tahu dosa-dosa polisi. Jangankan kita, presiden saja jengah dengan tingkah polah korp baju cokelat. Itu sebabnya, Prabowo sampai membentuk tim reformasi polisi. Nah, di bawah kendali Prof. Jimly Asshiddiqie mulai beraksi. Pasti seru ni. Sambil menunggu Timnas U17 vs Honduras pukul 21.45 WIB, yok kita lindas, eh salah, kupas aksi Jimly dkk sambil seruput Koptagul, wak!
Presiden Prabowo Subianto melantik Komisi Percepatan Reformasi Polri pada 7 November 2025. Pembentukan ini setelah gelombang demonstrasi besar soal akuntabilitas Polri mengguncang negeri. Komisi ini diisi para tokoh besar yang seolah turun gunung dari kitab hukum dan kenegaraan. Ketua: Prof. Jimly Asshiddiqie (mantan Ketua MK). Anggota: Prof. Mahfud MD, Prof. Yusril Ihza Mahendra, Jenderal Pol (Purn) Tito Karnavian, Jenderal Pol (Purn) Idham Aziz, dan Jenderal Pol (Purn) Badrodin Haiti. Tugasnya, bukan sekadar ganti seragam, tapi mengupas ulang anatomi institusi kepolisian dari kepala sampai kaki. Bahkan, membuka peluang revisi UU Kepolisian yang selama ini dianggap sakral.
Di sisi lain, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo juga tak mau diam. Ia membentuk Tim Transformasi Reformasi Polri, melalui Surat Perintah No. Sprin/2749/IX/2025 tanggal 17 September 2025. Tim ini lebih "operasional" diisi 52 perwira tinggi dan menengah Polri yang ditugaskan menyusun strategi transformasi internal, memperkuat transparansi, dan memastikan institusi ini tak lagi menjadi labirin laporan yang tak pernah keluar ujungnya.
Kedua tim ini ibarat dua tangan. Satu tangan presiden yang mendorong dari luar, satu tangan Kapolri yang merombak dari dalam. Masyarakat cuma berharap jangan sampai dua tangan ini saling tepuk sendiri, sementara rakyat tetap tepuk jidat.
Karena publik sudah lama muak. Mereka bilang, “Ngapain lapor ke polisi, lapor ke damkar aja. Paling tidak, mereka datang cepat dan benar-benar memadamkan api.”
Sarkasme ini bukan sekadar lelucon. Ini jeritan hati yang disamarkan dengan tawa getir. Api rumah bisa dipadamkan dalam sepuluh menit, tapi api ketidakadilan bisa menyala sepuluh tahun tanpa air hukum yang turun.
Anekdot lain yang lebih sadis pun muncul. “Narkoba dan judi online bisa diberantas, asal polisi nggak jadi backing-nya.”
Kalimat yang terdengar seperti peluru tajam, ditembakkan bukan untuk membunuh, tapi untuk menyadarkan. Karena publik sadar, institusi yang lahir untuk melindungi tak boleh berubah jadi tulang punggung dari ketakutan itu sendiri.
Kepolisian hari ini ibarat mesin tua yang masih bisa hidup. Tapi, knalpotnya ngebul, bahan bakarnya boros, dan kadang mesinnya mogok di tengah jalan hukum. Rakyat tak minta mesin baru, hanya minta diservis total. Dibersihkan dari kerak lama, seperti pungli, tebang pilih, gaya preman berseragam, dan budaya “kalau bisa diperlambat, kenapa harus cepat?”
Reformasi polisi bukan sekadar perintah presiden atau wacana politik. Ini adalah kebutuhan eksistensial negara modern. Sebab tanpa polisi yang bersih, hukum hanyalah kostum yang dipakai bergantian oleh para aktor kekuasaan. Tanpa keadilan, semua pembangunan cuma berdiri di atas pasir curiga.
Kini semua mata tertuju pada Jimly dkk. Mereka bukan Avengers, tapi rakyat berharap mereka bisa menjadi pembersih semesta hukum. Kalau mereka gagal, mungkin benar kata orang di warung kopi, nanti, orang lebih percaya pada Damkar untuk memadamkan api, ketimbang pada Polisi untuk menyalakan keadilan.
So, selamat bekerja, para reformis! Rakyat sudah menunggu terlalu lama, bukan sekadar laporan diproses, tapi hati yang kembali percaya.
Bergerak cepat di pagi hari,
Langkah Jimly mantap berapi.
Polisi bersih dambaan negeri,
Bukan sekadar janji imitasi
Api keadilan janganlah mati,
Padamkan korup, jangan kompromi.
Kalau hukum berdiri tegak lagi,
Rakyat pun tersenyum penuh hormoni.
#camanewak

