Rosadi Jamani
- Ketua Satupena Kalbar
ADA saatnya KPK dipuji. Lain waktu bisa juga dicaci. Nasibmu KPK kini, digugat ke pengadilan gara-gara terlalu lama menetapkan tersangka dugaan korupsi kuota haji. Siapkan Koptagul, kita kembali bernostalgia kasus ini. Simak narasinya, wak!
Jakarta bergetar. Bukan karena gempa, tapi karena kabar gila. KPK, lembaga paling sakti yang biasanya menggugat orang, kini justru digugat balik! Dua lembaga masyarakat, ARRUKI dan LP3HI, menenteng berkas ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, nomor perkara 147/Pid.Pra/2025/PN Jkt.Sel, dengan satu tuduhan yang menampar, KPK diduga diam-diam menghentikan kasus korupsi kuota haji.
Kasus ini seperti naskah drama suci yang berubah jadi thriller politik. Di awal, KPK tampil gagah, memeriksa lebih dari 350 biro travel, menyita uang dan dua rumah ASN Kementerian Agama yang katanya dibeli dari uang kuota haji tambahan. Semua tepuk tangan. Publik yakin sebentar lagi ada tersangka diumumkan. Tapi bulan berganti, jamaah sudah pulang, koper sudah dibongkar, dan KPK masih berdiri di mimbar, berzikir satu kalimat ajaib, “Kami sedang menghitung kerugian negara.”
Masalahnya, siapa yang menghitung? Mereka tak sebut BPK, tak sebut BPKP, tak sebut siapa pun. Seolah-olah mereka punya auditor ghaib yang turun setiap malam membawa kalkulator malaikat. Padahal, dalam hukum, yang boleh menentukan ada atau tidaknya kerugian negara cuma dua, BPK dan BPKP. Tanpa angka dari mereka, KPK ibarat jamaah tanpa visa, tidak bisa masuk ke Tanah Suci Penetapan Tersangka.
ARRUKI dan LP3HI mencium keanehan itu. “Jangan-jangan kasus ini disetop diam-diam,” kata mereka dalam gugatan. Dugaan mereka bukan main, bahwa KPK terlalu lama berdiam diri karena ada “angin politik panas dari arah istana.” Ya, konspirasi pun muncul, bahwa angka kerugian negara belum turun bukan karena belum dihitung, tapi karena sedang dinegosiasikan di langit kekuasaan.
KPK, tentu, membantah. Juru bicaranya, Budi Prasetyo, menegaskan penyidikan masih jalan, audit masih dihitung, dan bukti masih dikumpulkan. Tapi publik mulai bosan dengan kata “masih.” Di negeri ini, kata “masih” sering jadi pemakluman suci untuk semua hal yang tak kunjung selesai. Masih dihitung, masih dikaji, masih didalami, semua terdengar seperti doa panjang tanpa amin.
Padahal, logikanya sederhana. Kalau sudah ada penyitaan uang dan aset, berarti bukti sudah ada. Kalau bukti sudah ada, kenapa tersangka belum muncul? Apakah uang itu disita dari jin? Atau rumah itu dibeli oleh bayangan korupsi yang tak punya nama? Ini bukan lagi misteri hukum, tapi misteri metafisika penyidikan.
Secara hukum, memang, tnpa angka pasti dari auditor negara, KPK belum bisa menetapkan tersangka. Tapi publik tak butuh angka, wak. Publik butuh kejelasan. Karena keadilan yang terlalu lama dihitung bisa berubah jadi satire spiritual. Orang-orang mulai bercanda, “Mungkin KPK lagi berhaji, menunggu wahyu kapan boleh umumkan tersangka.”
Kini, KPK bukan cuma penyidik, tapi juga terdakwa moral di mata rakyat. Diseret ke pengadilan oleh warga sipil, mereka harus membuktikan bahwa penyidikan masih hidup, bukan jenazah hukum yang dikafani istilah “proses berjalan.”
Jika nanti hakim PN Jaksel mengetuk palu, dunia akan menonton, apakah KPK akan tetap berdiri di atas mimbar integritas, atau tergelincir di lantai marmer birokrasi yang licin oleh minyak politik. Karena di negeri ini, menghitung kerugian negara bisa lebih lama dari antrean haji, dan KPK bisa tersesat di padang Arafah hukum yang mereka bangun sendiri.
Sidang bergema di pagi hari,
KPK digugat rakyat berani.
Katanya kasus haji tak kunjung jadi,
Auditnya hilang entah ke mana pergi.
Penyidik diam menatap kursi,
Berita berserak di layar TV.
Katanya hukum suci dan murni,
Tapi kok tersangka tak muncul lagi?
#camanewak

