JAKARTA -- Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Ribka Tjiptaning dilaporkan Aliansi Rakyat Anti-Hoaks (ARAH) ke Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri, Rabu (12/11/2025).

Laporan itu terkait pernyataan ujaran kebencian pemberian gelar pahlawan almarhum Presiden ke-2 RI Soeharto.

Pelapor membawa sejumlah bukti dari media atas penyataan terlapor yang dinilai menyesatkan.

Tak cuma itu, Iqbal menilai pernyataan Ribka mengandung ujaran kebencian serta penyebaran berita bohong.

"Kami datang ke sini untuk membuat laporan polisi terkait pernyataan salah satu politisi dari PDI-P, yaitu Ribka Tjiptaning, yang menyatakan bahwa Pak Soeharto adalah pembunuh terkait polemik pengangkatan almarhum Soeharto sebagai pahlawan nasional," kata Koordinator ARAH, Iqbal, saat ditemui di Bareskrim, Mabes Polri, Jakarta, Rabu (12/11/2025).

"Ribka Tjiptaning menyatakan bahwa Soeharto itu adalah pembunuh jutaan rakyat," lanjutnya.

Menurut Iqbal pernyataan itu tidak berdasar sebab tidak terdapat putusan pengadilan yang menyatakan Soeharto melakukan pembunuhan terhadap jutaan rakyat.

Pihak pelapor melaporkan kasus ini ke Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri dengan dugaan pelanggaran Pasal 28 juncto Pasal 45 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Adapun laporan ini tidak mengatasnamakan nama keluarga Cendana, namun inisiatif pelapor untuk menjaga ruang publik dari penyebaran informasi tidak benar.

Ribka Dibela Rekan Separtai

Menanggapi pelaporan tersebut, rekan separtai Ribka, Mohamad Guntur Romli, pasang badan.

Guntur menganggap alasan pelaporan terhadap Ribka mengada-ada, sebab apa yang disampaikan rekannya itu berdasarkan fakta sejarah dan temuan resmi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).

"(Pernyataan Ribka) Itu fakta sejarah dan hasil Tim Pencari Fakta Komnas HAM, kok malah dilaporkan ke polisi," kata Guntur kepada awak media, Rabu.

Guntur lantas membeberkan data historis untuk mendukung pernyataannya. Ia mengutip buku G30S: Fakta atau Rekayasa karya Julius Pour, yang mencatat pernyataan Komandan Pasukan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) Sarwo Edi Wibowo, bahwa korban pembantaian pada tahun 1965-1966 mencapai 3 juta orang.

Selanjutnya, Guntur juga merujuk pada temuan Tim Pencari Fakta Komnas HAM yang menyebut pihak paling bertanggung jawab dalam pembantaian tersebut adalah Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib).

"Kopkamtib dibentuk pada tanggal 10 Oktober 1965... Dan pihak yang disebut paling bertanggung jawab adalah Kopkamtib yang langsung berada di bawah komando Presiden RI pada saat itu, Soeharto," sambung Guntur.

Lebih lanjut, Guntur menegaskan bahwa PDIP secara tegas menolak pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto. Menurutnya, langkah itu sama dengan "pemutihan" sejarah atas segala upaya represif dan pelanggaran HAM berat di era Orde Baru.

"Belum lagi pelanggaran HAM berat lainnya seperti tragedi Tanjung Priok, Talangsari, Petrus, DOM di Aceh, penculikan aktivis, kerusuhan Mei 98 dan lain-lain yang sudah dimasukkan sebagai pelanggaran HAM berat di era Jokowi tahun 2023," tegasnya.

Ucapan Asli Ribka Tjiptaning

Pernyataan kontroversial Ribka Tjiptaning yang menjadi dasar pelaporan itu tercatat disampaikan di Sekolah Partai di Lenteng Agung, Jakarta Selatan, pada Selasa (28/10/2025) lalu.

Saat itu, Ribka dengan keras menolak usulan gelar pahlawan untuk Soeharto.

"Sudah ngomong di beberapa media loh. Kalau pribadi, oh, saya menolak keras. Iya kan? Apa sih hebatnya si Soeharto itu sebagai pahlawan hanya bisa... membunuh jutaan rakyat Indonesia," katanya.

"Udahlah, pelanggar HAM, membunuh jutaan rakyat. Belum ada pelurusan sejarah. Udahlah nggak ada pantasnya dijadikan pahlawan nasional," pungkas Ribka.

#trb/bin





 
Top