Rosadi Jamani

Ketua Satupena Kalbar


MASIH lanjut perang dewa tanah di Makassar. Belum ada yang kalah, apalagi menang. Masih dalam posisi saling serang. Simak narasinya sambil seruput Koptagul plus pisang epek, puang!

Makassar, kota yang biasanya hanya sibuk dengan coto, es pisang ijo, dan macet di sore hari, mendadak berubah jadi arena gladiator. Bukan karena konser Lyodra Tiara Ziva (LTZ) pindah ke sana, tapi karena dua raksasa ekonomi negeri ini sedang bertarung bukan dengan pedang, tapi dengan sertifikat tanah.

Di sudut pertama, berdiri James Riady, CEO Lippo Group, pengusaha multiverse yang bisa buka rumah sakit, mal, universitas dan surga properti hanya dengan PowerPoint dan roadmap. Wajahnya tenang, senyumnya seperti iklan bank dan ucapannya lembut tapi tajam, “Kami cuma punya saham, bukan tanah.”

Boom. Kalimat itu langsung menggema sampai ke Gowa. Filsafat modern langsung berguncang. Heidegger menulis tentang keberadaan, Foucault tentang kekuasaan, tapi James Riady? Ia menulis bab baru, “Aku berpijak di bumi, tapi bumi bukan milikku.”

Di sudut satunya lagi, berdiri tokoh legendaris, Jusuf Kalla. Mantan Wakil Presiden, maestro bisnis, senior semua senior. Kalau JK bersin, saham perusahaan bisa ikut goyah. Ia bicara tanpa teks, tanpa takut, dengan nada khas Makassar. “Kalau Hadji Kalla saja bisa dimainkan, apalagi rakyat kecil!”

Penonton pun bersorak. Saking garangnya, aspal di Tanjung Bunga sempat retak. JK bukan hanya bicara tanah, ia bicara harga diri Bugis yang tak bisa dijual, apalagi digadaikan di atas HGB.

Di tengah ring, datanglah wasit kita, Menteri ATR/BPN Nusron Wahid. Ia membawa map tebal, kacamata hukum dan senyum yang ingin terlihat netral. “Kami berdiri di atas hukum, bukan di atas kepentingan siapa pun,” katanya kalem.

Netralitas Nusron ini begitu suci, sampai malaikat pencatat amal pun bingung mau menulisnya di kolom pahala atau PR. Karena ternyata, wait for it, di tanah 16,4 hektare itu ada dua sertifikat yang sah, dua hak yang benar, dan tiga pihak yang bingung.

Yang satu punya HGB atas nama PT Hadji Kalla (1996–2036). Yang satu lagi punya HPL atas nama PT GMTD, entitas yang separuhnya milik Lippo, separuhnya milik Pemda dan sisanya entah milik semesta. Di tengahnya ada Mulyono. Waduh, kok ada nama ini di sini sih?, ups. Si Mulyono ini manusia mitologis versi hukum Indonesia. Muncul di putusan tahun 2000, hilang, lalu disebut lagi seperti cameo Marvel yang bikin bingung semua orang.

Inilah tanah paling filosofis di dunia. Di atasnya berdiri dua kebenaran dua kekuasaan, dua klaim dan satu pertanyaan besar, siapa pemilik sebenarnya? Kalau Nietzsche masih hidup, dia pasti bilang, “Kebenaran sudah mati, digantikan oleh dokumen kepemilikan berganda.”

Dan bayangkan! Ini bukan sekadar sengketa. Ini opera besar. GMTD tampil dengan kostum korporat mengilap. JK muncul dengan aura moral rakyat. Nusron memainkan solo hukum di tengah panggung, menyeimbangkan dua naga yang sedang semprot api.

Lippo berkata: “Kami tidak menyerobot.”

JK menjawab: “Kami punya hak 30 tahun.”

Tanahnya sendiri mungkin berteriak dari bawah: “Berhentilah! Aku cuma ingin ditanami pohon!”

Tapi siapa peduli? Publik menonton seperti menonton laga Godzilla vs King Kong, hanya saja versi ini lebih absurd karena kedua monster membawa sertifikat tanah dan notaris di masing-masing tangan.

Ketika debu hukum mulai turun, tak ada yang tahu siapa yang menang. Nusron berdiri di tengah, memegang megafon keadilan. James Riady tersenyum, JK menatap lurus, dan tanah itu… masih di sana, tetap 16,4 hektare, tapi kini diselimuti oleh lapisan ego, legalitas, dan filsafat.

Kalau para dewa Yunani dulu berperang karena ambrosia, para dewa kapital Makassar kini bertarung demi sertifikat. Di akhir drama ini, mungkin kebenaran tak akan lahir dari pengadilan, tapi dari tawa kita yang sadar, bahwa di Indonesia, realitas kadang lebih absurd dari fiksi.

#camanewak





 
Top